Sajian Lakon Ramayana Rasa Wayang Madya dan “Orasi Tiga Profesor”, Sarana Edukasi Publik (seri 3 – habis)

  • Post author:
  • Post published:August 21, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Sajian Lakon Ramayana Rasa Wayang Madya dan “Orasi Tiga Profesor”, Sarana Edukasi Publik (seri 3 – habis)
UPACARA ADAT : Ki Manteb Soedarsono (alm) pernah tampil di Pendapa Pagelaran saat Kraton Mataram Surakarta menggelar upacara adat 10 Sura, jauh sebelum 2017. Dia "asesumping" untaian melati "Gajah Ngoling" di telinga kirinya. Karena, wayang khas kraton yang disajikan untuk upacara adat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Referensi Lakon, Sejarah, Tembang dan Pengetahuan Umum Akan “Mencerdaskan” Dalang, Bukan “Bintang Tamu”

IMNEWS.ID – DALANG “semi-pro” Ki Dr Purwadi memang bisa disebut tidak pernah menggelar pentas wayang kulit tampak mewah, heboh dan penuh gebyar kemilau panggungnya. Sound siystem yang digunakan, cukup cukup kelas menengah ke bawah atau 5 ribuan Wat. Frekuensi pentasnyapun, belum tentu tiga bulan sekali, bahkan belum tentu sekali dalam setahun. Baginya pentas senilai Rp 5 juta sudah mewah.

Selain punya kesibukan sebagai dosen pengajar di sebuah lembaga universitas di Jogja, dalang yang juga peneliti sejarah sekaligus Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) Pusat di Jogja itu, sering mengisi waktunya untuk membukukan hasil kajian sejarahnya. Ada ratusan judul buku karyanya, banyak menghias Perpustakaan UGM (Jogja), dan salah satunya adalah biografi Ki Panut Darmoko.

Kesibukan rutin dan yang berkait dengan profesinya sebagai pendidik, membuatnya memiliki peluang sedikit untuk memanfaatkan waktu di bidang praktik seni pedalangan. Frekuensi pentas yang termasuk sangat jarang itu, memang bisa diidentikkan dengan sedikit-banyaknya jam terbang. Tetapi, sebenarnya tidak bisa untuk mengukur kategori profesionalitas, semi-pro atau keamatiran seorang dalang.

Karena, profesionalitas seorang dalang justru harus dimaknai dan diukur dari konsistensinya atas komitmen menjunjung tinggi nilai-nilai kemampuan dan penyajiannya. Jika profesionalitas seorang dalang lebih dimaknai dari karena kesan mewah, heboh, penuh gebyar dan kemilau panggungnya. Itu berarti, perlu direvisi definisi profesional seorang dalang, atau perlu dilakukan redefinisi soal itu.

SEDIKIT DALANG : Hanya sedikit nama dalang yang pernah diundang menggelar wayang kulit klasik khas kraton, saat berlangsung upacara adat 10 Sura (Hari Asyura). Karena memang langka dalang yang punya reputasi dan dedikasi baik, mau “membalas” kemurahan sumber asal-usul seni pedalangan itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena, dengan sajian uba-rampe pentas seperti gamelan, kelir dan sound system yang biasa-biasa saja atau dalam kadar sederhana, penampilan Ki Dr Purwadi tetap tampak sebagai “dalang profesional”. Karena, profesionalitasnya ditempatkan pada sajian yang sangat menghormati nilai-nilai kesakralan seni wayang kulit, dalam format klasik konvensional, walau durasi waktu yang diterimanya tidak mendukung.

Profesionalitas Ki Dr Purwadi, juga tampak pada kemampuannya menyajikan struktur pedalangan secara wutuh, runtut dan urut walah dibatasi durasi hanya sekitar 5 jam. Sikap “pro”nya justru menjadi ruang edukasi bagi kalangan pesinden dan seniman penabuh iringan karawitan, karena sajian struktur utuh dan urut itu harus hafal gendhing-gendhing iringan baku dari “talu, pathetan” hingga “tancep kayon”.

Ki Dr Purwadi juga meletakkan profesionalistasnya pada penguasaan tembang-tembang “Macapat” yang sering diambil dari karya-karya sastra para Pujangga Jawa Surakarta. Kekayaan tembang yang isinya penuh “pitutur”, “sesuluh” dan “pituduh” ini, bisa disajikan dalam iringan pada adegan “lepas” misalnya “parekan” Limbuk-Cangik atau “Gara-gara Panakawan”, bukan lagu campursari dari bintang tamu.

Selain itu, dalang “pro” yang berdedikasi pada komitmennya menjaga “marwah” seni wayang kulit ini, punya daya nalar yang baik untuk menempatkan “sanggit” pada posisi yang ideal dan penuh manfaat. Yaitu “sanggit” lakon dari sejarah perjalanan Kraton Kediri, Majapahit dan seterusnya hingga Mataram Islam Kartasura, melalui tokoh sentral Anoman dengan meminjam “setting” Ramayana atau Maha Bharata.

REBAB PUSAKA : Seni pertunjukan wayang kulit yang sering digelar di Kraton Mataram Surakarta saat memperingati 10 Sura (Hari Asyura), adalah seni untuk upacara adat. Maka, selain cara menyajikannya, alat musik rebab Kiai Pamedarsih secara khusus dikeluarkan juga karena untuk upacara adat.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Saya memang jarang menggelar pentas. Sangat sedikit yang mau ‘nanggap’ saya. Mungkin Karena, saya tidak bisa menampilkan panggung yang heboh, penuh gebyar bintang tamu dan serba gemerlap. Saya juga tidak menguasai sabet fantastis dan atraktif seperti dilakukan dalang-dalang muda. Karena, bagi saya sajian wayang kulit harus sesuai marwahnya, bukan seperti itu,” ujar Ki Dr Purwadi.

