
Energi Sinuhun PB II dan PB III, Terkuras untuk Membangun Ibu Kota Surakarta
IMNEWS.ID – ANALISIS kritis terhadap perjalanan Sinuhun PB III yang disebut-sebut “terlibat” dalam “Perjanjian Giyanti”, tentu bisa dibayangkan bagaimana “repotnya” seorang Raja, bertahta di Ibu Kota baru yang sedang dalam proses pembangunan.
Karena, 4 tahun setelah Sinuhun PB II (ayah) memindahkan dari Kartasura (Ibu Kota lama), Ibu Kota Surakarta belum jadi.
Sang ayah (Sinuhun PB II), wafat pada tahun 1749 setelah memindahkan Ibu Kota Kraton Mataram Islam ke Surakarta pada 17 Sura Tahun Je 1670 atau 20 Februari 1745. Ketika bertahta menggantikan sang ayah di tahun 1749, Sinuhun PB III disebut baru mendapati bangunan kagungan-dalem Masjid Agung yang sudah digunakan, karena kepentingan publik lebih diprioritaskan.
Sampai terjadi “Perjanjian Giyanti” yang berlangsung 13 Februari 1755 dan disebut “melibatkan” Sinuhun PB III, berarti Raja ke-10 Kraton Mataram ini baru menjalani tahta sekitar 6 tahun dari saat menggantikan sang ayah tahun 1749. Padahal, sang ayah “berjuang habis-habisan” membangun pusat pemerintahan selama 4 tahun, Ibu Kota “negara” belum tampak wujudnya.

Sebagai penerus tahta yang masih dibantu oleh kepedulian dan kasih sayang keluarga sang nenek, Kanjeng Ratu Kentjana Kudus, yang diterima Sinuhun PB III tentu sudah tidak sebesar “kekuatan ekonomi” saat untuk membantu ayahandanya, Sinuhun PB II. Walaupun, Sinuhun PB III beristri prameswari Kanjeng Ratu Beruk konon juga didukung “konglomerat” Nyai Sewakul.
Memotret suasana saat Sinuhun PB III begitu repot mengurus pemerintahan, adat dan segala kedaulatannya, tetapi masih direpotkan oleh pihak-pihak yang menginginkan “Perjanjian Giyanti” diwujudkan. Konsekuensi yang timbul akibat itu, Sinuhun PB III masih direpotkan soal “pesangon” dan “jaminan hidup”, bahkan 1757 ganti direpotkan Perjanjian Salatiga.
Dari sisi “etika Jawa”, peristiwa yang terkesan Sinuhun PB III yang dijadikan sasaran “pemerasan” dan segala kerepotan yang timbul akibat “Perjanjian Giyanti” maupun “Perjanjian Salatiga” itu, sungguh menjadi ketidaklaziman bagi tata-nilai “wong Jawa”. Dari situ, nyaris tidak tampak etika “tepa salira” dimiliki pihak-pihak yang mendesak melakukan perjanjian.

Sebagai ilustrasi, akhir Januari lalu menjelang ritual tingalan jumenengan, Kraton Mataram Surakarta mendapat kunjungan Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Satu-satunya bangunan yang khusus didatangi untuk dilihat dengan detail, adalah menara Panggung Sangga Buwana yang dilacak dari “Candra Sengkala”, menyebut dibangun tahun 1782 saat Sinuhun PB III jumeneng nata.
Analisis kritis selanjutnya menyebut, bahwa bangunan menara yang bisa berfungsi ganda sebagai bagian dari sistem pertahanan dan meditasi Raja untuk “bertemu” Kanjeng Ratu Kencanasari, baru dibangun tahun 1782. Itu berarti, Sinuhun PB III benar-benar dalam situasi dan kondisi sangat berat untuk mencukupi kebutuhan pembangunan dan rumah tangga besarnya.
Dengan realitas hasil analisis kritis seperti itu, sangat rasional ketika semasa Raja ini bertahta, tergolong tidak produktif dalam karya seni. Karena, sejak berstatus Pangeran Adipati Anom sampai sepanjang tahta sebagai Sinuhun PB III, waktunya dihabiskan mengurus proses pindah Ibu Kota dan pembangunan infrastruktur Ibu Kota baru pusat negara Mataram.

Oleh sebab itu pula, salah satu pertanyaan besar mengepa peristiwa “Perjanjian Giyanti” tidak terdokumentasi dalam salah satu jenis kesenian koleksi kraton. Karena, nyaris tidak ada karya tari yang melukiskan perjanjian itu, begitu pula karya karawitan, “sastra gendhing”, karya tatah sungging dan lainnya yang fungsinya mencatat, mengabadikan dan mendokumentasi.
Sebab, semasa Sinuhun PB I jumeneng nata (1660-1705) ketika Ibu Kota Mataram Islam masih di Kartasura, kraton memiliki dokumen berupa tari “Sancaya Kusumawicitra”. Karya tari yang melukiskan halusnya sifat satria dan tetap santun ibarat sedang berperang, mengindikasikan dokumen peristiwa waktu itu ada, walaupun oleh Sinuhun PB IX disempurnakan lagi.
Dengan asumsi yang rasional itu, maka ketika Sinuhun PB II bertahta (1727-1749), tentu lebih luar biasa segala tenaga, pikiran, waktu dan biaya terkuras saat merancang proses pindah Ibu Kota, maupun membangun Ibu Kota baru “negara” Mataram Islam di Surakarta. Maka sangat masuk akal, kalau kraton minim karya seni pada zaman awal Mataram Surakarta berdiri.

Karena itu bisa disimpulkan, zaman Sinuhun PB II dan putra mahkota penggantinya yang menjadi Sinuhun PB III, bahkan sejak azaman Sinuhun Amangkurat Jawi , ayah Sinuhun PB II, bisa diasumsikan minim karya seni dalam jenis apapun. Tetapi, dari pemikiran tiga Raja Mataram ini, menghasilkan karya fisik bangunan melimpah, megah dan masih banyak yang bisa didapati.
Kesimpulan itu juga berdasar kajian sejarah yang dilakukan Dr Purwadi, yang menyebut bahwa Sinuhun Amangkurat Jawi (IV) dan putranya, Sinuhun PB II, banyak melakukan studi banding ke sejumlah negara di Eropa, Turki, Persi dan Asia. Hasilnya, diwujudkan dalam beberapa objek bangunan fisik, di antaranya Pesanggarahan Tegalganda (Klaten) dan Kandang Menjangan.
Hasil studi banding dan “diskusi” yang antara Sinuhun Amangkurat IV dan putra mahkota (PB II), lalu dituangkan dalam penyusunan perencanaan desain tata-ruang calon Ibu Kota baru di Surakarta. Selama 7 tahun (1738-1745) Sinuhun PB II menyusun desain tata-ruang dan konstruksi di Ponorogo, yang sangat mungkin bersama putra mahkota calon Sinuhun PB III. (Won Poerwono – bersambung/i1)