Sela Gilanglipura “Dijamasi” di Cungkup Pesanggrahan Sambut Ramadhan

  • Post author:
  • Post published:March 1, 2025
  • Post category:Regional
  • Reading time:9 mins read
You are currently viewing Sela Gilanglipura “Dijamasi” di Cungkup Pesanggrahan Sambut Ramadhan
KE JEMBANGAN : Setelah menerima besek berisi uba-rampe jamasan, Gusti Moeng menaburkan bunga seteman di antara uba-rampe yang diterimanya. Air setaman itu, lalu digunakan untuk mengguyur Batu Gilang bekas "pasujudan" Sinuhun Panembahan Senapati, dalam sebuah ritual di akhir Ruwah, Jumat (28/2) siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Dibiayai” Dana “Is”, Tatacaranya Dilakukan Gusti Moeng Siang Tadi

BANTUL (DIY), iMNews.id – Di penghujung bulan Ruwah tahun Je 1958 yang berakhir Jumat (28/2) hari ini, jajaran Bebadan Kabinet 2004 Kraton Mataram Surakarta menuntaskan ritual Nyadran di bulan Sya’ban tahun 1446 H. Ritual terakhir untuk segera memasuki Ramadhan tahun 2025 ini, dipimpin Gusti Moeng di Pesanggrahan Sela Gilanglipura, Bantul (DIY), siang tadi.

Dalam sebuah upacara adat yang diawali dengan kirab budaya, “jamasan” Batu Gilang bekas “pasujudan” Raja Mataram ke-1 Panembahan Senapati digelar di kompleks cungkup situs Pesanggrahan Gilanglipura, Desa Gilangharjo, Kecamatan Bambang Lipuro, Kabupaten Bantul (BIY), siang tadi. Upacara adat dipimpin Gusti Moeng, dipandu sebuah panitia bentukan setempat.

Ritual “jamasan” situs Batu Gilang di bulan Nyadran yang “dibiayai” dana “is” (keistimewaan DIY-Red) itu, digelar oleh panitia dari berbagai unsur khususnya Desa Wisata Gilangharjo, Kecamatan Bambang Lipuro. Penjelasan soal pembiayaan upacara adat Pesanggrahan Situs Gilanglipura yang dibangun Sinuhun Paku Buwana (PB) II itu, diungkap seorang legislator.

Seorang anggota DPRD Provinsi DIY yang memberi sambutan dalam upacara pembukaan ritual “jamasan” itu menyebut, anggaran kegiatan adat ini dinilai belum maksimal karena pemnganggarannya lewat DPRD Kabupaten Bantul. Dana kegiatan ini bisa ditingkatkan lagi sesuai kebutuhannya jika diambil-alih penganggarannya oleh DPRD Provinsi DIY melalui perubahan tahun ini.

MENGUCURKAN AIR : Gusti Moeng dan Yus Suharto tampak sama-sama menuangkan air setaman dari kendhi yang dibawa masing-masing, untuk menjamas Batu Gilang bekas “pasujudan” Sinuhun Panembahan Senapati, dalam sebuah ritual di akhir Ruwah di situs Pesanggrahan Gilanglipuro, bantul (DIY), Jumat (28/2) siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Asisten Sekda Pemkab Bantul, Yus Suharto juga tampil membacakan sambutan Bupati Bantul Abdul Halim M, juga Kades Gilangharjo. Sambutan terakhir diberikan Gusti Moeng selaku Pengageng Lembaga Dewan Adat (LDA) yang juga Pengageng Sasana Wilapa Kraton Mataram Surakarta. Kedatangannya memimpin tatacara “jamasan”, yang diikuti rombongan kraton sekitar 20 orang.

“Kalau Batu Gilangnya, itu jelas bukan ‘petilasan’. Karena masih ada wujudnya ‘meger-meger’ dan asli. Tetapi kalau tempat ini bekas petilasan eyang Panembahan Senapati saat bermeditasi di sini, itu betul sekali. Batu gilang itu bentuknya pasujudan, tempat untuk bersembahyang. Di kraton (Surakarta-Red), juga ada di kolam ‘Bandengan’ atau ‘Pandengan”.

