Tak Ada Kraton, Tak Mungkin Ada SMKI (SMKN 8), ASKI dan PKJT
IMNEWS.ID – DENGAN mencermati pemeo konklusif di atas, maka ada beberapa fakta “peninggalan sejarah” yang menjadi turunan dari lembaga NKRI itu. Di seri sebelumnya sudah disebut ada lembaga perguruan tinggi UNS yang lahir dari Kraton Mataram Surakarta. Lembaga universitas itu bisa juga disebut “adik kandung” dari NKRI yang sama-sama lahir dari kraton.
Dan ketika menunjuk lokasi tempat di wilayah Surakarta yang pernah menjadi “Ibu Kota” Kraton Mataram (Islam) Surakarta
selama 200 tahun itu (1745-1945), tak hanya UNS yang menjadi “adik kandung” NKRI. Tetapi juga SMKI yang sebelumnya bernama Konservatori Karawitan Surakarta, Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) dan Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT).
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surakarta yang lahir di tahun 1970-an, didahului dengan nama Konservatori Karawitan Surakarta di tahun 1960-an. Kegiatan belajar sekolah menengah setingkat SMA dan lembaga pendahulunya, menempati sebagian bangunan yang tersisa dari kompleks pusat pemerintahan eksekutif Kraton Mataram Surakarta di Kepatihan.

Sebagai ilustrasi, kompleks pusat pemerintahan administratif eksekutif Mataram Surakarta di Kepatihan, wilayahnya luas sekali, hampir seluas dua kelurahan yang ada sekarang, yaitu Kelurahan Kepatihan Wetan dan Kepatihan Kulon, Kecamatan Banjarsari. Namun, Sinuhun PB XII “merelakan rasa keadilannya” atas lahan bekas Kepatihan itu, habis “dibagi-bagi”.
“Merelakan rasa keadilan” dalam konteks persoalan itu, jelas bukan ekspresi “tulus ikhlas” karena “diminta” dengan cara “terhormat” dan “bermartabat”, oleh berbagai pihak yang kini menempati lahan eks Kepatihan. Tetapi, terpaksa direlakan “dibagi-bagi” setelah “dibakar” dan “dijarah”, karena difitnah sebagai “sarang PKI”, “sarang feodal” bahkan “markas Belanda”
Gaya-gaya fitnah dan memecah-belah yang tujuannya “meniadakan” Kraton Mataram Surakarta, memang sudah nyata sejak awal. Termasuk intervensi negara liberal-kapitalis melalui “kaki-tangannya” di BPUPK. Mereka “memanfaatkan kesempatan” wafatnya Sinuhun PB XI, Juni 1945, “merubah” BPUPK menjadi PPK. Tetapi, kekuatan perusak juga datang dari kaum sosialis-komunis.

Banyak peristiwa yang berlatar-belakang “perampasan rasa keadilan” bagi Kraton Mataram Surakarta, kalau analisis bisa menjadi panjang lebar dan menyasar jauh ke mana-mana pihak yang terlibat langsung atau tidak. Ada yang menjadi otak di belakang layar, yang menyusun skenario, yang menjadi koordinator lapangan dan ada yang melakukan eksekusi di lapangan.
Analisis terakhir itu, bisa terkoneksi dengan lahirnya SMKI, ASKI atau embriyo ISI Surakarta dan PKJT yang menjadi embriyo Taman Budaya Jawa-Tengah di Surakarta atau TBS, saat itu. Langsung atau tidak langsung, ada perpaduan pengaruh antara sosialis, komunis, liberal dan kapitalis yang bisa masuk ke beberapa lembaga itu, karena muncul simbol-simbolnya.
Simbol-simbol yang muncul itu, kebanyakan melalui karya seni para seniman yang menjadi siswa, mahasiswa dan para seniman yang secara umum mendapat kesempatan tampil di PKJT. Yang melalui karya seni biasanya muncul dalam ekspresi “melawan” hegemoni atas karya seni, misalnya menari di atas “gong” sebagai simbol desakralisasi, demitosisasi dan delegitimasi.

Yang melalui seni tari, muncul karya-karya yang melawan konsep sakralitas tari “Bedhaya Ketawang” yang hingga kini dijaga sebagai pusaka di kraton. Dalam seni pedalangan, adalah munculnya narasi dan visualisasi untuk menggugurkan nilai-nilai sakral “kadewatan” dan nilai-nilai “wahyu kanarendran” dan nilai-nilai pemimpin adat seperti “Raja” dan sebagainya.
Dalam konsep berkesenian, gabungan dari pengaruh “buruk” di atas juga berusaha dimasukkan melalui kelompok-kelompok kesenian yang disebutnya sebagai “kesenian rakyat”. Jenis-jenis kesenian yang lahir dan tumbuh sejak ratuan tahun lalu di berbagai daerah eks-wilayah “nagari” Mataram Islam Surakarta, bahkan sebelumnya, mereka sebut sebagai “kesenian rakyat”.
“Claim” bahwa berbagai kesenian tradisional yang ada di berbagai daerah itu sebagai “kesenian rakyat”, memang belum lama muncul. Artinya, klaim-klaim itu baru muncul setelah sosialis-komunis terang-terangan mengaku ada di Nusantara pada tahun 1920-an. Sementara, pengaruh kesenian kraton sebagai sumbernya Budaya Jawa, sudah terjadi sejak 1745, bahkan sebelumnya.

Kesimpulan sementara dari berbagai peristiwa “perlawanan” yang menjadi salah satu cara untuk “merampas rasa keadilan” itu, dalam kata singkat disebut “durhaka”. Lembaga apa saja dan siapa saja tokohnya yang pernah dilahirkan Kraton Mataram Surakarta, tetapi justru memusuhi, merusak, menghancurkan, meniadakan, memfitnah dan sebagainya, layak disebut “durhaka”.
Fitnah itu termasuk mengkaburkan identitas asal-usul, tetapi kemudian muncul dengan identitas baru agar tidak disukai publik secara luas. Misalnya, semua aset bekas/milik Kraton Mataram Surakarta yang disebut bekas “milik” atau “warisan” atau “pernah dikuasai” Belanda. Yang terjadi, selain dihancurkan, beralih kepemilikan dan diambil-alih untuk dikuasai.
Contohnya banyak sekali, misalnya Kepatihan yang “dibakar” dan “dijarah” karena dianggap “markas Belanda”. Juga 159 pabrik gula (PG) di Jawa, yang dibangun para insinyur Belanda atas biaya Raja Mataram Surakarta, semua “dirampas” karena diklaim “warisan Belanda”. Buku “Ensiklopedia Pabrik Gula Nasional” karya Dr Purwadi, mengisahkan hal-hal tersebut. (Won Poerwono – bersambung/1)