Warga Diaspora Jawa di Suriname Juga “Bingung”, Bahasanya Masih Seperti Tahun 1890-an
IMNEWS.ID – KALAU masyarakat adat Jawa di berbagai elemen yang ada di Kraton Mataram Surakarta ada yang merasa mulai kehilangan “kearifan lokalnya dan nilai-nilai “kawruh” Budaya Jawanya, tidak beda jauh dengan kebingungan yang dialami warga diaspora Jawa di negeri Suriname (New Caledonia). Tetapi ada titik beda masing-masing, karena beda “penyebabnya”.
Kalau warga masyarakat adat di berbagai elemen khususnya Pakasa dan yang belum sempat terwadahi merasa ada potensi kehilangan kearifan lokalnya karena “abai, tak peduli dan tidak butuh”, tetapi warga diaspora tidak demikian. Karena, keturunan Jawa (mayoritas) atau 15 persen dari penduduk negeri Suriname itu, diputus dari “habitatnya” di Jawa oleh Belanda.
Waktu itu, antara tahun 1890-1920an, Belanda mengangkut sekitar 33 orang Jawa untuk dipekerjakan di ladang perkebunan di Suriname, Pasifik Selatan. Karena tercerabut dari akar dan habitatnya di Jawa, maka Budaya Jawa terutama bahasanya yang sudah “dikembangkan” di kalangan rakyat pada waktu itu, tetap utuh di perantauan walau bercampur budaya (bahasa) lain.
Secara sekilas profil dan hal-hal penting tentang warga diaspora Jawa di Suriname itu, terlukis dalam sambutan Djakin Asmowidjoyo (70) selaku ketua rombongan 50-an orang diaspora Jawa di Suriname, saat dijamu jajaran Bebadan Kabinet 2004, medio Juni lalu (iMNews.id, 10/6) di Sasana Handrawina. Disebutkan, kini ada 102 ribu diaspora Indonesia di Suriname, sekitar 80-an ribu keturunan Jawa.

Dalam percakapan di antara mereka memang sedikit sekali terdengar kata dan istilah dari Bahasa Jawa, karena banyak bercampur Bahasa Belanda, Prancis dan Creole yang menjadi tetangga pergaulannya. Tetapi ketika Djakin Asmowidjoyo (70) memberi sambutan, barulah jelas warna Bahasa Jawanya. Walau rata-rata terdengar “ngoko”, tetapi banyak istilah dan kata yang sudah tak terdengar di Jawa, kini.
Walau Bahasa Jawa “ngoko” yang dimiliki masih utuh atau “tak berkembang”, tetapi masih bisa ditangkap maknanya ketika digunakan sebagai pengantar saat bertamu di kraton. Rata-rata jajaran Bebadan Kabinet 2004 yang berusia 60 tahun ke atas, masih akrab dengan sejumlah kata dan istilah yang digunakan dalam sambutan. Tetapi, pertemuan itu menjadi peristiwa penting.
Penting karena pada tahun 1890-1920-an, Budaya Jawa dan Bahasa Jawa (“krama”) yang berkembang masih digunakan secara terbatas di lingkungan keluarga besar kraton. Sedangkan di kalangan rakyat jelata, bahasa pengantar yang digunakan adalah Bahasa Jawa “ngoko”. Jenis bahasa itu yang kira-kira sama yang dimiliki dan digunakan warga diaspora Jawa di Suriname sekarang ini.
Penggunaan Bahasa Jawa “krama” yang sangat terbatas di kalangan keluarga besar Kraton Mataram Surakarta di tahun 1890-1920-an saat Sinuhun PB X jumeneng nata, memang demikian situasi kondisi sosial budaya saat itu. Meskipun, sudah banyak lahir organisasi-organisasi pergerakan berisi orang-orang terpelajar termasuk kerabat dari kraton, yang menggunakan pengantar Bahasa Jawa “krama”.

Setelah lebih 100 tahun, tepatnya sejak tahun 1990-an lalu, hubungan diplomatik antara RI dan Suriname terjalin, barulah ada diaspora Jawa di Suriname berangsur-angsur “melancong” ke Indonesia. Dalam beberapa gelombang “pelancong” terdiri beberapa kelompok, mereka “mulih” dan “tilik desa” yang pernah menjadi tanah tumpah-darah generasi leluhur yang dibawa ke Suriname.
Di awal-awal kedatangan gelombang “pelancong” datang ke desa asal leluhurnya di wilayah Jatim dan Jateng, ada ekspresi kesulitan berkomunikasi dengan tiap orang “Jawa” yang dijumpai. Belakangan setelah ada kesepahaman tentang posisi bahasa yang berkembang di Indonesia, baru diperoleh cara untuk menggunakan diksi Bahasa Jawa yang sama-sama bisa dimengerti.
Dalam kerangka menemukan kesepahaman itu, Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) selaku tuan rumah yang memberi sambutan, juga KP Budayaningrat yang menjelaskan soal khasanah “Jampi Jawi”, berusaha mencari diksi bahasa yang bisa dipahami tamunya. Hinga akhirnya terdengar beberapa diksi Bahasa Jawa yang menggelikan seperti “Omah Gedhe” untuk mengistilahkan Sasana Handrawina, misalnya.

Kesenjangan berbahasa antara diaspora Jawa di Suriname dengan warga masyarakat etnik Jawa secara umum, termasuk keluarga besar masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, memang sudah sering dijembatani. Yang secara resmi, adalah forum Kongres Bahasa Jawa yang digelar rutin periodik setiap beberapa tahun sekali. Juga melalui misi kebudayaan seperti yang dilakukan sejumlah seniman Jawa terkenal.
Walau ada hasil perkembangan yang baik, terutama soal pemahaman diksinya, tetapi tetap saja berjarak masih jauh antara Bahasa Jawa yang digunakan diaspora Jawa di Suriname dengan warga masyarakat etnik Jawa, terutama di lingkungan kraton. Meski sudah “dianggap” mengikuti perkembangan, tetapi anehnya ada warga elemen masyarakat adat yang punya ciri diksi bahasanya justru “menyimpang”.
“Penyimpangan” terjadi dalam kurun waktu yang panjang, setidaknya saat Kraton Mataram Surakarta tak lagi “berdaulat” dan selama kraton “tak kuasa” menyelamatkan asetnya, berbagai “kawruh” Budaya Jawa dan Bahasa Jawanya. Di saat itulah, masyarakat adat menjadi “liar” mengikuti arus perkembangan bahasa di luar kraton dan lokal, hingga tak terasa hampir kehilangan bahasa ibunya.

Dalam kondisi seperti itulah, masyarakat etnik Jawa dari lingkungan wilayah adat berangsur-angsur masuk ke dalam berbagai elemen masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta. Ada banyak yang masuk Pakasa, tetapi sedikit yang masuk melalui sanggar-sanggar pasinaon dan pawiyatan yang ada di kraton. Bahkan, sudah tidak ada yang masuk melalui Sanggar Pawiyatan Dalang, karena lama vakum.
Dalam konstelasi seperti di atas, masyarakat adat pemilik, pengguna dan pemelihara Bahasa Jawa dan berbagai “kawruh” Budaya Jawa lainnya, tak terasa mulai kehilangan aset simbol kebanggaannya yang adi luhung. Tak terasa, mereka mulai kehilangan nilai-nilai “kearifan lokalnya”. Tak terasa, identitas basis peradaban yang telah “menuntun” kehidupannya sedang “dilumpuhkan”. Sadarkah?. (Won Poerwono – habis/i1)