Ratu Kalinyamat, KRAy Koes Sapariyah dan 9 Prameswari-dalem Adalah Tokoh Wanita Hebat
IMNEWS.ID – MEMAHAMI sikap bangsa yang selama ini “hanya diberi kesempatan” mengapresiasi dan mengagumi para tokoh pegerakan merintis kemerdekaan sebagai individu, dari satu sisi memang positif. Karena, karakter si tokoh yang hendak diperlihatkan, bisa menggugah semangat kalangan generasi penerus bangsa, agar bisa meneladani peran dan jasanya.
Tetapi di sisi lain, cara “menggiring apresiasi dan kekaguman” seperti itu, sangat merugikan publik secara luas bangsa dari generasi ke generasi. Karena, di situ ada proses “pembodohan” yang menjauhkan nalar untuk mencari dan mengetahui dari mana tokoh yang diapresiasi dan dikagumi itu berasal?. Selebihnya, akan banyak kerugian berlipat sebagai rangkaiannya.

Oleh sebab itu, ketika menokohkan RA Kartini sebagai “pendekar” kesetaraan gender perempuan dan tokoh pencerdas bangsa lewat “Habis Gelap Terbitlah Terang”, akan sangat mengedukasi kalau dilengkapi dengan penggambaran suasana lingkungan yang lengkap. Tak hanya lingkungan jabatan dan status “ningrat” keluarganya yang pejabat Bupati, tetapi bisa lebih dari itu.
Karena, RA Kartini penya latar-belakang atau lingkungan keluarga, dan jabatan Bupati ayahandanya tentu punya latar-belakang atau lingkungan lembaga yang menugaskannya sebagai Bupati. Lembaga pemerintahan “negara” yang mempercayakan jabatan Bupati kepada ayah RA Kartini saat itu, adalah “negara” (monarki) Mataram Islam Surakarta yang dipimpin Sinuhun PB IX.

Sinuhun Paku Buwana (PB) IX (1861-1893) yang menjadi “kepala negara” (monarki) Mataram Surakarta, saat RA Kartini lahir (1879-1904) di keluarga RM Adipati Arya Sosroningrat, menjadi aparat pemerintah sebagai Bupati Jepara. Informasi mengenai edukasi yang melukiskan asal-usul seorang tokoh bahkan disebut Pahlawan, jelas sangat penting dan bermanfaat.
Tak hanya untuk RA Kartini, beberapa tokoh pergerakan wanita seperti Dewi Sartika, Cut Nya Dien, Christina Martha Tiahohu dan sebagainya perlu dan penting dijelaskan asal-usul lingkungan keluarga dan zamannya. Selain mengedukasi pengetahuan lengkap, akan memberi efek kebanggaan dan lahir semangat meneladani ketika ada unsur atau faktor “kedekatan” disebutkan.
Karena sudah menjadi sisi kelemahan rezim-rezim pemerintahan terdahulu, ketika menetapkan seorang figur menjadi “Pahlawan Nasional” atau idola, terkesan menutupi latar-belakang asal-usul sang tokoh. Oleh sebab itu, wajar kalau KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro “memprotes” munculnya nama jalan baru dan beberapa nama lama yang tak jelas di Surakarta.
Berkait dengan persoalan itu pula, maka eksistensi “negara” (monarki) Mataram Surakarta selayaknya menjadi “back ground” penanda era/zaman saat sejumlah nama itu ditokohkan sebagai figur hebat dan penting, yang perlu dipahami serta diedukasi kepada publik secara terbuka. Karena, menyebut RA Kartini menjadi “tidak fair” kalau tidak menyebut Mataram Surakarta.

