Lagu “Tukang Tambal Ban” yang Jadi Unggulan, Langsung Disambut “Gegap-gempita”
IMNEWS.ID – ANTARA dua jenis seni pertunjukan musik yang bisa dikategorikan ke dalam tradisi kreatif dan inovatif dan musik Melayu atau dangdut konvensional, kini sedang menjadi aktivitas seni sekaligus hiburan yang menonjol di tengah masyarakat. Terutama di Jawa Tengah (Jateng) dan Jawa Timur (Jatim), walau tidak merata seluruhnya, ditambah sebagian DIY.
Tetapi, pasar bagi berbagai kesenian tradisional yang rata-rata sudah “dibesut” dan kehilangan “ciri-ciri keagungannya” itu, dari tahun ke tahun semakin menyempit. Peredaran pertunjukan bagi beberapa jenis kesenian itu, termasuk dangdut, semakin tidak merata di wilayah etnik Jawa (Jateng dan Jatim), apalagi wilayah pusat Budaya Jawa di Surakarta, juga DIY.
Oleh sebab itu, maraknya aktivitas pertunjukan seni tradisional berupa wayang kulit, klenengan campursari, tayub ditambah bintang tamu pelawak di satu sisi, juga pertunjukan musik dangdut di sisi lain, menjadi fenomena yang aneh dan membuat cengang. Sebab, kondisi ekonomi secara umum sangat sulit, pengangguran tinggi (7,8 juta) dan daya beli sangat rendah.

Dalang senior terkenal Ki Purbo Asmoro, peneliti sejarah Dr Purwadi (Lokantara), eks pemilik (OM) Ervana ’87 Edy Kistoro dan Etik “Meihong” (OM Lorenza) punya catatan dan pandangan yang menarik, berkaitan dengan judul/tema tulisan di atas. Terlebih, berkait dengan situasi serba sulit di tengah rakyat bawah saat ini, tetapi hiburan malah marak, “gegap-gempita”.
Beberapa tokoh itu secara terpisah memberi pandangan dan pengalaman peribadinya saat dihubungi iMNews.id dalam beberapa hari hingga Rabu (28/5) siang tadi. Selain Dr Purwadi selaku peneliti dan Ketua Lokantara Pusat di Jogja yang sering melakukan kajian sejarah (Seni Budaya), beberapa nama lainnya adalah pelaku seni profesinal dan pengelola grup kesenian.
Dari kesimpulan sementara atas apa yang mereka ungkapkan, ternyata maraknya hiburan seni “tradisional kreatif” dan musik “dangdut kreatif” di tengah suasana ekonomi lesu dan kehidupan rakyat kecil sedang sulit ini, ada banyak faktornya. Tidak semata-mata karena kejenuhan rakyat bawah terhadap situasi sosial, politik, hukum dan ekonomi yang membuatnya “lelah”.

Kejenuhan rakyat terhadap suasana yang “melelahkan” fisik dan psikis sekarang ini, terkesan mendominasi dari keseluruhan persoalan di kalangan rakyat bawah, bahkan hingga kelas menengah. Akurasi analisis ini perlu dibarengi penelitian ilmiah, meskipun dengan mengamati ekspresi setelah lagu “Tukang Tambal Ban” viral, sudah bisa mewakili suasana “kelelahan” itu.
Ekspresi yang lahir karena “kelelahan fisik dan psikis” rakyat bawah dan juga menengah, akibat lagu yang “dipinjam” dari album “Usman Bersaudara” itu memang tak bisa disamakan dengan maraknya pertunjukan beberapa jenis kesenian tradisional kreatif plus bintang tamu. Meskipun, ada titik singgung yang sama antara kedua jenis itu, yaitu sektor segmen penontonnya.
Sektor segmen penonton, penggembira atau penikmat antara dua kategori seni pertunjukan yang sedang laris atau “boom” di masa ekonomi sulit ini, keduanya didominasi oleh kalangan rakyat bawah atau rakyat jelata yang sedang lelah fisik dan psikisnya. Ada indikator kuat segmen penikmat ini mendominasi pertunjukan itu, baik di “hajad tarub” maupun event show.

Karena, khusus pertunjukan dangdut OM Lorenza ini, juga memperlihatkan fenomena lain dibanding grup-grup dangdut yang sedang naik daun di Jatim dan Jateng. Fenomena itu yang berhasil membuat titik singgung dengan jenis pertunjukan lain, khususnya soal sektor segmen penonton dan pengguna atau “penanggap”-nya, yaitu hajadan pengantin atau “tarub mantu”.
“Beberapa bulan terakhir hingga Mei ini, show di resepsi pengantin dan event di kampung, gedung dan panggung berbayar, sama-sama banyaknya. Hampir di mana saja OM Lorenza show, komunitas penggemar lagu ‘Tukang Tambal Ban’ yang pakai kostum dan bawa properti radio, koper dan ban motor bekas itu selalu ada,” ujar Etik Meihong menjawab iMNews.id siang tadi.
Etik adalah satu di antara 5 penyanyi grup dangdut yang sedang bangkit mengusung simbol kerakyatan yang identik sejenis profesi tukang tambal ban itu. Karena faktanya, “sektor jasa” yang menjadi simbol “kemiskinan” itu, masih bertebaran di berbagai sudut kota dan desa di Tanah Air, yang terangkat oleh lagu dan mendapat simpati hampir segala umur di segmennya.

Dari sudut masyarakat penikmat, bentuk dukungan atau partisipasi penonton dan yang hanya bisa mendengarkan sambil berjoget lepas, terkesan merasa sedang terwakili nasibnya. Datang berkostum tahun 70-an khas eksekutif dan berbagai properti unik tetapi mengacung-acungkan “ban motor bekas”, terkesan sama-sama ingin melukiskan ekspresi senasib dan sepenanggungan.
Ditambah topi yang banyak dikenal sebagai topi komedian, seniman dan ada juga yang menyebut sebagai topi “pencopet”, mereka berbaur di arena pertunjukan dan berjoget lepas. Tak peduli aksinya di wilayah privasi pemilik resepsi pengantin, para undangan berbaju “jagong” menyantap hidangan di kursi undangan, para “penumpang joget” itu dengan enak “menikmati”.
Di situlah habitat, ajang sekaligus “pasar” grup dangdut OM Lorenza yang punya markas di wilayah Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo itu. Begitu “lagu wajib” berjudul “Tukang Tambal Ban” mengudara, hampir semua yang mengepung di sekitar panggung bergerak, berjoget. Tak peduli wanita atau pria, remaja, dewasa atau uzur, berjoget-ria bahkan berirama. (Won Poerwono – bersambung/i1)