“Yen Durung Bisa Dadi Obor, Dadiya Senthir; Yen Durung Bisa Dadi Payung, Dadiya Caping”
SURAKARTA, iMNews.id – Dalam dua hari ini, Sabtu dan Minggu (14-15/6), Sanggar Pasinaon Pambiwara “ndadar” (menguji) seratusan siswanya “babaran” (angkatan) 43 tahun 2025 di Bangsal Smarakata. “Pendadaran” tahap pertama yang dilakukan para “dwija” sanggar, berlangsung sejak pagi hingga siang tadi dan diikuti 40 dari 46 siswa sanggar pusat, Bangsal Marcukunda.
“Pendadaran” tahap pertama yang dimulai pukul 09.00 WIB hingga selesai sekitar pukul 13.00 WIB tadi, dihadiri GKR wandansari Koes Moertiyah (Gusti Moeng) selaku Pangarsa Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta dan “dwija” pendadar. Juga tampak KGPH Puger yang ikut “ndadar” dan KPH Raditya Lintang Sasangka, Pangarsa sanggar yang juga pendadar.
Pendadaran yang berlangsung pagi hingga siang tadi, adalah “pendadaran tumindak” atau ujian praktik dari pengetahuan yang diberikan para “dwija” (guru) selama 6 bulan pendidikan untuk “babaran” (angkatan) 43 berlangsung di pusat pendidikan Bangsal marcukunda Kraton Mataram Surakarta. Ujian praktik meliputi pidato berbahasa Jawa krama inggil sesuai temanya.
Bila tema yang dipilih “pasrah pengantin”, isi pidato juga sesuai dengan makna memasrahkan pengantin (lelaki) kepada panitia upacara untuk “dhaupaken” atau menikahkan dalam konteks upacara yang berisi tatacara lengkap, dari awal hingga akhir. Bila temanya “atur panuwun” (ucapan terima kasih), siswa harus mengungkapkan makna itu dalam bahasa Jawa yang tepat.

“Basa Jawi krama inggil ingkang leres, jangkep lan pantes menika sanes basa ingkang ngayawara, mboten trep lan mboten jelas iangkang dipun kajengaken. Ananging, Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton (Mataram) Surakarta) gadhah tatanan piyambak kados ikang sinebat punjering Budaya Jawi. Wonten mriki kula ugi pengin ngemutaken bab tembung limrah ketingalipun sepele”.
“Inggih menika, tembung ‘Matur Suwun’ lan ‘Sugeng Rawuh’. Amargi, tembung ingkang tepat lan maknanipun kados ingkang dipun kajengaken, saking basa Jawi ingkang asumber saking Budaya Jawi Kraton Mataram Surakarta menika, ‘Matur Nuwun’ dan Wilujeng Rawuh’. Tembung-tembung salajengipun ingkang ngginaaken menika ugi mekaten,” ujar KPH Raditya Lintang Sasangka.
Selebihnya, Pangarsa Sangar Pasinaon Pambiwara dalam sambutannya yang menggunakan Bahasa Jawa krama inggil itu, juga banyak mengingatkan tingkat kehadiran rata-rata para siswa mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Dalam gayanya bercanda ringan yang mengundang gelak-tawa para peserta pendadaran dan pendadar, ia melukiskan hasil evaluasinya selama mengajar.
Menurutnya, kata “wilujeng” yang disebut di awal ternyata berkait dengan makna lain yang lucu dan ringan, yaitu tingkat keaktifan siswa mengikuti kegiatan belajar yang menurutnya hanya “sewidak-an” atau 60 persen. Karena, yang 40 persen rata-rata digunakan untuk berbagai kesibukan profesi/pekerjaannya, padahal absensi siswa menentukan kelulusannya kelak.

“La, menawi siswa ingkang mekaten menika naminipun namung ‘wilujeng 60 persen’. Kula ugi badhe nedaahaken, rencang-rencang sami sinau wonten mriki menika badhe pikantuk kathah sanget piwulang ingkang mboten wonten ing sanggar-sanggar pasinaon njawi kraton. Sepindhah, sinau wonten mriki ateges sinau wonten punjering Budaya Jawi, Kraton (Mataram) Surakarta”.
“Panjenengan sadaya ugi dipunwulang tatacara ‘laku dhodhok’. Ugi dipun wulang sejarah lan Budaya Jawi komplet. Menawi penjenengan sinau wonten njawi, mboten bakal nampi pelajaran menika. Penjenengan ugi dipun suwun sregep mlebet sinau, mboten lumantar cara ‘googling’. Amargi pados ngelmu/ilmu menika kalakone kanthi laku,” tunjuk KPH Raditya Lintang Sasangka.

