Kisah yang Ditampilkan Dalam Tembang dari Perspektif Keberadaan Pakasa Cabang
SURAKARTA, iMNews.id – Peneliti sejarah dari Lembaga Kajian Nusantara (Lokantara) yang juga Ketua Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi, kini memulai menyusun narasi sejarah dalam bentuk syair tembang Macapat secara komplet, dari “Mijil” hingga “Megatruh”. Syair tembang itu, berisi perjalanan sejarah masing-masing daerah yang kini punya Pakasa cabang.
Gagasan menyusun narasi sejarah lahirnya masing-masing daerah yang pernah menjadi bekas wilayah “negara” Mataram Surakarta (1745-1945) dan perjalanan sambung-menyambung dari Kraton Majapahit (abad 14), ada beberapa alasan yang mendasari. Salah satunya adalah, sebagai upaya menyusun kembali proses perjalanan yang bersih dari intervensi.
Selain intervensi dalam beberapa bentuk karena ada latarbelakang kepentingan, penyusunan narasi sejarah dari perpekstif cirikhas organisasi Pakasa cabang dilakukan untuk meneladani kecerdasan para tokoh leluhur Dinasti Mataram. Mereka mencatat aktivitas, peristiwa dan suasana dalam perjalanan hidupnya dalam tembang di antara 11 jenis Macapat itu.
Penyusunan sejarah yang benar dan ideal, memang hasil perpaduan dari “kejujuran” dan “kemampuan” peneliti, penulis dan penyusun sejarah untuk menyajikan secara urut, lengkap, jujur dan memenuhi metode ilmiah yang diperlukan untuk itu. Dua syarat di atas, rata-rata tidak dipenuhi oleh para peneliti, penulis dan penyusun sejarah, terutama orang asing.
Salah satu syarat yang sulit dipenuhi para peneliti, penulis dan penyusun sejarah dari bangsa asing terutama barat tentang perjalanan kraton-kraton di Jawa , yaitu “kemampuan” membaca suasana peristiwa yang biasanya tersaji dalam syair tembang Macapat. Di dalam Macapat, asa faktor bahasa, aksara (Jawa) dan unsur lain yang rata-rata sulit mereka pahami.
Unsur lain itu adalah, bahasa kiasan yang dalam bahasa pedalangan disebut “semu” atau padan kata atau “vokabuler” yang mencerminkan kekayaan istilah/kata dalam Bahasa Jawa. Di satu sisi mencerminkan di situlah letak tingginya peradaban (Budaya) Jawa, di sisi lain di situlah letak kelemahan para penulis asing rata-rata mengalami kesulitan memahaminya.
Atas dasar beberapa unsur dan faktor yang muncul dalam karya-karya pencatatan, penulisan dan penyusunan sejarah yang pernah ada selama ini, gabungan karya Carik-Dalem (notulen Raja-Red) dan Pujangga yang di dalamnya termasuk Empu, adalah penulis dan pencatat sejarah paling memenuhi dua syarat di atas, yaitu memiliki “kejujuran” dan “kemampuan”.
Meskipun, gabungan dua profesi itu belum juga memenuhi unsur lain ketika berorientasi pada metodologi seperti tuntutan hasil penelitian dan penyusunan hasil penelitian di zaman modern sekarang ini. Yaitu kerja penelitian dan perangkat sistematika yang biasa digunakan untuk menyusun karya ilmiah, meskipun soal “kejujuran” belum tentu bisa dijamin terpenuhi.
Tetapi karena target yang akan dicapai adalah meluruskan dan memutihkan hasil-hasil penelitian, pencatatan, penulisan dan penyusunan sejarah yang sudah ada, maka unsur metodologi dan sistematika tidak menjadi syarat penting dalam karya Dr Purwadi. Kejujurannya untuk melukiskan peristiwa zaman yang sesungghnya, labih utama dalam tembang Macapat yang ditulis.