Dia membenarkan, jika dirinya mempelajari sabet, tetap tidak akan bisa menandingi dalang muda Ki M Pamungkas Prasetyo Bayuaji. Begitu pula jika berusaha memiliki kualitas (auditif) ‘sulukan’ yang berkategori ‘kung’. Mungkin sudah tidak ada waktu untuk mempelajari itu, tetapi dia punya cara sendiri menyajikan wayang yang berkualitas dan berkelas, yaitu wayang yang penuh edukasi.

“Melalui pentas wayang, saya ingin mengedukasi publik yang menghubungkan peradaban para leluhur nenek moyang warga bangsa ini, terutama di Jawa. Dari masa ke masa, zaman ke zaman, ada keberlanjutannya. Bukan terputus-putus berdiri sendiri, seperti yang diterima masyarakat selama ini. Saya menyusun sanggit lakon dari zaman Kraton Kediri, Majapahit, Demak, Pajang hingga Mataram Kartasura,” sebutnya.

Pentas wayang yang mengedukasi publik agar kembali ke “marwah” seni pedalangan sebagai “tuntunan” selain tontonan, harus menghilangkan hal-hal buruk dan “sesat” yang selama ini “dijejalkan” kepada publik. Sajian tak berkelas dan tak berkualitas di panggung ditambah adegan penuh konflik dan perang, harus dikurangi dan banyak menampilkan sisi kebahagiaan, kedamaian dan optimisme kehidupan di masa depan.

SEBENARNYA BERUNTUNG : Kraton Mataram Surakarta sebenarnya beruntung memiliki seorang “putra-dalem” yang memiliki kemampuan sebagai dalang “semi-pro”. Tetapi sayang, dirinya tak bisa menjaga nama besar kraton sebagai sumber Budaya Jawa, termasuk wayang kulit. Kini, tinggal Ki KGPH Puger yang bisa menggantikan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Selain menurunkan martabat dan budaya kita, hadirnya bintang tamu dan penggunaan aksesoris panggung agar kelihatan gebyar dan kemilau, itulah yang membuat pentas wayang jadi mahal. Belum lagi nilai sewa sound system menggelegar. Dalam situasi sekarang, rakyat biasa tidak mungkin kuat nanggap wayang seperti itu. Tetapi, pamor dalang jelas kalah dari para bintang tamunya,” jelas Ki Dr Purwadi.

Penjelasan hasil pengamatan Ki Dr Purwadi, juga pemandangan di setiap ajang pentas wayang kulit sajian beberapa dalang yang tersebar luas melalui YouTube, sudah jelas menunjukkan proses “desakralisasi, demitologi, dekulturisasi dan delegitimasi” di satu sisi. Di sisi lain, publik pecinta wayang semakin diyakinkan bahwa wayang kulit hanyalah hiburan semata, tak ada nilai “tuntunannya”.

Kalau ada ekspresi masyarakat dalam 1-2 dekade terakhir, sampai mengeluarkan anggapan hingga “mengecam” dan menuding bahwa wayang kulit “haram” untuk ditonton, sangat mungkin akibat “proses” yang “sesat” itu. Bagaimana tidak “dikecam” dan “diharamkan”, jika sajian wayang kulit yang marak di bulan Agustus ini misalnya, sering diselingi adegan “saru” (urakan), “misuh-misuh” dan canda-tawa yang kebablasan?.

Dalam penampilan wayang kulit yang tidak melukiskan suasana sakral dan tidak memperlihatkan kecerdasan dalang membangun suasana sakral transendental pada adegan-adegan penting, maka nilai-nilai “tuntunan” wayang itu tidak ada. Oleh sebab itu, “kecaman” dan penilaian buruk dari kalangan tertentu tertuju pada praktik pentas wayang seperti itu, harus diterima sebagai upaya “penyadaran”.

GAGRAG KLASIK : Penyajian seni pertunjukan wayang kulit “gagrag” Surakarta klasik konvensional yang sedang digelar kraton, beberapa tahun lalu, adalah contoh penyajian wayang sebagai ritual untuk “laku” spiritual, sakral dan penuh tuntunan”. Bukan untuk tujuan hura-hura dan “pamer kehebohan”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Upaya membangun kesadaran para praktisi, lembaga pendidikan seni dan para pemangku kepentingan, adalah hal serius untuk mengembalikan seni wayang kulit pada marwahnya sebagai seni yang sakral, transendental dan penuh edukasi moral. Para dalang perlu merenungkan kembali praktik berkeseniannya dalam rangka mencari rezeki/nafkah, karena “cara-cara berkeseniannya” telah merusak sumber nafkahnya sendiri.

Kesadaran pada arah dan cara yang salah, karena memanfaatkan seni pedalangan sebagai alat mencari nakah tetapi mengabaikan segala kaidah nilai-nilai kearifan lokalnya, harus dihentikan. Dalang perlu manambah “kaya” referensi lakon, pengetahuan sejarah, tembang macapat dan pengetahuan umum agar banyak wawasan, bertambah kritis dan bisa membedakan antara sajian yang “bermanfaat” dan yang “sesat”. (Won Poerwono – habis/i1)