KP Budayaningrat : “Gelar Anon-anon Itu Hadiah Kehormatan. Sebenarnya tak Mengenal Naik Pangkat”
IMNEWS.ID – BELUM lama ini sebuah media online memberitakan soal gelar kekerabatan yang masih banyak dipakai masyarakat etnis Jawa, terutama yang menjadi bagian dari masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta. Pemberitaan itu juga terkait dengan aktivitas adat di kraton, yang salah satunya adalah pemberian gelar kekerabatan melalui sebuah upacara wisuda.
Memang benar, dalam beberapa dekade mulai tahun 1980-an, kraton memang mulai sering menggelar kegiatan upacara adat penganugerahan gelar kekerabatan kepada para tokoh yang dianggap pantas mendapat gelar kehormatan dar kraton. Sinuhun PB XII yang mulai membuka kesempatan itu, dan dibuktikan dengan pemberian gelar kepada sejumlah tokoh pejabat tinggi negara.
Dalam catatan iMNews.id sejak masih di harian Suara Merdeka, tokoh level negara seperti Presiden RI Gus Dur, Prof Amin Rais, Moerdiono, Jend TNI (Purn) Wiranto, Ir Akbar Tanjung saat memimpin lembaga tinggi negara di awal zaman reformasi, pernah mendapat gelar “kehormatan” atau “Anon-anon”, yang diserahkan langsung Sinuhun PB XII di Pendapa Sasana Sewaka.
Pemberian gelar “kehormatan” kepada para tokoh yang dianggap punya jasa terhadap negara dan bangsa, sudah dilakukan Sinuhun PB XII, yang menjadi salah satu tanda Kraton Mataram Surakarta mengalami perubahan besar di alam republik. Gelar diberikan kepada orang-orang di luar keluarga raja, sentana dan abdi-dalem garap (pegawai kraton), karena ada perubahan.
Kraton mengalami perubahan besar atau transformasi sejak menyatakan mendukung Kemerdekaan RI dan bergabung ke NKRI, 17 Agustus 1945. Perubahan besar tak hanya menyangkut kedaulatan politik atas wilayah geografisnya, tetapi termasuk sistem jenjang kepangkatan kepegawaian aparatnya, mulai dari pusat (ibu kota negara) di Surakarta sampai di eks wilayahnya.
Karena eks wilayah kedaulatan “negara” Mataram Surakarta digabungkan ke dalam NKRI, maka para pejabat aparatur negara di semua daerah yang ada di bekas wilayahnya, juga tidak lagi mengenakan sistem kepangkatan dan atribut-atributnya. Kalau sebelum 1945 tiap pejabat “Bupati Manca” pasti memakai gelar kepangkatan sesuai jabatannya, sesudah 1945 tidak berlaku.
Karena sejak 1945 kraton mengalami transformasi dari lembaga “negara” (monarki) menjadi lembaga adat dan budaya yang berisi masyarakat adat, maka sejak itu kraton tidak memiliki pegawai aparatur pemerintahan di daerah. Kraton sudah tidak memiliki pejabat “Bupati Njaba” atau “Manca” yang tugasnya memimpin daerah/wilayah, tetapi masih punya pejabat internal.
Pejabat internal itu adalah jabatan yang masih bisa dioperasionalkan, berkait dengan posisi kraton sebagai lembaga adat budaya, yang kini diredifinisi sebagai lembaga masyarakat adat dan pusat pelestarian Budaya Jawa. Redefinisi itu, adalah bagian dari transformasi untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan, sesuai format dan posisi kelembagaannya.
“Jadi sebenarnya, gelar yang pernah berlaku di Kraton Mataram Surakarta itu, ada dua bagian/kategori penting. Yaitu gelar sentana-gusti dan gelar abdi-dalem. Tetapi, berlakunya semua gelar itu juga ada perubahan/perkembangan, walau kecil. Sampai Sinuhun PB X, semua bagian/kategori gelar itu masih berlaku penuh. Berbeda ketika pada zaman Sinuhun PB XII”.
“Berlakunya semua gelar itu, karena Kraton Mataram Surakarta masih merupakan lembaga pemerintahan normatif. Tetapi, setelah Kemerdekaan RI, kraton sudah bukan pusat pemerintahan normati. Hanya sebagai lembaga adat dan budaya. Dan gelar-gelar itu berubah dari setiap zaman kepemimpinan, harus dikelompokkan dalam periodisasi,” ujar KP Budayaningrat.
Dalam beberapa kali percakapan iMNews.id dengan “dwija” Sanggar Pasinaon Pambiwara hingga kemarin itu ditegaskan, bahwa periodisasi penggunaan gelar-gelar yang pernah ada di kraton itu pelu dipahami. Karena, setiap zaman kepemimpinan tokoh Raja tertentu, sangat mungkin berbeda dengan pendahulu dan penggantinya, khususnya dalam soal penggunaan gelar.
KP Budayaningrat itu membenarkan, pada periode zaman Kraton Mataram Islam masih di Ibu Kota Kartasura, misalnya, gelar dari kategori sentana/gusti itu menggunakan susunan “RMG” atau “Raden Mas Gusti”. Susunan ini berubah saat Kraton Mataram Islam pindah Ibu Kota di Surakarta hingga Sinuhun PB XII, yaitu menjadi “Gusti Raden Mas” (GRM), contohnya.
“Budayawan Jawa” itu juga menyebutkan, dulu banyak tokoh dari keluarga raja (sentana dan gusti) yang bekerja sebagai aparatur negara di pemerintahan, dari kabupaten, kawedanan, kecamatan hingga kalurahan. Maka, jika gelar yang diperoleh karena hak trah keturunan “Raden Mas” (RM) misalnya, karena bekerja di sebagai “Mantri”, gelarnya bisa RM Ngabehi (RMNg).
Dengan dasar inilah, maka ketika ditelaah lebih jauh, gelar para “Bupati Njaba/Manca” sampai titik 17 Agustus 1945, banyak yang masih menyandang “RMT” Raden Mas Tumenggung, atau hanya Raden Tumenggung Adipati (RTA) dan sebagainya. Bahkan ada yang hanya “Ki”, “Lurah” (L) dan sebagainya karena abdi-dalem, tetapi bisa mendapat tambahan “Ng” karena pegawai.
“Itu adalah contoh-contoh gelar kepangkatan yang pernah ada di kraton, yang harus dipandang periodisasi zaman Raja siapa atau tahun berapa berlakunya. Kalau sekarang ada gelar kekerabatan yang diberikan pihak eksternal, itu namanya hadiah kehormatan gelar ‘Anon-anon’. Kalau hadiah kehormatan, sebenarnya tidak mengenal naik pangkat,” tandas Ketua KPPI itu. (Won Poerwono – bersambung/i1)