Pulangnya Nyadran di Makam Sunan Ampel, yang Menurunkan “Prameswari” Sinuhun PB III
MADURA, iMNews.id – Agenda ke-7 ritual Nyadran atau “Tour de Ruwah” Kraton Mataram Surakarta, digelar di kompleks makam “Raja Pamekasan” Ronggosukowati Desa Kolpajung, Kecamatan Kota, Kabupaten Pamekasan, Senin pagi (17/2) kemarin. Gusti Moeng memimpin rombongan Bebadan Kabinet 2004, menggelar ritual di makam “besan” Sinuhun PB III atau mertua Sinuhun PB IV itu.
Makam Raden Tumenggung (RT) Adipati Tjakra Adiningrat I yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan sebutan”Gung Seppo”, sebelum 2016 sudah didengar Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA). Tetapi, baru di tahun 2016 didatangi dan dilacak sampai ke Kabupaten Sumenep, dan akhirnya diketahui di akhir perjalanan sekali pelacakan itu.
Dalam perjalanan kedua di tahun 2018, Gusti Moeng sudah membawa rombongan sekitar 70-an orang untuk menggelar ritual Nyadran ke kompleks makam di Desa Kolpajung, Kecamatan Kota, Kabupaten Pamekasan. Ketika diziarahi dalam ritual Nyadran di bulan Ruwah saat 2018 itu, kondisi makam sudah lebih baik, tidak penuh semak-belukar dan konstruksi atap dibenahi.

Melalui gang sempit setelah pintu gerbang utama kompleks makam berukuran dua lebar badan dewasa, makam RTA Tjakra Adiningrat I, Senin (17/2/205) kemarin untuk kali kesekian diziarahi kraton yang dipimpin Gusti Moeng sendiri. Sebelum dibersihkan dan beberapa kali direnovasi kecil-kecilan yang dibiayai beberapa pihak, makam itu nyaris tidak dikenal.
Sampai Senin kemarin (17/2) iMNews.id mengikuti perjalanan “Tour de Ruwah” dalam beberapa tahun terakhir, makam “besan” Sinuhun PB III itu terkesan tidak banyak dikenal publik, selain yang tahu betul sejarah dan jasa-jasa Mataram Islam, terutama Surakarta. Karena, di bulan Ruwah atau bulan baik lain untuk ziarah, juga tidak banyak yang datang ke situ.
Makam mertua Sinuhun PB IV itu berada di zona paling luar sisi kiri setelah pintu masuk utama, tetapi kompleks makam kedua orang tua RAy Handaya dan RAy Sakaptinah terlindungi oleh bangunan cungkup bergaya Mataram. Sedangkan makam “Raja Pamekasan” Ronggosukowati di zona pertama dari dalam atau paling dalam, tetapi bercungkup terbuka/pendapa kecil.

Sudah “langganan” beberapa kali hingga musim “Tour de Ruwah” tahun 2025 ini, rombongan ritual Nyadran dari kraton pinjam kompleks perkantoran Bakorwil IV Pamekasan untuk transit. Fasilitas dan kemudahan untuk menjalankan kerja adat/upacara adat di Kabupaten Pamekasan ini, karena hasil dialog antara kraton yang dipimpin Gusti Moeng dengan Bupati Pamekasan.
Senin (17/2) kemarin, kraton tiba di kantor Bakorwil IV sekitar pukul 04.00 WIB dan bersiap menjalankan prosesi pukul 08.00 WIB. Begitu Gusti Moeng dan rombongan dengan mobil terpisah tiba di Bakorwil, termasuk KPH Edy Wirabhumi (Pimpinan Eksekutif LHKS/Pangarsa Pakasa Punjer), pukul 09.00 WIB kirab prosesi Nyadran bergerak dipandu Korsik Prajurit Tamtama.
Seperti biasa, barisan kirab keluar dari kompleks Bakorwil IV ke jalan lingkar alun-alun menuju Jalan KH Agus Salim. Sampai di pertigaan alun-alun, kirab belok kiri dan lurus menuju kompleks makam di Desa Kolpajung. Hanya sekitar 15 menit setelah menempuh rute kirab sekitar 2 KM, barisan 60-an orang termasuk Komunitas Rumah Budaya itu, tiba di makam.
Korsik Prajurit Tamtama tiba di halaman makam, lalu membuka barisan saat Gusti Moeng lewat menuju masuk. Ritual di dalam cungkup makam mertua PB IV langsung digelar, dipimpin abdi-dalem juru-suranata RT Irawan Wijaya Pujodipuro. Doa, tahlil Sultanagungan dan syahadat Quresh dikumandangkan, sebelum Gusti Moeng tabur bunga dan berdoa diikuti semua rombongan.
Selain pusara RTA Tjakra Adiningrat I dan istri, di dalam cungkup makam ada belasa makam keluarga. Selesai dari makam kedua orangtua RAy Handaya dan RAy Sakaptinah itu, Gusti Moeng dan rombongan langsung ke zona makam paling dalam, yaitu makam “Raja” Ronggosukowati. Makam itu bagus dan indah, tampak habis direnovasi, tetapi tak sebagus makam mertua PB IV.
Namun, di kompleks makam “Raja” itu ada tiga nisan baru atau makam baru yang menurut tokoh dari Komunitas Rumah Budaya Pamekasan (Madura), baru ada sekitar 3-4 tahun yang proses pemakamannya diduga berlangsung malam hari. Tokoh ini sulit membenarkan kedatangan “tiga penghuni” baru itu, karena makam “Raja” masuk kawasan Cagar Budaya yang tidak boleh dirubah.