Selanjutnya KPH Raditya Lintang Sasangka menandaskan penjelasannya dalam Bahasa Jawa “krama inggil” yang kurnag lebih, bahwa dalam konteks sekolah atau “sinau” (belajar) untuk mendapatkan “ngelmu” dan ilmu, dalam terminologi Budaya Jawa adalah berbeda. Tetapi, keduanya bahkan harus dilakukan dengan “laku” yang bisa diartikan menjalani ritualnya secara fisik.
Bersekolah ditegaskannya sebagai ritual secara kelembagaan, begitu pula belajar atau “sinau” sebagai ritual pribadi. Itu semua harus dijalani langsung, karena melalui tembang “Ngelmu iku, kelakone kanthi laku” (para Pujangga) mengajarkan itu sangat benar adanya. Ajaran untuk mendapatkan “ngelmu” atau ilmunya, harus ada proses secara fisik dijalani jadi rasional.

Dia juga menuturkan sebuah perumpaan dalam khasanah kearifan Jawa yang mengedukasi untuk melukiskan keberadaan Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Mataram Surakarta. Bahwa menurutnya, “Sing Mara, Durung Mesthi Butuh”; “Sing Butuh, Durung Mesthi Gelem Sinau”; “Sing Gelem Sinau, Durung Mesthi Ngerti”; “Sing Ngerti Mesthi Mupangati”.
Dalam bahasa umum kurang lebih diungkapkan, bahwa siapa saja yang datang “bersekolah” (belajar), belum tentu membutuhkan (ilmunya). Dan yang membutuhkan ilmunya, belum tentu mau belajar/bersekolah di sanggar, dan yang mau belajar/bersekolah, belum tentu bisa memahami proses dan ilmu yang diberikan, kemudian yang bisa mendapat ilmu/memahami, belum tentu bermanfaat.
Walau gambaran secara umum yang bisa lahir dari realitas keberadaan aktivitas Sanggar Pasinaon Pambiwara kira-kira seperti itu, kalau memang sulit dicapai publik secara luas menurut KPH Raditya Lintang Sasangka tak apa-apa. Tetapi masih ada nasihat bijak bermanfaat yang berbunyi :”Yen Durung Bisa Dadi Obor, Dadiya Senthir”, karena esensinya bisa menyinari.
Menurutnya, menjadi “obor” untuk terminologi teknologi pada masa lampau sudah bisa menyinari radius cukup luas. Tetapi, bila belum bisa luas menyinari, kalau hanya bisa dengan “senthir” (pelita) sudah baik. Berikut selengkapnya disebutkan, “Yen Durung Bisa Dadi Payung, Dadiya Caping”, jadilah pengayom/pelindung, bila belum bisa banyak, sedikitpun sudah baik.

Sebelum Pangarsa sanggar memberi evaluasi jalannya pendidikan 6 bulan dan pendadaran tahap 1, Gusti Moeng selaku dwija dan Pangarsa Yayasan Pawiyatan Kabudayan Kraton Mataram Surakarta lebih dulu memberi sambutan. Dia mengucapkan terima kasih kepada para siswa “babaran” 43 yang mau belajar Budaya Jawa ke sumbernya, kraton, dan dipastikan akan mendapat pengetahuan berlebih.
Sementara itu, KGPH Puger, tokoh Bebadan Kabinet 2004 yang sejak 2017 “mutung” dan memimilih pasif, siang tadi meneruskan niatnya kembali aktif membantu “kerepotan” di Sanggar Pasinaon Pambiwara. Kakak kandung Gusti Moeng yang kembali aktif di berbagai acara dalam dua tahun terakhir ini, siang tadi ikut “ndadar” dan memberi sambutan tentang sejarah dan Budaya Jawa. (won-i1)