Pengembangan Organisasi dan Sistem Seleksi yang Baik Mendesak Diwujudkan
IMNEWS.ID – MEMBANGUN kembali organisasi Pakasa di tingkat cabang di berbagai daerah yang pernah menjadi eks wilayah “negara” Mataram Surakarta, memang tidak mudah. Karena ibarat baju, harus merubah berbagai sudut pola desain lama yang “dibuat” pada 29 November 1931, untuk disesuaikan dengan pola desain yang cocok dengan situasi dan kondisi sekarang.
Secara keseluruhan, desain pola baju baru itu tetap bernama Pakasa, tetapi gaya dan model disesuaikan dengan “trend” mode organisasi masa kini, bahkan diharapkan bisa menjawab tantangan “trend mode” di masa mendatang. Tetapi, sesanti dan semangat secara fundamental tetap sama, yaitu “Saraya, Setya, Rumeksa” yang diaktualisasi sesuai bidang yang digeluti.
Karena bidang yang digeluti adalah pelestarian Budaya Jawa demi kelangsungan Kraton Mataram Surakarta, maka semangat dan sesanti Pakasa sesuai “trend mode” sekarang adalah “Saraya, Setya, Rumeksa Budaya”. Patut dipahami, mengikuti “trend mode” bukan berarti harus menanggalkan nilai-nilai Budaya Jawa yang menjadi cirikhas dan simbol fundamentalnya.
Dengan berpegang pada sesanti/semangat yang sudah diaktualisasi itu, berarti secara ideologis hal-hal yang fundamental sebagai pedoman sudah dimiliki Pakasa, tinggal sosialisasi sambil mengikuti proses perkembangannya. Hal yang masih perlu diperhatikan, adalah upaya penyesuaian “desain pola baju” Pakasa dengan trend mode baru agar selalu “up to date”.
Proses penyesuaian dalam membangun Pakasa dengan “desain pola trend mode” masa kini itu, yang sebenarnya perlu dicermati untuk waktu-waktu ini atau pada satu dekade terakhir ini. Karena, tampak dan terasa ada banyak kelemahan yang mengiringi berbagai keberhasilannya. Bila tidak diwaspadai setitik nila itu, bisa membuat rusak susu sebelanga dan kontraproduktif.
Oleh sebab itu, kalau di seri-seri sebelumnya terutama iMNews.id (24/11) sudah ditunjukkan sisi keberhasilan atau positif bangunan baru Pakasa yang “up to date”, maka juga perlu dilihat pembandingnya. Yaitu sederet Pakasa cabang yang tergolong tidak bisa dicontoh/diteladani, karena berpotensi justru membuat “rusak susu sebelenga” dan kontraproduktif.
Seperti Pakasa Cabang Demak, misalnya, kepengurusan yang dilantik resmi oleh Pangarsa Pakasa Punjer dan Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA) di hadapan Bupati dan para pejabat setempat di pendapa kabupaten, sekitar tahun 2020, keesokan harinya sudah tidak ada suaranya. Kepengurusan itu vakum, tak pernah ada kegiatan dan seperti “tak bernyawa” hingga kini.
Berikut adalah Pakasa Cabang Sidoarjo (Jatim) yang juga dilantik resmi di depan Bupati Sidoarjo dalam sebuah upacara di pendapa kabupaten, sekitar tahun 2020, sebenarnya tergolong aktif tetapi belakangan muncul berita yang tidak sedap menyertainya. Yaitu ulah oknum pemimpinnya yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum menggunakan nama Pakasa.
Sedangkan Pakasa Cabang Tegal, sempat diterjang organisasi sejenis tandingannya, yang membuat kepengurusan cabang pecah dan ketuanya, KRAT Subagyo “merana” dalam sakit akibat kecelakaan, hingga meninggal. Pakasa Kabupaten Tegal belum bisa bangkit lagi secara kelembagaan, figur-figur abdi-dalem dari Kota Tegal-pun ikut bingung, karena kehilangan “payung”.
Hingga kini, pengurus Pakasa Cabang Sidoarjo vakum tak ada aktivitas sama sekali, sampai disusul lahirnya Pakasa Cabang Malang Raya, Pakasa Cabang Ngawi, Pakasa Cabang Nganjuk, Pakasa Cabang “Pangeran Timur” Kota Madiun dan Pakasa Cabang (Kabupaten) Madiun Raya. Beberapa cabang baru itu aktif dan menonjol, seperti Pakasa Ngawi yang diketuai KRT Suyono S.
