Ketika Publik “Terjebak” Asumsi Mataram Surakarta “Hanya” Sebatas Lembaga Kerajaan (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:June 8, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Ketika Publik “Terjebak” Asumsi Mataram Surakarta “Hanya” Sebatas Lembaga Kerajaan (seri 2 – bersambung)
PERINTIS KEMERDEKAAN : Sinuhun Paku Buwana X menjadi seorang tokoh "Raja" dan "Kepala Negara" (monarki) yang justru merintis kemerdekaan dan lahirnya negara baru (NKRI). Kebebasan "berserikat", kebebasan berekspresi dan berdemokrasi justru didorong tokoh yang dinobatkan sebagai Pahlaawan Nasional ini. (foto : iMNews.id/Dok)

Eksistensi Putri Narpa Wandawa, Berkait dengan “Budi Utomo” dan “BPUPK”

IMNEWS.ID – GAMBARAN ekspresi seorang tokoh publik yang menyatakan kekagumannya atas peran organisasi Putri Narpa Wandawa (iMNews.id, 6/6), adalah contoh sebagian kecil publik bangsa di negeri republik ini yang masuk kategori “terjebak”. Bangsa yang sebenarnya bersikap tak peduli dengan pesan bijak “Jasmerah” itu, sebenarnya telah terjebak pada pandangan “dangkal”.

Cara memandang yang tidak bijak, arif dan tidak “fair”, melukiskan kedangkalannya dalam melihat “Karaton” atau Kraton Mataram Surakarta hanya sebagai lembaga adat, budaya dan lembaga masyarakat adat saja. Karena kehilangan tiga sifat luhur dan jujur itu, akibatnya hanya bisa memandang “karaton” (kraton) sebagai tempat komunitasnya menggelar upacara adat.

Karena kehilangan tiga sifat luhur dan jujur itu, maka orang-orang yang masuk kategori itu tidak bisa melihat dengan jernih bahwa “Karaton” Mataram Surakarta sebelum 17 Agustus 1945 adalah sebuah lembaga “negara” monarki yang “paling modern”. “Negara monarki” di wilayah Nusantara yang mulai merintis konsep politik yang membagi pemisahan kekuasaan.

Kekuasaan harus dipisahkan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bahkan, sejak Sinuhun PB X (1893-1939), sudah dibuka pula kekuatan kontrol dari publik yang terwujud dalam peran dan fungsi media (pers) yang disebut kekuatan ke-4. Walau belum sempurna, angin demokratisasi politik kekuasaan di era “negara” Mataram Surakarta sudah terasa sekali.

LAYAK PAHLAWAN : Sinuhun PB XI yang meneruskan rintisan ayahandanya (PB X) membuka peluang dan memfasilitasi berbagai kebebasan yang menjadi syarat alam demokrasi, sangat layak dinobatkan sebagai Pahlawan Nasonal. Dia banyak andil dalam pembentukan BPUPK dan pemikiran untuk negara baru dan tatanannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Berhembusnya alam demokrasi yang diikuti pembagian sistem politik kekuasaan seperti dimaksud dalam “Trias Politica” pada era Sinuhun PB X, mendapat tempat yang sangat baik. Karena, sifat akomodatif “Sinuhun ingkang wicaksana saha ingkang minulya” itu, didasari keinginan dan semangat bersama merintis kehidupan baru dalam wadah sebuah “negara baru”.

Negara baru yang “modern” itu adalah, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk sampai ke peristiwa 17/8/45, apa yang sudah “disiapkan” Sinuhun PB X, ternyata harus dilengkapi Sinuhun PB XI (1939-1945). Yaitu kebutuhan berbagai “perangkat” untuk melahirkan sebuah negara seiring angin demokrasi yang sudah mulai terasa di Asia Tenggara, pasca-PD II.

Berbagai perangkat itu adalah Bale Agung yang menjadi tempat kegiatan semacam “dewan” atau lembaga legislatif untuk menyampaikan aspirasi. Kegiatan protes dan demo menentang “kebijakan” negara (monarki)-pun diberi kebebasan dan tempat di seputar Gladag. Sedang embriyo kekuasaan yudikatif, sudah dirintis dengan berdirinya lembaga Panti Pidana dan Sidikara.

Lembaga eksekutif, justru sudah jauh lebih dulu dipisahkan sejak ada lembaga “Kepatihan”, yaitu mulai dirintis di awal Sinuhun Amangkurat Agung (I) jumeneng nata di “nagari” Mataram Islam yang berIbu Kota di Kerta. Lembaga “patih” sebenarnya sudah dikenal sejak Majapahit (Gajah Mada), tetapi belum berfungsi penuh dengan perangakat kerja eksekutif seperti Mataram.

TOKOH MUHAMMADIYAH : Patih Sasradiningrat V adalah salah seorang tokoh Muhammadiyah dari lingkungan internal “negara” Mataram Surakarta. Dia dan istrinya secara terpisah banyak mewarnai organisasi Pakasa, Putri Narpa Wandawa, Budi Utama, BPUPK dan melatih tenaga rumah tangga Istana Presiden RI sejak NKRI lahir. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tetapi, sejak “negari” Mataram Islam dipimpin Raja keempat (Sinuhun Amangkurat Agung), lembaga “Kepatihan” mulai memiliki perangkat kerja eksekutif yang mulai diwujudkan sampai ke daerah-daerah di wilayah kabupaten. Karena, dari berbagai sumber diperoleh catatan, pemerintahan kabupaten yang dipimpin bupati dan rata-rata berpangkat Adipati, mulai saat itu makin jelas.