Tokoh dari Komunitas Rumah Budaya itu menyatakan tidak pernah diajak berembug soal itu, padahal komunitasnya selalu siap memberi sumbang-saran. Sambil menyaksikan sendiri “tiga kijing” baru, saat dialog dengan beberapa pihak di pusara, Gusti Moeng menyatakan kecewa, karena makam itu sudah tertutup untuk pemakaman umum ketika sudah dilindungi UU BCB No 11/2010.
“Setahu saya, kalau makam eyang Ronggosukowati sudah dirawat seindah ini, berarti sudah dilindungi UU BCB No 11 tahun 2010. kalau sudah menjadi cagar budaya, berarti tertutup untuk tempat pemakamam umum. Kalau masih famili sekalipun, tempatnya (untuk mengubur) tidak di situ. Ini bisa masuk kategori melanggar UU itu. Tolong dibuatkan gembok, lalu dikunci saja”.
“Kalau ada yang mau memakamkan, tanya dulu ke BP3. Kalau ada yang merusak gembok, itu perbuatan melawan hukum. Dilaporkan saja. Terus, ini sudah dilaporkan ke BP3 apa belum?. Nanti kita bicarakan lebih lanjut. Agar juru-kunci dan pamong makam di sini mendapat penetapan dari kraton (Kraton Mataram Surakarta-Red),” ujar Gusti Moeng saat berdialog seusai nyekar.
Seperti diketahui, makam “Raja” Ronggosukowati ini menjadi sangat penting bagi generasi peradaban mendatang sampai akhir zaman, karena para tokoh yang dimakamkan di situ, berkait dengan para tokoh leluhur Dinasti Mataram dan “negara” Mataram Islam Surakarta yang eksis selama 200 tahun (1745-1945). Karena, RTA Tjakra Adiningrat I adalah “besan” Sinuhun PB III.
Dari kajian sejarah DR Purwadi (Ketua Lokantara Pusat-Jogja), Sinuhun PB II dan penerusnya, Sinuhun PB III, sudah kerja keras membangunan peradaban “baru” kelanjutan Mataram Islam Kartasura di di Ibu Kota “baru” Surakarta Hadiningrat. Segala energi sudah terkuras untuk keperluan itu, maka “infus” dukungan kekuatan datang dari “besanan” dengan RTA Takra Adiningrat III.
Perjodohan antara putra mahkota dengan putri RTA Tjakra Adiningrat I yang bernama RAy Handaya, disebut Dr Purwadi sangat strategis dan penting untuk keberlanjutan dan kesinambungan Mataram Surakarta pasca-pindah dari Kartasura. Perkawinan itu selain mengalirkan “modal” untuk membangun kraton, juga mengantar putra mahkota PB IV menjadi Sinuhun PB V dan berkarya.

Namun, ketika putra mahkota masih remaja, RAy Handaya meninggal. Maka, Sinuhun PB IV kembali meminang adik almarhumah atau putri lain RTA Tjakra Adiningrat I yang bernama RAy Sakaptinah. Dari perkawinan itulah, kemudian lahir Sinuhun PB VII. Karena, putra Sinuhun PB V yaitu Sinuhun VI, ditangkap Belanda dan ditembak kepalanya sekeluar dari pengasingan di Ambon.
Soal hubungan kekerabatan, darah kekeluargaan antara Madura dan Surakarta, ternyata tidak hanya pada peristiwa “besanan” antara RTA Tjakra Adiningrat dengan Sinuhun PB III. Dr Purwadi dan KPP Hernowo Wijoyo Adiningrat mencatat, sejak zaman Amangkurat di Mataram Kartasura, perjodohan antara Maduar dan Surakarta sudah banyak terjadi yang ditiru para penerusnya.
Sambil pulang menuju Pulau Jawa, rombongan “Tour de Ruwah” diajak singgah Nyadran di makam Sunan Ampel di Kelurahan Ampel, Kecamatan Semampir, Surabaya (Jatim). Gusti Moeng bersama KPH Edy Wirabhumi diikuti 9 orang lainnya, berdoa di pusara Sunan dan istri, yang disebut menurunkan Pangeran Djungut dan juga Kanjeng Ratu Beruk, “prameswari” Sinuhun PB III. (won-i1)