Pakasa Cabang Ngawi yang baru lahir di tahun 2023 dan dipimpin KRT Suyono Sastroredjo, termasuk cabang baru yang aktif, sigap dan solutif di bidang darurat kebencanaan SAR, karena punya Komunitas Elpeje yang menjadi simbol cabang. Dalam sajian kesenian simbolik, Ngawi juga bisa “duet” dengan Pakasa Cabang Ponorogo menggelar seni reog secara kolosal.
Pakasa Cabang Kediri, Tulungagung dan Blitar yang pernah dikabarkan sempat eksis, sudah lama tak terdengar kabarnya setelah dilanda perpecahan akibat masuknya anasir ormas sejenis tandingan. Beruntung Pakasa Cabang Trenggalek yang lahir di tahun 2019, kini masih eksis dan aktif hadir di setiap kegiatan adat di kraton, walau menghadapi tantangan berat.
Selain sejumlah cabang di luar eks wilayah Surakarta yang terlukis hal keberhasilan dan kekurangannya, masih banyak Pakasa cabang yang tergolong kurang beruntung. Yaitu cabang-cabang Pakasa di wilayah Surakarta, dengan profil wajah yang bervariasi dalam pertumbuhan mengikuti proses persesuaian dengan bangunan Pakasa yang “up to date” seusai “trend mode”.
Pakasa Cabang Klaten yang dipimpin KP Prabanagara misalnya, adalah satu di antara cabang di wilayah Surakarta yang paling sukses dari sisi jumlah anggotanya. Selain dekat dengan Kraton Mataram Surakarta, cabang kabupaten ini memiliki potensi kesenian tradisional berbasis Budaya Jawa yang sangat banyak, selain populasi penduduknya yang termasuk tinggi.
Tetapi, dalam perkembangannya Pakasa cabang ini juga belum bisa dikatakan sebagai “Pakasa reborn” yang ideal, sesuai harapan dan kebutuhan kini dan mendatang. Karena, cabang ini semakin tampak banyak kelemahannya menyertai keberhasilan dalam proses pertumbuhannya. Salah satu kelemahannya adalah kapasitas kepemimpinan yang sudah tidak sesuai kebutuhan.
Pakasa Cabang Klaten punya kisah perjalanan seperti Pakasa Cabang Boyolali saat dipimpin seorang tokoh muda, beberapa waktu lalu. Warga Pakasa mengalami perpecahan yang salah satunya karena dijadikan daya dukung dalam kontestasi Pilkada, Pilpres dan Pileg. Pakasa tidak sekedar sebagai tempat mengedukasi calon pemimpin, tetapi dijadikan daya dukung politis.
Nasib beberapa cabang Pakasa di daerah lain di wilayah Surakarta, juga mirip itu, misalnya cabang Kabupaten Sragen. Sedangkan cabang Karanganyar, Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri berbeda lagi ceritanya. Karena, Pakasa cabang berdiri hanya menjadi kepuasan ego pribadi tokoh pemimpinnya, tetapi nyaris mengesampingkan pentingnya perkembangan organisasi.
Pakasa Cabang Surakarta memang tak perlu dibahas karena belum pernah ada. Semua cabang Pakasa di wilayah Surakarta-pun seharusnya menjadi contoh ideal pelestarian Budaya Jawa. Karena, mereka dekat dengan basis dan sumbernya yaitu, Kraton Mataram Surakarta. Tetapi faktanya tidak bisa demikian, karena faktor pemimpin yang tidak bisa melihat potensi itu.
Di wilayah eks Karesidenan Kedu dan Banyumas, Pakasa cabang yang sudah resmi ditetapkan baru cabang Magelang yang dipimpin KRT Bagiyono Rumeksonagoro dan cabang Banjarnegara yang dipimpin KRAT Eko Budi Tirtonagoro. Walau cabang Magelang lebih muda, tetapi aktivitasnya sebagai cabang lebih kelihatan Pakasa Magelang dibanding Banjarnegara.
Pakasa Cabang Magelang cepat bermitra dengan Pemkab setempat, sehingga punya posisi yang jelas antara Pakasa dan Pemkab dalam tugas dan tanggungjawab melestarikan Budaya Jawa. Sementara, Pakasa Banjarnegara yang kaya objek makam dan kegiatan ritualnya, tampak punya beban berat sehingga pertumbuhan dan pengembangan organisasinya mengalami stagnasi.
Profil wajah Pakasa cabang yang rata-rata sedang berproses mencari bentuk itu, memang sangat bervariasi arah gerak dan ragam gayanya. Semua yang terjadi selama berproses, baik positif maupun negatif, wajar adanya dan alami. Karena, rata-rata proses kelahirannya tanpa disertai standar seleksi yang ketat dan baku, karena bukan parpol atau ormas organ parpol. (Won Poerwono – bersambung/i1)