Soal Gelar Kepangkatan Mungkin Awam Bagi Warga Pakasa, Tetapi Tidak Bagi Ketua Pakasa Kudus
IMNEWS.ID – KALAU referensi, definisi dan makna filosofi gelar sesebutan mungkin masih “gelap-gulita” bagi warga Pakasa dan para abdi-dalem kebanyakan, tetapi tidak bagi KRRA Panembahan Didik Alap-alap Gilingwesi Singonagoro. Ketua Pakasa Cabang Kudus ini, sejak kecil sudah banyak dipahamkan gelar sesebutan dari Kraton Mataram Surakarta oleh sang kakek.
Eyang R Marto Darsono Djamari adalah figur kakek yang sangat berjasa baginya, karena telah membimbingnya mengenal “pasuwitan” (pengabdian) di kraton. Selama belasan tahun sejak SD, KRRA Panembahan Didik selalu diajak “sowan” ke kraton, lalu ditunjukkan hal-ikhwal tentang “pasuwitan”, juga dijelaskan bagaimana tugas dan syarat untuk “suwita” di kraton.
Sampai di bangku STM tahun 1980-an, dia masih sering diajak sowan ke kraton. Walau di tahun 1981 eyangnya meninggal, tetapi KRRA Panembahan Didik masih sering ke kraton sendiri hingga tahun 1988. Terutama saat ada upacara adat penting seperti Sekaten Garebeg Mulud, walau hanya melihat dari luar tetapi tampak banyak orang mengenakan busana adat Jawa.
Di acara seperti itu, semua elemen Kraton Mataram Surakarta hadir busana adat Jawa, tetapi ada ciri-ciri atribut yang membedakannya, yang sesuai jenjang gelar sesebutan kepangkatannya. KRRA Panembahan Didik seakan mendapat pelajaran berharga dari pemandangan nyata di lapangan, yang kurang-lebih sesuai dengan pengetahuan yang pernah diberikan eyangnya.
Seperti proses “transfer knowledge” sederhana yang biasa terjadi, masa kecil KRRA Panembahan Didik di rumah eyangnya juga nyaris tidak lepas dari pembelajarannya. Karena, saat berada i di rumah eyangnya, sering diriwayatkan tokoh-tokoh penting yang lukisan wajahnya menghiasi ruang kediaman, yaitu wajah Panembahan Senapati, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring.
“Termasuk juga, Arya Penangsang yang terkesan menjadi idola eyang saya. Pokoknya, setiap menjelang tidur, pasti saya mendapat dongeng tentang riwayat para tokoh yang lukisannya ada di dinding ruang rumah. Salah satu tokoh itu, ternyata adalah garis keturunan dari ibu saya. Dari situlah, saya ditanamkan cinta pasuwitan dan Budaya Jawa,” tambahnya.
KRRA Panembahan Didik juga mengakui, setelah menjadi orangtua, merasa semakin terdorong untuk suwita di kraton. Dari dongeng menjelang tidur itu, dirinya mengenal jenjang gelar kepangkatan di kraton secara lengkap. Termasuk, pengetahuan busana adat Jawa jenis apa yang cocok/sesuai dengan kepangkatannya, bahkan sampai jenis songsong yang sesuai pangkatnya.
“Tetapi, mungkin perlu dikoreksi. Karena, jenjang kepangkatan yang sekarang diberlakukan, mungkin berbeda dengan zaman eyang saya suwita di kraton. Banyak pengetahuan tentang pasuwitan dan perlengkapan serta syaratnya, saya tularkan kepada warga Pakasa Cabang Kudus. Bahkan kepada para santri saya. Termasuk, menunjukkan hubungan antara Budaya Jawa dan agama”.
“Karena saya mendapat bimbingan dari eyang, saya bisa tahu busana ageman yang sering dipakai warga Pakasa kebanyakan. Karena bukan kapasitas saya, maka kalau saya melihat ada yang salah, saya pilih diam saja. Saya takut tersinggung kalau saya tunjukkan kesalahannya. Tetapi, kalau warga saya yang salah, pasti yang betulkan,” ujar KRRA Panembahan Didik.
Dalam catatan KRRA Panembahan Didik, gelar kepangakatan terendah yang pernah diketahui eyangnya (Marto Sarsono Djamari-Red) adalah Mas Jajar (MJ), lalu di atasnya secara urut ada Mas Lurah (ML), Mas Ngabehi (MNg) yang sama gelarnya untuk pangkat level “Mantri” dan “Penewu”, kemudian Raden Tumenggung (RT) level Bupati Anom, kemudian “KRT” level Bupati Sepuh.
Di atas Kanjeng Raden Tumenggung (KRT), adalah “KRAT” di level Bupati Riya Nginggil atau Sentana Riya Nagandhap. Di atasnya, “KRA” (Kanjeng Raden Arya) dan “KRRA” (Kanjeng Raden Riya Arya) yang masuk level Sentana Riya Nginggil. Di atasnya ada Kanjeng Pangeran (KP), Kanjeng Pangeran Tumenggung (KPT) dan Kanjeng Pangeran Arya (KPA) level Pangeran Sepuh.
Itu adalah deretan urut dari bawah gelar dan kepangkatan untuk abdi-dalem “kakung” (laki-laki), yang berlaku pada zaman akhir Kraton Mataram Surakarta sebagai “negara monarki” (1745-1945), bahkan sampai awal Sinuhun PB XII di alam republik. Karena, menurut KP Budayaningrat, pada zaman sebelum Sinuhun PB X, masih ada level di bawah “MJ”, yaitu gelar “Ki”.
Untuk abdi-dalem perempuan, dari bawah Nyi Jajar, ke atas Nyi Lurah, Nyi Ngabehi (level Mantri dan Penewu), Nyi Mas Tumenggung (Nyi MT), Kanjeng Mas Tumenggung (KMT), Kanjeng Mas Ayu Tumenggung (KMAyT) kemudian Kanjeng Mas Ayu (KAy) yang sederajat dengan “KRA”. Dua penggolongan gelar dan kepangkatan itu, rata-rata untuk abdi-dalem “garap” atau “anon-anon”.
“Saya juga mencatat ‘dongeng eyang’ tentang jenis songsong seusia dengan gelar, kedudukan dan pangkatnya di Kraton Mataram Surakarta. Untuk Raja, songsongnya warna emas full atau ‘byur’. Untuk KPA/KPT/KP songsong warna putih di atas dan warna emas di bawah. Untuk pangkat KRA/KRRA, songsongnya kombinasi warna putih, prada emas, putih, prada emas dan putih.
“Untuk KRAT, kombinasi warna songsong paling atas putih, prada emas, putih dan strip lingkaran warna emas. Untuk KRT dari atas putih, prada emas, hijau dan strip emas. Untuk RT, putih, prada emas, biru dan strip emas. Pangkat di bawahnya tidak pakai songsong. Saya tahu, ada yang warna songsongnya salah, wiron jariknya salah, tapi saya lebih baik diam,” sebutnya. (Won Poerwono – bersambung/i1)