Fakta “back ground” itu penting diedukasi kepada publik secara terbuka, untuk menghindari kesan tiba-tiba ada, tak jelas asal-usulnya, asing dan tidak punya ikatan emosional dengan lingkungan bangsanya. Jangan pula seperti sindiran “Dibya Kalamarica” dalam wayang kulit, bahwa dirinya “ksatria” bukan barang yang “mlethek saka kayu” atau “watu” (batu).
Oleh karena itu, ketokohan RA Kartini tentu ada generasi berikutnya yang meneladani, di antaranya KRAy Koes Sapariyah arau GKR Paku Buwana prameswari-dalem Sinuhun PB XI. RA Kartini pasti juga belajar banyak tentang ketokohan Ratu Kalinyamat, kakak ipar Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya-Raja Kraton Pajang), yang kebetulan pendiri kabupaten dan Bupati ke-1 Jepara.
Salam catatan Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat di Jogja), bahkan ada sejumlah nama tokoh wanita yang penting dan hebat yang lahir selama Dinasti Mataram eksis hingga kini. Yaitu Ratu Waskita Jawi, permaisuri Panembahan Senapati (Raja ke-1 Kraton Mataram), yang ahli manajemen eknomi, pengusaha mebel, kayu jati, minyak tanah, semen dan agrobisnis.
Berikut adalah Ratu Banuwati permaisuri Prabu Hanyakrakusuma (Raja ke-2 Kraton Mataram), ahli batik dan tekstil di Asia Tenggara. Kemudian Ratu Mas Batang permaisuri Sinuhun Sultan Agung (Raja ke-3 Mataram), ahli perdagangan dan kerajinan. Berikut Ratu Kentjana permaisuri Sinuhun Amangkurat Agung (I), ahli manajemen perkebunan dan maritim di Kedu dan Tegal.

Ratu Mas Kediri permaisuri Sinuhun Amangkurat II, tokoh wanita yang ahli tata kota dan bangunan di Kartasura Ibu Kota Kraton Mataram. Ratu Kentjana permaisuri Sinuhun Amangkurat III, ahli kuliner dan cita-rasa internasional. Ratu Mas Balitar, permaisuri Sinuhun PB I ahli sejarah dan pendidikan. Ratu Kentjana Kudus, permaisuri Sinuhun Amangkurat IV.
Ratu Kentjana Kudus yang masih trah darah-dalem Sunan Kudus, adalah ahli perbankan dan minyak bumi. Ratu Mas Lamongan permaisuri Sinuhun PB II, ahli keuangan, pelayaran dan pelabuhan. Ratu Kentjana Beruk, permaisuri Sinuhun PB III, ahli ekspor-impor pertanian dan perkebunan. Para tokoh wanita di balik sukses para Raja Mataram itu, tentu juga punya patron idola.
Ratu Kalinyamat sebagai anak ketiga dari enam putra/putri Sultan Trenggana (Raja Kraton Demak), tentu juga belajar dari para tokoh wanita yang diidolakan. Karena sebelum zamannya, sudah ada tokoh Ratu Shima (abad 6), Tri Buwana Tungga Dewi (abad 14) dan sebagainya yang menjadi teladan ketokohannya. Tetapi sayang, NKRI kurang baik mengedukasi bangsanya.
Dalam rentang waktu panjang sekitar 350 tahun selama Dinasti Mataram eksis hingga Mataram Surakarta (1745-1945), banyak sekali tokoh sejarah berskala nasional bahkan internasional, baik lelaki maupun perempuan. Tetapi, ada keterbatasan yang kurang memberi kesempatan kaum perempuan berprestasi tampil, sehingga mudah ditenggelamkan oleh “kekuasaan” penerus.

Perilaku buruk “kekuasaan” itu sudah seharusnya dihilangkan saat ini dan diganti cara berfikir terbuka, agar semua keteladan baik dan positif yang dulu sengaja “dikubur”, bisa muncul ke permukaan. Generasi bangsa di abad milenial yang gamang dan gegar budaya saat ini, butuh inspirasi dan edukasi dari ketokohan para leluhur pendahulu sebanyak-banyaknya.
Organisasi Putri Narpa Wandawa yang ternyata sudah eksis sejak 5 Juni 1931, adalah fakta perjalanan sejarah bangsa yang tidak bisa dihapus dan tidak boleh dihapus. Dari sana ada keteladan Ratu Kalinyamat, 10 permaisuri termasuk KRAy Koes Sapariyah yang bisa dipetik generasi bangsa ini, untuk meneruskan perjalanan NKRI dan Kraton Mataram Surakarta ke depan. (Won Poerwono – bersambung/i1)