Yaitu, jelas tata administratif pemerintahan eksekutifnya, yang makin diaktualisasi dan terus dilengkapi sistematika pembagian kerjanya selama 200 tahun “negara” (monarki) Mataram Islam Surakarta eksis hingga 1945. Sinuhun PB X dan PB XI melengkapi kebutuhan sistem politik pemerintahan “modern”, yang memenuhi kebutuhan syarat sesuai tuntutan alam demokrasi.

Selain pembagian kekuasaan sesuai “Trias Politica”, juga terbukanya kebebasan berpendapat dan “berserikat” seperti yang disebut di atas, ditambah dengan lahirnya sejumlah organisasi pergerakan yang diinisiasi dari internal “negara” (monarki), seperti Pakasa, Putri Narpa dan Narpa Wandawa. Sedangkan dari eksternal, banyak sekali yang disponsori “negara”.

Dalam catatan Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat di Jogja), di antara organisasi yang lahir dari kalangan rakyat sebagai wujud kebebasan “berserikat” tetapi “didukung negara”, adalah Budi Utomo. Bahkan, lahirnya organisasi Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Syarikat Dagang Islam dan beberapa lagi yang lahir di luar kraton, juga “didukung” negara Mataram.

BANYAK YANG AWAM : Beberapa generasi bangsa ini hingga kini masih banyak yang awam bahwa Putri Narpa Wandawa dan berbagai organisasi pergerakan nasional perintis kemerdekaan RI, lahir dari lembaga “negara” (monarki) Mataram (Islam) Surakarta. Banyak yang terjebak asumsi bahwa “Karaton” Mataram hanyalah lembaga adat dan budaya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Ketua Putri Narpa Wandawa yang pertama, adalah KRAy Koes Sapariyah yang tak lain adalah GKR Paku Buwana, permaisuri Sinuhun PB XI. Kepengurusan Putri Narpa Wandawa, juga melibatkan istri Patih Sasradiningrat V dan istri Patih Wuryaningrat. Di saat para tokoh itu aktif, ikut berpengaruh dalam Badan Penyelidik Usaha Panitia Kemerdekaan (BPUPK)”.

“Di Putri Narpa Wandawa, istri Patih Wuryaningrat adalah Bendahara 1, merangkap Bendahara Budi Utomo. Kongres Budi Utomo (BU-Utama-Red), 20 Oktober 1908, PB XI (Mataram Surakarta) menyumbang 250 ribu Gulden. Nama dr Sutomo adalah ketua ke-8, wafat tahun 1938. Tujuh nama tokoh ketua BU sebelumnya, dari Mangkunegaran dan Mataram Surakarta,” papar Dr Purwadi.

Sampai di sini, ketika dianalisis lebih jauh, maka “Ketika Publik Terjebak Asumsi Mataram Surakarta Hanya Sebatas Lembaga Kerajaan”, apalagi hanya sebatas lembaga adat dan budaya, maka alam di Pulau Jawa dan Nusantara bisa diasumsikan tak ubahnya “belantara tak berperadaban”. Padahal, 200 tahun Mataram Surakarta membentuk peradana lembaga negara monarki itu.

Upaya mengenal dan memahami organisasi “Putri Narpa Wandawa” seperti dicontohkan seorang tokoh “pejabat publik” di atas, patut diteladani publik secara luas, khususnya generasi yang sudah “awam” dan “buta” sejarah masa lalu leluhur. Termasuk, figur yang berpendapat “picik” tentang istilah “Karaton” dan mempermasalahkannya sebagai “kekeliruan esensi artikelnya”.

PATUT DITELADANI : Upaya Venesia Respati (Ketua TP PKK Kota Surakarta) untuk mengerti dan memahami organisasi Putri Narpa Wandawa, patut diteladani dan diapresiasi. Karena, dia menjadi contoh generasi seusianya yang sudah “awam” bahkan “buta” sejarah masa lampau leluhur bangsa ini, di antaranya Mataram. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Figur tokoh “pejabat publik” di atas tidak hanya sendiri, tetapi jutaan bangsa di NKRI ini mungkin belum banyak mengenal bahwa “Karaton” Mataram (Islam) Surakarta dulunya adalah negara besar “modern” terakhir di Jawa, bahkan di Nusantara. Lahirnya berbagai organisasi pergerakan merintis kemerdekaan RI, justru di saat “negara” Mataram Surakarta masih eksis.

Benih-benih sistem demokrasi dan organisasinya bermunculan bersama para tokoh penting perintis kemerdekaan RI, justru banyak yang lahir dari “negara” Mataram Surakarta, bahkan “disokong” oleh para pemimpin “karaton”, termasuk Sinuhun PB X dan XI. “Karaton” dari kata “ka-ratu-an”, tempat ratu, tetapi pimpinannya tidak disebut ratu yang konotasinya wanita. (Won Poerwono-bersambung/i1)