“Kalau di kraton, pasujudan itu dekat Masjid Pujasana. Lokasinya di dalam kraton. Karena Sela Gilang ini adalah situs peninggalan tapak peradaban Raja Mataram Islam pertama sekaligus pendiri Dinasti Mataram, mari kita lestarikan bersama. Saya akan berusaha semampunya untuk menjaga keberadaan situs ini, agar tidakdisalahgunakan dan mengundang reaksi publik”.

“Saya mengucapkan terima kasih karena masyarakat desa di sini punya kepedulian untuk menjaga dan merawat peninggalan peradaban Mataram ini,” ujar Gusti Moeng di depan sekitar 100 undangan dari berbagai elemen, baik dari unsur Kraton Mataram Surakarta maupun warga Jogja, bahkan disebut oleh MC dari unsur Kraton Jogja, Pura Mangkunegaran dan Pakualaman.

UBA-RAMPE : Uba-rampe jamasan dibawa para petugas dalam kirab dan nampak sedang diserahkan kepada Gusti Moenhg, Asisten Sekda Pemkab Bantul dan seorang legislator DPRD Provinsi DIY dalam sebuah upacara di halaman kompleks situs Pesanggrahan Gilanglipuro di Desa Gilangharjo, Bantul (DIY), Jumat (28/2) siang tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Selengkapnya, urut-urutan acara “jamasan” atau “padusan” di hari terakhir bulan Ruwah untuk memasuki bulan puasa itu, didahului dengan kirab budaya berbagai elemen warga desa termasuk unsur Pokdarwis Desa Gilangharjo. Prosesi kirab dari dalam kampung lingkungan situs menuju lokasi situs, dipandu prajurit Kraton Jogja dan tiba di lokasi sekitar pukul 14.00 WIB.

Sampai di lokasi, Gusti Moeng diminta untuk menerima uba-rampe “jamasan” berupa sebesek kembang warna-warni, berikut Asisten Sekda Bantul dan legislator DPRD Provinsi DIY menerima perangkat uba-rampa jamasan lain. Kembang setaman langsung ditabur Gusti Moeng di “jembangan” tempat menampung air jamasan, lalu bersama Asisten Sekda dipersilakan masuk cungkup.

Secara bersama-sama, Gusti Moeng dan Yus Suharto berdoa di Sela Gilang dan kemudian menuangkan air kembang setaman dari sebuah kendhi untuk menampungnya ke merata di atas permukaan Sela Gilang. Hal yang sama juga dilakukan Yus Suharto. Setelah keduanya, lalu diikuti yang lain secara bergiliran. Gusti Moeng sempat berdoa dan nyekar sebelum upacara dimulai.

Setelah para pejabat bergiliran menuang air untuk “memandikan” Sela Gilang dengan kendhi, ember dan gayung seperti, kemudian gantian bergiliran semua rombongan yang mengantar Gusti Moeng malakukannya. Tampak KPH Adipati Sangkoyo Mangun Kusumo bersama istri, KPP Eijoyo Adiningrat bersama istri, KP Siswanto Adiningrat dan para pengiring lain dari Surakarta.

BAWA EMBER : Dalam prosesi jamasan atau memandikan Batu Gilang di situs Pesanggrahan Gilanglipuro, Desa Gilangharjo, bantul (DIY), Jumat (28/2) siang tadi, seusai Gusti Moeng memimpin tatacara jamasan, ada “adegan” prosesi warga yang tampak membawa ember memasuki cungkup Batu Gilang. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Di antara rombongan, tampak pula Dt Purwadi, peneliti sejarah yang juga Ketua Lokantara Pusat di Jogja juga hadir, bahkan mendahului karena kediamannya di kawasan Minomartani, Jogja. Menurut Dr Purwadi, upacara adat seperti itu sangat berbeda dengan yang digelar di lingkungan eks wilayah “Negara” Mataram Surakarta, karena memiliki elemen legitimatif warga Pakasa.

Sebagai perbandingan, upacara adat di situs Batu Gilang siang tadi memang dihadiri berbagai pihak lumayan banyak. Tetapi tidak sebesar partisipasi yang diberikan masyarakat adat Pakasa dan unsur elemen lain, bila ada ritual khol atau Nyadran di lingkungan Mataram Surakarta. Karena ritual di Batu Gilang itu sepenuhnya dibiayai pemerintah, sedang di Surakarta mandiri. (won-i1)