Sempat Ada “Dialog Panas” Mempersoalkan “Arah Loyalitas” Organisasi Pakasa
IMNEWS.ID – SEKITAR seminggu lalu, grup Whats-App (WA) Pakasa heboh membahas komentar seseorang yang mengaku abdi-dalem dari organisasi sejenis di “seberang” dalam video YouTubenya. Isi video berdurasi 5 menitan itu intinya mempersoalkan dua hal, yaitu eksistensi dan “arah loyalitas” Pakasa di satu sisi dan eksistensi Lembaga Dewan Adat (LDA) di sisi lain.
Dialog dan diskusi antar sejumlah ketua dan pengurus Pakasa cabang itu menjadi panas, apalagi ada di antaranya yang membawa masuk tanggapan dari warga “organisasi seberang” ke dalam grup WA itu. Silang-pendapat dan kontroversi terjadi, karena terkesan tak ada pihak yang terlibat diskusi itu, benar-benar memahami materi yang sedang dipersoalkan.
Terjadinya diskusi dan dialog itu, bisa dipandang sebagai ajang edukasi dan upaya kritis dalam melihat eksistensi dan persoalan yang menjadi inti pokok yang dibahas. Tetapi, bisa juga sebaliknya akibat belum benar-benar memahami keberadaan LDA dan Pakasa, dan yang ketiga bisa saja benih-benih perbedaan pendapat sedang diasah agar menjadi sentimen dan friksi.

Jika melihat peristiwa itu, memang terkesan ada pihak dari eksternal yang sengaja ingin “mengobok-obok” Pakasa agar terjadi disharmoni. Tetapi, Pakasa yang sudah berubah bertranformasi dari ormas “politik” (1931-1965) menjadi ormas di bidang pelestarian Budaya Jawa (2004-sekarang), memang sulit dilepaskan dari nuansa-nuansa politis dari lingkungannya.
Jadi, ada nilai kewajaran wujud Pakasa yang sedang mengalami proses transformasi menuju format ideal yang paling tepat sesuai visi dan misinya sebagai daya dukung legitimatif Kraton Mataram Surakarta. Tinggal masalah kewaspadaan yang perlu ditingkatkan di kalangan pimpinan (pangarsa) dan pengurusnya, dalam menghadapi dinamika yang terjadi di tubuh Pakasa.
Ketika menganalisis ucapan seorang abdi-dalem dari “organisasi serupa di seberang” yang mempertanyakan “arah loyalitas” Pakasa yang seolah-olah ditujukan pada seorang figur sebagai “pemiliknya”, ini juga bisa dimaknai karena yang bersangkutan tidak paham atau sebaliknya, atau memang punya niat ingin “mengobok-obok” dan membuat friksi di dalam.

Tetapi, dari alasan dan indikasi yang disampaikan sebagai latar-belakang statemen soal Pakasa milik individu figur tertentu, jelas karena yang bersangkutan “sangat” tidak paham. Karena, Pakasa memang bukan lembaga adat yang lahir dari sistem paugeran (tata-nilai) adat dalam kelembagaan Kraton Mataram, tetapi sifat-sifatnya tak lepas dari tata nilai itu.
Artinya, Pakasa memang bukan organ “Bebadan Kabinet” sesuai tata kenegaraan dan pemerintahan secara adat Kraton Mataram, tetapi keberadaannya sebagai organisasi, menjadi kebutuhan Kraton Mataram untuk menyesuaikan tantangan zaman saat itu. Orang-orang yang berada di dalamnya, menjalankan organisasi, dan visi-misinya sesuai paugeran adat yang berlaku di kraton.
Jadi, benar bahwa Pakasa adalah “hal” atau “barang” baru bagi sistem paugeran adat yang dipegang teguh masyarakat adat Kraton Mataram hingga zaman lahirnya Pakasa, saat Sinuhun PB X menginisiasnya di tahun 1931. Tetapi, tatacara menjalankan organisasi, kebiasaan beraktivitas dan sifat-sifat yang menjalankan visi-misinya harus sesuai paugeran (tata-nilai) adat.

Oleh sebab itu, kalau ada seorang mengaku abdi-dalem Kraton Mataram mempersoalkan Pakasa, apalagi menganggap milik pribadi figur tertentu, kelihatannya orang itu tridak tepat menjadi abdi-dalem atau salah tempat. Orang itu bahkan mungkin tidak pantas menjadi abdi-dalem Kraton Mataram, kalau di balik ucapannya punya tendensi tertentu yang “merusak”.
Sinuhun PB X menginisiasi kelahiran Pakasa pada tanggal 29 November 1931, kemudian prganisasi Putri Narpa Wandawa di tahun 1930, kemudian Paheman Radya Pustaka (kemudian jadi museum-Red), karena situasi zaman menuntut kraton membutuhkan itu, saat itu. Sama penting dan mendesaknya, ketika di tahun 2004 Kraton Mataram Surakarta membutuhkan LDA.
Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dipimpin Gusti Moeng sangat penting dan mendesak dibutuhkan Kraton Mataram Surakarta, karena kelembagaan kraton butuh perlindungan badan hukum. Padahal, kelembagaan kraton tidak mungkin dijadikan perseroan terbatas (PT) atau CV atau sejenisnya, tetapi perlu lembaga berbadan hukum yang bisa melindungi kraton dan semua aset-asetnya.

Lembaga berbadan hukum (LDA) diperlukan, karena Kraton Mataram Surakarta tak pernah lepas dari berbagai potensi ancaman “penenggelaman”, “pemusnahan”, pengambil-alihan dan “penjarahan”, sejak 1945 hingga sekarang. Bahkan ketika LDA belum mendapat legal standing kuat seperti sekarang, selalu kalah ketika terlibat sengketa hukum dengan berbagai pihak eksternal.
Salah satu contoh kekalahan kraton dalam sengketa hukum sebelum mendapat legal standing kuat berupa putusan Mahkamah Agung (MA), yaitu ketika menggugat perdata Pengkot yang “mengambil-alih” Pasar Cinderamata di timur, utara dan barat Alun-alun Lor. Kraton “dikalahkan” karena tidak punya legal standing sebagai lembaga yang berbadan hukum.
Akibat kekalahan itu, semua bangunan kios, sewa kios dan semua kegiatan yang menghasilkan pendapatan di semua zona kios pasar diklaim “milik” Pemkot. Kraton tak punya hak apapun di situ, walau jelas-jelas kegiatan Pasar Cinderamata dilakukan di atas lahan kawasan cagar budaya Kraton Mataram Surakarta. Kraton hanya bisa “nyawang” perilaku “eksploitatif” di situ. (Won Poerwono – bersambung/i1)