Bebadan Kabinet 2004 Gelar Wilujengan di Topengan Malige, Selasa Malam
SURAKARTA, iMNews.id – Jajaran Bebadan Kabinet 2004 menggelar donga wilujengan upacara adat “Dhukutan” di “topengan” Malige, Pendapa Sasana Sewaka, Selasa Wage malam (5/8) mulai pukul 19.00 WIB. Upacara adat yang diikuti sekitar 100 kerabat sentana dan abdi-dalem dari beberapa elemen masyarakat adat itu, untuk mengawali tahapan ritual adang Tahun Dal (1959) menggunakan “dandang” Kiai Dhudha.
Ritual yang dipimpin Gusti Moeng juga dihadiri GKR Ayu Koes Indriyah (Pangarsa Sanggar Paes-Tata Busana), BRAy Arum Kusuma Pradopo, KRMH Suryo Kusumo Wibowo (Wakil Pengageng Sasana Prabu) dan para pimpinan “Bebadan” seperti KP Siswanto Adiningrat (Wakil Pengageng Sasana Wilapa). Dr Purwadi ikut sowan sehabis berbicara di kelas sanggar paes, tetapi warga Pakasa rata-rata sibuk di daerahnya.
Donga wilujengan yang dipimpin abdi-dalem juru-suranata RT Irawan Wijaya Pujodipuro termasuk singkat, karena doa untuk upacara adat “Dhukutan” sangat beda dibanding ritual “khol” para tokoh leluhur Dinasti Mataram. Maka, sejak Gusti Moeng memberi “dhawuh ujub donga” kepada RT Irawan pukul 19.15 WIB hingga doa selesai, hanya berlangsung sekitar 30-an menit yang dilanjutkan dengan “sesorah” dari Gusti Moeng.
Menurut Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA) itu, upacara adat wilujengan “dhukutan”, adalah tahapan awal yang harus dilalui untuk menuju tahapan berikut tatacara menuju ritual “adang” (menanak nasi) menggunakan “dandang” Kiai Dhudha. Dan ritual menanak nasi itu hanya dilakukan Kraton Mataram Surakarta, setiap sewindu atau 8 tahun sekali di Tahun Dal (kini 1959-Red).

“Jadi, upacara ini hanya dijalankan kraton 8 tahun atau sewindu sekali. Yaitu saat datang Tahun Dal. Upacara adat adang sega dengan dandang Kiai Dhudha. La, untuk upacara adat adang kali ini, sekaligus mengingatkan pada kita, tentang adanya berbagai peristiwa yang menimpa kraton berkait dengan upacara adat itu. Bahkan, upacara adang ini juga bisa berkait dengan situasi umum di Tanah Air”.
“Dari dulu, suwargi Sinuhun bapak selalu menunjukkan, ketika di kraton terjadi gangguan yang tidak semestinya terjadi, pasti akan berimbas sampai keluar kraton. Bahkan sampai di wilayah yang luas (nasional). Kena percaya, ning aja maido. Itu sudah berulang-ulang terjadi. Seperti akibat adang Tahun Dal sewindu lalu. Dampaknya, ya seperti sekarang ini,” tunjuk Gusti Moeng dalam bahasa Jawa “krama”.
Dampak yang dimaksud Gusti Moeng, adalah situasi umum yang terjadi di tanah Air dalam satu dekade terakhir. Meskipun, banyak faktor pemicunya yang antara lain akibat puncak krisis ekonomi akibat pandemi Corona. Di sisi lain, juga bersamaan dengan berbagai insiden, baik yang dialami kraton di tahun 2017 dan insiden “ketatanegaraan” yang terjadi di sekitar Pemilu 2019 dan 2024.
Semua itu, lanjutnya, akibat upacara “adang sega” di Tahun Dal lalu yang dilakukan secara menyimpang oleh Sinuhun PB XIII dan kelompoknya. Hasil menanak nasi itu, nasinya menjadi berwarna coklat dan tekstur nasi menjadi “mlenyek” seperti basi. Kalau hasil “adang” seperti itu, sangat diyakini akan terjadi sesuatu yang menimpa kraton dan di luar kraton sampai wilayah lebih luas.

