Lebih Rasional dan Ideal, Sambutan Berbahasa Jawa “Krama” Diberikan di Acara Adat (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:July 10, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Lebih Rasional dan Ideal, Sambutan Berbahasa Jawa “Krama” Diberikan di Acara Adat (seri 1 – bersambung)
MENJADI PAMBIWARA : KP Budayaningrat saat bertugas emnjadi "juru pambiwara" pada acara konser karawitan yang digelar "Bebadan Kabinet 2004" Kraton Mataram Surakarta di Bangsal Smarakata, beberapa waktu lalu. Teladan seorang dwija sanggar yang dibutuhkan masyarakat adat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Harus Kembali Dikuasai dan Selalu Digunakan, Agar Menjadi Lengkap dan “Tidak Aneh”

IMNEWS.ID – SETIDAKNYA ada empat peristiwa yang penting untuk dicatat keluarga besar masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, yang kebetulan terjadi berurutan tak jauh waktunya. Yang pertama ketika berlangsung upacara “wisudan” bagi para abdi-dalem yang sama sekali baru mendapat gelar dan pangkat, maupun yang mendapat kenaikan pangkat dan perubahan gelar.

Peristiwa upacara “wisudan” itu diikuti 300-an orang di Bangsal Smarakata, beberapa hari menjelang datangnya Tahun Baru Jawa Dal 1959, belum lama ini. Peristiwa kedua, ketika ada tahapan persiapan pisowanan upacara adat kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa Dal 1959/Tahun Baru Islam 1447 Hijriyah pada malam 1 Sura/1 Muharam, terutama di Bangsal Smarakata.

Dan peristiwa ketiga, ketika ada “Diskusi Budaya” di tengah event “Jambore Nasional Keris 2025”, yang digelar beberapa hari di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa, Kraton Mataram Surakarta, menjelang 1 Sura Tahun Dal 1959. Peristiwa keempat ketika Gusti Moeng dan jajaran Bebadan kabinet 2004 menerima tamu rombongan masyarakat “Diaspora Jawa” dari Suriname, belum lama ini.

Empat peristiwa itu bukan didesain menjadi satu rangkaian acara yang berurutan, melainkan masing-masing terpisah, nyaris tak ada kaitannya satu sama lain. Khusus peristiwa keempat, adalah ekspresi kehidupan masyarakat keturunan Jawa lebih 100 tahun lalu, yang beranak-pinak dan hidup di “Tanah Tumpah darah” baru, yaitu di negara Suriname, Pasifik selatan.

PROSES YANG TEPAT : “Berguru” pada Sanggar Pasinaon Pambiwara untuk mendapatkan “kawruh hamicara” atau pengetahuan berpidato dalam Bahasa Jawa “krama” seperti yang tampak di ajang ujian para siswa sanggar, sebenarnya penting bagi kalangan pengurus Pakasa cabang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Walau tak ada kaitannya satu sama lain, khusus peristiwa 1-3 itu terkesan ada benang-merah kaitannya, atau setidaknya masing-masing memperlihatkan tema yang bersinggungan, bahkan ada kemiripannya. Masalah menonjol yang bisa dirangkum atau ditarik menjadi satu tema, adalah fakta realita “kondisi” dan perlunya pembekalan “kawruh” untuk “merubah” kondisi itu.  

Dan khusus peristiwa ke-4, adalah sebuah ekspresi kerinduan masyarakat diaspora yang sudah menjadi “nasib” dan keniscayaannya, harus hidup terputus dan tersingkir dari “akar dan habitatnya” yaitu bumi Nusantara, terlebih dari Tanah Jawa. Kehidupannya seakan “terkonservasi” dari perkembangan yang dialami “budaya, tanah dan akar” induknya, yaitu Jawa.

Fakta realita kondisi, ketika diperas lagi tinggal satu kata berbunyi “memprihatinkan” dan pembekalan “kawruh” untuk merubah kondisi, bila diperas menjadi “tidak jumbuh” atau tidak rasional. Dua pengertian berkait inilah yang sebenarnya menjadi gambaran riil dan fakta rata-rata di tengah masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta dalam berbagai elemen, kini.

Lukisan kondisi riil masyarakat adat dalam dua pengertian berkait itulah, yang sebenarnya menjadi tema besar fakta tentang profil masyarakat adat Jawa yang selama ini menjadi daya dukung legitimatif kraton. Sekaligus itulah persoalan mendasar yang dialami masyarakat adat Jawa, yang secepatnya memerlukan penanganan akibat degradasi yang terus dialaminya.

“SUDAH TERLANJUR” : Kalau dilihat perkembangan dan kebutuhan riilnya, penguasaan dan pemahaman “kawruh” Budaya Jawa “sudah terlanjur” jauh terlewatkan khususnya di kalangan warga Pakasa. Tetapi, masih ada solusi yang bisa ditempuh sesuai saran KP Budayaningrat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kata degradasi menjadi satu kunci identifikasi persoalan yang sedang terjadi secara umum di internal masyarakat adat di kraton dalam berbagai elemen. Ketika melihat profil di internal masyarakat adat itu saja, akibat degradasi nilai dan “kawruh” tentang budaya yang seharusnya menjadi ciri peradabannya, sudah memprihatinkan, apalagi di masyarakat eksternal.

