KPH Edy : “Saya Malu Karena yang Mendukung Jumenengnya Sinuhun PB XIII Termasuk Saya”
IMNEWS.ID – KALAU di seri sebelumnya sudah disinggung posisi dan peran media publik terutama yang berkait dengan segala persoalan yang muncul di Kraton Mataram Surakarta dalam satu dekade terakhir, khususnya belakangan ini, memang begitulah profil dan suasana yang sedang dirasakan. Ada sedikit ilustrasi untuk menggambarkan profil dan suasana media di Tanah Air.
Berbagai platform media publik yang berkembang pesat di Tanah Air belakangan ini, memang tak menggembirakan bagi banyak pihak, khususnya lembaga-lembaga media dan organisasi profesi jurnalisnya. Sebagai lembaga media yang berada di dalam perusahaan swasta, tentu sangat terpengaruh oleh kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah yang mengurus operasionalnya.
Oleh sebab itu, ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1998 disambung krisis ekonomi dunia akibat pandemi Corona 2020 yang puncaknya terasa di awal 2025 ini, nyaris tak ada perusahaan pengelola media publik luput dari pengaruh dahsyat itu. Banyak perusahaan “pers” yang gulung tikar, termasuk akibat perkembangan teknologi digital, sebaliknya banyak yang lahir.

Yang gulung tikar atau yang mengalami pemotongan pendapatan sampai di atas 50 persen, jumlahnya sangat banyak. Terutama dialami kalangan tenaga di lapangan yaitu reporter atau wartawan, bahkan terjadi PHK di bagian produksi dan tenaga redaktur. Namun secara umum bisa digambarkan, bahwa media di Tanah Air sangat tergantung oleh situasi ekonomi umum dan lokal.
Dalam situasi seperti itu, posisi media dan para pekerja profesinya sangat lemah seperti yang terjadi sekarang ini. Padahal, media punya posisi, fungsi dan peran sebagai pilar keempat dalam sistem demokrasi di berbagai negara pada umumnta, dan khususnya di Indonesia. Media mutlak harus ada sebagai syarat demokrasi selain eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Ketika dianalisis lebih jauh, begitu Tanah Air juga dilanda pandemi Corona yang ikut melahirkan “gonjang-ganjing” negara terutama dari sisi ekonomi, juga politik, peran media pun jadi sangat lemah. Pada titik ini, negara kurang bisa menempatkan diri dengan baik untuk “menyelamatkan” pilar keempat sistem demokrasi itu, dan mekanisme pasarlah yang “bertindak”.

Ulasan dan analisis lebih mendalam soal posisi, fungsi dan peran media dalam kehidupan berdemokrasi, bisa disajikan secara khusus di kesempatan lain. Tetapi, ilustrasi ini bisa melukiskan bagaimana pengaruh dan sikap media publik dalam “mengikuti” perkembangan terakhir di kraton, setelah mereka mengalami situasi dan kondisi ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.
Karena, dalam beberapa peristiwa yang terjadi di kraton belakangan ini, bisa dijadikan contoh bagaimana media publik “menangkap” peristiwa, “memahami” lalu mengolahnya menjadi “pesan” atau materi berita. Misalnya masalah peristiwa eksekusi peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) RI No.1006/PK/Pdt/2022 yang dilaksanakan Panitera PN Surakarta, 8 Agustus 2024.
Pelaksanaan eksekusi hanya dilakukan serombongan petugas berbaju batik kira-kira 15-an orang yang dipimpin Dr Asep Dedi Suwasta SH MH (Panitera PN Surakarta). Selain itu, hanya tampak seorang Babinsa dari Koramil Pasarkliwon mengenakan seragam TNI dan Babinkamtibmas Polsek Pasarkliwon berseragam polisi, selebihnya tidak tampak di teras Kori Kamandungan, pagi itu.

Pelaksanaan eksekusi putusan hukum tertinggi di Tanah Air pagi itu, sungguh tak mengesankan telah terjadi peristiwa hukum simbolis yang menandai adanya sebuah perubahan besar. Walau ada pembacaan putusan oleh petugas juru sita, tetapi eksekusi atas putusan hukum perdata hasil gugatan sejumlah nama wayah-dalem Sinuhun PB XII itu, terasa biasa-biasa dan landai saja.
Karena saat itu hadir sejumlah wartawan yang meliput peristiwa hukum yang berbareng dengan ritual khol wafat Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, tentu segera beredar pemberitaan di sejumlah media mainstream. Namun rata-rata, kalangan media termasuk iMNews.id, hanya melihat peristiwa di Kori Kamandungan dan ritual khol di “gedhong” Sasana Handrawina saja.
Karena ternyata, ada sejumlah petugas keamanan lintas satuan berjumlah banyak sedang berkumpul di Polsek Pasarkliwon, saat eksekusi berlangsung, 8 Agustus 2024. Petugas POM TNI, Koramil, Polsek dan Satpol PP yang berseragam lengkap dengan peralatan lapangan, “sedang berjaga-jaga” di Polsek Pasarkliwon dan tidak mengawal eksekusi atas permintaan KPH Edy Wirabhumi.

Dalam penjelasan KPH Edy Wirabhumi selaku Pimpinan Eksekutif Lembaga Hukum Kraton (Mataram) Surakarta (LHKS) di depan para wartawan, pada konferensi pers 19 Mei dan 26 April, barulah diketahui alasan permintaan di atas. Sejumlah petugas lintas instansi berseragam lengkap diminta menunggu di Polsek Pasarkliwon, agar jangan sampai memperlihatkan suasana mencekam.
Suasana mencekam seperti yang selalu ditampilkan pada setiap pelaksanaan eksekusi sengketa hukum atas apapun, terutama harta tidak bergerak berupa tanah atau bangunan, tidak diinginkan KPH Edy Wirabhumi. Karena, eksekusi itu dimaknai sebagai simbol “kemenangan” proses hukum yang menjauhkan kesan sebagai “menang-menangan”, tetapi sebagai “kemenangan bersama”.
“Yang jelas, saya merasa malu kalau peristiwa eksekusi terlihat heboh dijaga aparat berseragam dan terjadi keributan seperti di TV-TV itu lo. Karena bagaimanapun, saya ikut mendukung jumenengnya Sinuhun PB XIII. Maka, saya yang menyarankan semua menunggu di Polsek. Yang ikut masuk kraton mengenakan baju batik saja,” ungkap KPH Edy Wirabhumi. (Won Poerwono – bersambung/i1)