“La, yang sekarang ini tampaknya mau diulang lagi menyimpang atau semaunya sendiri, tidak mengikuti paugeran adar dan tatacaranya yang urut dan lengkap. La wong belum mengadakan wilujengan ‘Dhukutan’, kok sudah bingung ke sana – ke mari mencari tanah dan air. Terus apa jadinya upacara adat itu? Apa jadinya akibat cara-cara (menyimpang) seperti itu. Tapi, suwargi Sinuhun bapak dulu sudah mengingatkan saya”.
“Yen kira-kira wis ora kena dikandani, diajak rembugan, tinggalen wae. Maksudnya, ya kakak tertua saya yang jadi Sinuhun itu. Karena sudah tidak bisa diingatkan, tidak bisa dikandani, tidak bisa diberi masukan/pertimbangan, lebih baik ditinggal saja. Ya sudah, posisi sekarang ini sudah biar berjalan sendiri di antara rambu-rambu aturan yang ada,” tunjuk Gusti Moeng mengisahkan.
Apa yang disinggung terakhir Gusti Moeng itu, adalah berkait dengan uapacara adat donga wilujengan “Dhukutan” yang digelar di “topengan” Malige, Selasa Wage malam (5/8). Ritual itu adalah tatacara awal tahap ritual “adang” Tahun Dal yang akan digelar akhir Agustus ini. Setelah ritual itu, baru dilanjutkan mencari tanah, air dan kayu sebagai perlengkapan ritual “adang”.
“Kalau tanahnya diambil dari Kadilangu dan sekitar masjid (Kabupaten Demak), kompleks makam Ki Ageng Bayat (Kabupaten Klaten), sekitar kompleks makam Ki Ageng Sela (Kabupaten Grobogan). Airnya dari mata air Cokro Tulung (KLaten), Pengging, Nggaleh dan Dana Weling (Boyolali), Mungub, Sumur Gumuling, Jalatunda (Klaten). Kayunya berupa kemlaka, jati, aren dan dendana,” sebut Gusti Moeng.

Tanah dan air yang disebut harus didapat dari sejumlah tempat itu, akan digunakan sebagai “adonan” untuk membuat tungku atau “keren” yang menghasilkan api untuk menanak nasi (adang) di “pawon” Gandarasan. Sedangkan beberapa jenis kayu yang disebut, akan dibakar sebagai penghasil api di “keren”. Sedangkan “kekep” atau tutup dandang, harus dibuat oleh abdi-dalem di Desa Bentangan, Wonosari, Klaten.
“Saya tidak tahu, kekepnya dibuat siapa dan di amana? Karena, kraton sudah punya abdi-dalem yang secara turun-temurun membuat ‘kekep’ gerabah tutup dandang itu di Desa Bentangan, Kecamatan Wonosari, Klaten. Itu langganan sejak suwargi Sinuhun bapak. Saya perhatikan, tahapan-tahapan tatacaranya sudah menyimpang lagi. Nggak tahu, nanti akan terjadi apa? Mudah-mudahan tidak menimpa kraton,” pinta Gusti Moeng.
Di tempat terpisah, KP Budayaningrat selaku “dwija” Sanggar pasinaon Pambiwara sekaligus pengamat budaya kraton menjelaskan, Kraton Mataram Surakarta hingga kini tetap konsisten meneruskan semua tatacara adat, upacara adat dan budaya yang dilakukan semua leluhur Dinasti Mataram. Yaitu tradisi “adang sega” yang selalu menandai ketika “wong Jawa” hendak punya hajad, sejak zaman Ki Ageng Tarub.
Disebutkan, Ki Ageng Tarub yang juga bernama Kyai Abdul Rachman saat “mantu” putrinya Rara Nawangsih melakukan tatacara “adang sega sepisanan”. Lalu, dilengkapi dengan pasang “tarub” dan “bleketepe” di atas genting, persis di atas pintu masuk, juga “tuwuhan” di samping pintu masuk rumah. Semua itu diteladani keturunannya, termasuk Sultan Agung hingga Mataram Surakarta.

“Jadi, upacara adat adang Tahun Dal itu, intinya adalah meneladani dan menghormati tradisi sangat baik yang sudah dimulai leluhur Dinasti Mataram, yaitu Ki Ageng Tarub atau Kyai Abdul Rachman. Karena saat Kraton Mataram Sultan Agung hingga Mataram Surakarta menjadi sumber Budaya Jawa, maka tradisi itu tetap dilestarikan dan ditularkan kepada masyarakat luas,” ujar KP Budayaningrat menjawab iMNews.id.
Dwija sanggar, penasihat sebuah organisasi “pembiwara” nasional itu, saat dimintai penjelasan siang tadi juga menyebutkan, Mataram Surakarta masih memelihara dan menjalankan tradisi rutin tiap Tahun Dal. Karena, itu merupakan sikap hormat dan memuliakan para leluhur seperti disebut dalam ungkapan “Mikul dhuwur, mendhem jero”, yang datang dari seorang Ki Ageng Tarub yang notabene ulama/Kyai. (won-i1)