Salah satu penulisan sejarah yang disajikan Dr Purwadi dalam tembang Macapat, adalah penulisan tentang eksistensi Pakasa Cabang Kudus yang diberi judul “Pakasa Pang Kudus”. Artikel dalam format tembang Macapat tentang keberadaan Pakasa Cabang Kudus yang dipimpin KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro itu, berlatar-belakang sejarah perjalanan Kudus.
Dalam artikel sejarah “Pakasa Pang Kudus” itu, Dr Purwadi mengawali dengan tembang “Dhandhanggula” yang disajikan dalam dua “pada” atau bait. Syair tembang itu adalah :”Panembahan Didik Gilingwesi, Abdi dalem Karaton Surakarta, Wiratama sarwa darbe, Suhing Pakasa Kudus, Amemetri sejarah kawuri, Mataram Kartasura, Luhur ageng agung,…..(bersambung)”.
Berikut sambungannya “….. Sunan Amangkurat Jawa, Prameswari kencana Putri Bupati, Kanjeng Tirtakusuma”. Bait kedua, “Kulak warti ajaran pra-Wali, Lumaksana manjing tanah Jawa, Sunan Kudus wejangane. Lumantar Kanjeng Ratu, Garwanipun Amangkurat Jawi, Kyai Glongsor pinuja, Trompet swara arum, Prlampita kang ngumandhang,……..(bersambung)”.
Berikut sambungannya “… Wosing gati medhar biwara prayogi, warah sastra piwulang”. Kemudian, contoh yang terlukis dalam tembang “Sinom”. Liriknya adalah :” Pakasa Kudus ngrembaka, Minangka jejering abdi, Saben kala sami seba, Kinarya tepa palupi, Tata cara ngleluri, Ndhudhah sarining pituduh, Kendheng Prawata Murya, ……. (bersambung)”.
Berikut sambungannya :….Kali Lusi Serang bening, Kinclong-kinclong mili samudra nguntara”. Lukisan dalam tembang “Sinom” juga ada dua bait. Berikutnya, yang terlukis dalam tembang “Kinanthi”, “Gambuh”, “Pangkur”, “Pucung”, “Asmarandana”, “Mijil”, “Durma”, “Maskumambang” dan tembang “Megatruh” yang masing-masing disajikan dalam dua bait.
Artikel tentang “Pakasa Pang Kudus” ini memang hasil memotret sebagian perjalanan Pakasa Cabang Kudus yang baru eksis di tahun 2022 dan dipimpin KRA Panembahan Didik “Alap-alap” Gilingwesi Hadinagoro. Bukan penulisan ulang tentang sejarah Kabupaten Kudus atau sejarah lahirnya nama Kudus, lengkap dengan latar belakangan perjalanannya sejak sebelum abad 14.
Meski begitu, penulisan sebagian eksistensi Pakasa Cabang Kudus plus sekilas sejarah peristiwa, zaman dan tokoh yang melatarbelakanginya akan menambah referensi memori publik secara luas. Setidaknya, ada bentuk upaya melukis kembali (Kabupaten) Kudus yang bersih dari stigma negatif yang pernah diberikan pihak atau daerah lain kepada Kudus.
“Maka, peran Bupati Kudus Adipati Tirtakusuma pada zaman Kraton Pajang (1550-1587), sebenarnya penting sekali. Karena tokoh itu adalah mertua Sinuhun Amangkurat Jawi atau IV. Putrinya yang bernama Ratu Kentjana (Kencana-Red), menurunkan Raja Mataram di Kartasura, yaitu Sinuhun PB II (1727-1749). Bupati Kudus itu, trah darah-dalem Sunan Kudus”.
“Jadi, Kabupaten Kudus yang warganya dari Sunan Kudus (1400-1550) dan Sunan Muria (Murya-Red), punya ikatan silaturahmi sangat dekat dengan Kraton Mataram, sejak masih di Kartasura. Sinuhun PB II adalah trah darah-dalem Amangkurat Jawi dan Sunan Kudus. Maka, warga Pakasa Cabang Kudus beruntung dipimpin KRA Panembahan Didik”, ujar Dr Purwadi. (Won Poerwono – bersambung/i1)