Niatnya “Menghindari Rasa Malu”, Tetapi Malah Dituding Hanya “Iseng, Pura-pura”
IMNEWS.ID – ALASAN KPH Edy Wirabhumi untuk memfasilitasi eksekusi putusan PK MA RI No.1006/PK/Pdt/2022 dengan gaya yang sejuk dan santun, 8 Agustus 2024 (iMNews.id, 22/5), adalah bentuk tatacara penyajian putusan hukum tertinggi di NKRI dalam nuansa lain, yaitu penuh kearifan sebagai cirikhas Budaya Jawa. Ini adalah fenomena menarik di zaman yang serba “keras”.
Ada beberapa tujuan ketika eksekusi disajikan dengan tatacara itu, seperti sudah disinggung di seri tulisan sebelumnya. Yang pertama, agar pelaksanaan eksekusi jauh dari kesan heboh, angker dan mencekam. Yang kedua, Lembaga Dewan Adat sebagai subjek hukum yang memfasilitasi eksekusi, jangan sampai memperlihatkan kesan mempermalukan pihak lain (Sinuhun-Red).
Dua pertimbangan inilah yang sudah diwujudkan di teras atau “topengan” Kori Kamandungan pada 8 Agustus 2024 itu. Dan senyatanya, fakta pemandangan yang tampak saat itu, memang benar-benar jauh dari kesan telah terjadi tindaka eksekusi putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA). Karena di sana tidak tampak kehebohan, kesan angker dan mencekam.

Fenomena eksekusi putusan hukum seperti ini, memang aneh dan mungkin baru terjadi di Kraton Mataram Surakarta, sepanjang sejarah pelaksanaan di lapangan atas putusan hukum tertinggi negara, yang final dan mengikat. Fenomena yang sejuk dan damai seperti ini memang menarik dan baik untuk diteladani, namun mungkin karena menjadi perkecualian objek perkaranya.
Karena objek yang dieksekusi adalah kraton dan terjadi di kraton yang notabene sumbernya Budaya Jawa, itu yang menjadi pertimbangan tertingginya. Berikut, karena eksekusi dilakukan saat Bebadan Kabinet 2004 dan LDA Kraton Mataram Surakarta sudah berada dan bekerja kembali di dalam kraton, maka eksekusi hanya diwujudkan secara simbolis membuka Kori Kamandungan.
Ketika dicermati hal membuka kancing atau “slondhok” pintu Kori Kamandungan sebagai simbol pelaksanaan eksekusi, itulah esensi eksekusi sesungguhya “gaya” kraton yang ingin diperlihatkan. Karena, nyaris tak ada simbol lain yang bisa mewakili pelaksanaan eksekusi dalam sengketa hukum atas kelembagaan LDA dan penyalahgunaan SK Kemendagri No.430-2933 tahun 2017.

Eksekusi atas putusan hukum tertinggi negara yang “terpaksa” diadaptasi dalam kearifan lokal Kraton Mataram Surakarta pada 8 Agustus 2024 itu, kalau dicermati lagi juga akan menunjukkan fenomena baru. Baik bagi kelembagaan kraton dan masyarakat adatnya, maupun bagi institusi penegak hukum yang mewakili dan menjadi pilar kehidupan demokrasi negara RI.
Kalau dirunut kemudian, peristiwa ini adalah peristiwa bertemunya hukum adat khas lembaga Kraton Mataram Surakarta dengan negara yang diwakili institusi penegak hukum. Dan menurut KPH Edy Wirabhumi saat hadir dalam konferensi pers yang digelar “lawyer” LDA dan LHKS, eksekusi putusan MA itulah yang membuktikan bahwa hukum adat dan hukum positif bisa bersinergi.
Dan yang paling menarik serta menjadi harapan semua pihak dari proses hukum dengan putusan hukum tertinggi yang final dan mengikat ini, adalah upaya yang tepat yang menjadi puncak disharmoni. Sebagai langkah untuk mengakhiri konflik, “ontran-ontran”, perseteruan dan persoalan klasik di kraton, hukum adat sudah terbukti tidak bisa menyelesaikan friksi internal.

Disharmoni dalam keluarga besar Kraton Mataram Surakarta yang secara “definitif” dimulai dengan peristiwa “ontran-ontran” alih suksesi 2004, sampai keluarnya putusan hukum tertinggi negara yang dieksekusi pada tahun 2024 itu, berarti sudah berlangsung 20 tahun. Waktu yang sangat panjang terjadinya friksi, dalam sejarah perjalanan kraton-kraton di Jawa.
Pengakuan itu muncul dari penuturan Gusti Moeng selaku salah seorang yang mengalami disharmoni di kraton selama itu, dalam posisinya sebagai Pengageng Sasana Wilapa dan Pangarsa LDA. Karena dalam berbagai peristiwa disharmoni yang pernah terjadi khususnya dalam perjalanan sejarah Mataram, rata-rata hanya sekitar 5 tahun selesai, bahkan ada yang lebih singkat lagi.
Tetapi, karena suasana kehidupan dan peradaban sudah jauh berbeda antara ratusan tahun lalu dengan setelah 1945, mungkin tidak tepat kalau dibandingkan. Tetapi, ada hal-hal yang bisa dijadikan pedoman lebih meyakinkan ketika penyelesaian disharmoni di dalam masyarakat adat, diselesaikan dengan hukum positif, karena akan melahirkan kepastian hukum.

Artinya, hukum positif memiliki kewenangan bersifat memaksa bagi yang bersengketa untuk mematuhi setiap keputusan akhir dari proses hukum yang dijalani. Di sinilah, masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta ditantang untuk bisa memahami dan bahkan menjadi teladan bagi publik, atas kesadaran dan supremasi etikanya menjalani proses hukum dan mematuhi keputusannya.
Ketika masyarakat adat kraton yang notabene menjadi “core” pelestari Budaya Jawa, tentu lebih luwes dan cepat beradaptasi dengan penyelesaian disharmoni melalui proses hukum positif. Oleh karena itu, akan menjadi pertanyaan besar bagi publik di luar penghayat “supremasi” Budaya Jawa itu, kalau masih ada yang mempersoalkan putusan hukum tertinggi negara dari MA itu.
Beban rasa malunya akan berlipat dibanding publik di luar etika dan estetika Jawa, ketika menuding peristiwa eksekusi putusan MA itu sebagai perbuatan “pura-pura, main-main atau iseng” yang bernada meragukan. Karena, sikap itu justru bisa merendahkan dirinya, sehingga patut dipertanyakan label “ningrat” dan level penghayat Budaya Jawa yang disandang. (Won Poerwono – bersambung/i1)