Pengikisan atau erosi nilai dan “kawruh” inilah yang gampang diidentifikasi karena mudah ditangkap di berbagai forum. Selain yang tercermin dalam tiga peristiwa di atas, iMNews.id juga merekam fakta kegiatan kehidupan akibat erosi nilai dan kawruh di berbagai tempat yang luas, terutama di wilayah yang pernah menjadi sebaran budaya dan peradaban Jawa.

Ketika sudah menemukan kata kunci terjadinya degradasi karena erosi nilai dan kawruh Jawa di kalangan masyarakat adat dan adanya peristiwa 1-3 itu di satu sisi, di sisi lain ada fakta praktik kegiatan dalam kehidupan sehari-hari yang bisa dikaitkan. Media iMNews.id juga merekam praktik penguasaan dan penggunaan beberapa “kawruh” dalam Budaya Jawa itu secara nyata.

Dalam kurun waktu lebih 5 tahun sejak sebelum 2017 hingga kini, iMNews.id “merekam” rata-rata lebih dari 10 kali peristiwa upacara adat di lebih dari 10 tempat, baik di dalam dan maupun terutama di luar kraton. Selama itu dan di sejumlah lokasi itu, identifikasi persoalan mendasar  bisa dilakukan dan gambaran secara umum bisa diperoleh.

DALAM BERBUSANA : Erosi dan degradasi penguasaan “kawruh” Budaya Jawa dan pelengkapnya, juga bisa dilihat dari praktik ujian bagi para siswa Sangar Pasinaon Pambiwara seperti yang dilakukan seorang penguji yang menanyakan bagian dari ageman seorang peserta ujian. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Hasil identifikasi peristiwa riil yang terekam di berbagai peristiwa, di sejumlah lokasi di dalam dan luar kraton selama kurun waktu itu, jelas berkait dengan analisis tentang degradasi nilai dan kawruh di atas. Karena, dari kegiatan kehidupan nyata pelaksanaan kawruh itu, bisa menunjukkan tingkat pemahaman dan terjadinya erosi nilai-nilai dan kawruh tersebut.

Untuk mendapatkan angka-angka riil yang memenuhi standar ilmiah, memang harus diperoleh dari rangkaian penelitian dan kajian ilmiah. Tetapi, dari hasil pengamatan iMNews.id yang berlangsung dalam kurun waktu, sejumlah lokasi dan peristiwa yang terjadi, sudah cukup menunjukkan hasilnya secara kualitatif dan cukup meyakinkan, walau tidak menjadi kesimpulan final.

Dan, walau hanya sebatas analisis dan kesempulan sementara, kalimat pernyataan yang bisa diambil dari serangkaian pengamatan itu sudah jelas dan tegas menunjukkan. Bahwa penguasaan dan pemahaman berbagai kawruh dalam Budaya Jawa serta peradabannya, termasuk sejarah kelembagaan yang menjadi sumber budaya dan peradaban itu semakin menipis dimiliki kalangan masyarakat adat.

Bukan masyarakat adat di lingkaran kerabat inti dan lembaga-lembaga sanggar pasinaon/pawiyatan di internal kraton, tetapi di kalangan masyarakat adat yang ada di sejumlah elemen misalnya Pakasa dan yang berada di luar elemen atau tak terwadahi. Potret realitas ini yang patut diperhatikan kalangan masyarakat adat itu sendiri, untuk secepatnya dicarikan solusi.

LEBIH GAMPANG : Melalui wadah Sanggar Pasinaon Pambiwara, sebenarnya erosi dan degradasi pemahaman dan penguasaan kawruh Budaya Jawa dan pelengkapnya lebih gampang diatasi. Tetapi masyarakat adat dalam wadah elemen Pakasa, “terlanjur lepas” dan kesempatan mengatasinya masih minim. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Solusi yang cepat dan tepat mendesak diperlukan, meskipun bukan menjadi metode yang ideal untuk mengatasi secara maksimal. Solusi yang cepat dan tepat itu, antara lain sudah terungkap dari pribadi KP Budayaningrat, seorang “dwija” Sanggar Pasinaon Pambiwara di Kraton mataram Surakarta. Pemerhati budaya ini menyatakan siap menjadi “penyuluh” budaya.  

“Secara pribadi maupun bagian dari Sanggar Pasinaon Pambiwara, saya siap ditugaskan menjadi penyuluh budaya. Saya siap bertugas keliling di cabang-cabang Pakasa yang membutuhkan tambahan kawruh, baik sebagai abdi-dalem maupun untuk keperluan pasuwitan di kraton. Dalam bermasyarakat-pun, kawruh itu penting dimiliki,” tegas KP Budayaningrat. (Won Poerwono – bersambung)