Wajah Beberapa Pakasa Cabang yang Sudah Muncul Bervariasi, Ada yang Bisa Diteladani, Ada yang Tidak
IMNEWS.ID – ORGANISASI Pakasa dalam wajah baru (New Pakasa) setelah lahir kembali (Pakasa reborn), ibarat kembali menyusun organ-organ tubuh yang sesuai dengan suasana, situasi dan kondisi pada waktu yang sedang berjalan. Kalau konteksnya zaman milenial ini, mungkin perlu diakselerasikan sesuai itu, bahkan perlu keluwesan untuk zaman ke depan.
Kini, wajah Pakasa yang sedang bertransformasi itu masih sangat labil dan masih terus berproses menuju wajah final yang sesuai kebutuhan zamannya. Tetapi jelas, semangat, semboyan dan sesanti yang dimilikinya kini sudah tepat, bila berbunyi “Saraya, Setya, Rumeksa Budaya”. Karena Pakasa bukan lagi wadah pergerakan merintis kemerdekaan seperti sebelum 1945.
Dalam perjalanan bertransformasi itu, ada beberapa Pakasa cabang yang proses perkambangan dan pertumbuhannya bervariasi. Ada yang kebingungan, ada yang sekadar punya papan nama, ada yang memanfaatkan dengan baik, ada yang sigap menjalankan amanah penuh kesadaran dan tanggung-jawab, ada yang pengin dilihat gagah dan ada yang berjalan pelan tetapi pasti.
Bahkan, dari sederet potret wajah Pakasa “reborn” itu masih ada bagian atau sisi lain berbeda lagi. Yaitu Pakasa cabang yang terang-terangan menyimpangkan organisasi dengan perbuatan berunsur kriminal. Ada pula yang sehabis dilantik dalam upacara megah di Pendapa Kabupaten, tetapi besoknya vakum dan ternyata “bubar jalan”. Tetapi ada yang aneh lagi.
Salah satu yang aneh itu, karena Pakasa Cabang Kota Surakarta belum pernah terbentuk, tetapi hingga kini belum pernah terdengar alasannya. Padahal sangat mungkin dibutuhkan, karena bisa membantu kesibukan pengurus Pakasa Punjer. Sedangkan cabang di luar Surakarta tumbuh dan berkembang pesat, hingga kini mencapai 40-an cabang di berbagai kabupaten dan kota.
Salah satu tugas dan fungsi Pakasa cabang, adalah kerja pelestarian budaya Jawa demi kelangsungan kraton dan edukasi tentang itu. Dalam kerangka itu, KPH Edy selaku Pangarsa Pakasa Punjer pernah menandaskan, Pakasa cabang bisa mengedukasi dan menjadi mitra ideal Pemkab/Pemkot dalam melestarian Budaya Jawa, sebagai modal ketahanan budaya bangsa.
Perihal menjadi mitra ideal Pemkab/Pemkot dalam mengedukasi masyarakat untuk bersama-sama melestarikan Budaya Jawa, Pakasa Cabang Ponorogo yang lahir 2016 sudah bisa membuktikan. Keterlibatan Pakasa cabang menginisiasi event Grebeg Suro rutin tiap tahun, bisa mempertahankan jati dirinya masyarakat adat dan memelihara sikapnya yang setya-tuhu pada kraton.
Dalam usia 8 tahun, Pakasa Cabang “Gebang Tinatar” yang dipimpin KP MN Gendut Wreksodiningrat sudah menjadi cabang dewasa, karena berkembang pesat sekaligus bisa mengatasi persoalan internal, bahkan posisinya telah menjadi “problem solver” seperti Pakasa Cabang Jepara. Walau sama-sama sebagai “problen solver” Pakasa Cabang Jepara bisa lebih mandiri.
Pakasa Cabang Jepara yang dipimpin KP Bambang S Adiningrat dan Pakasa Cabang Ponorogo, sama-sama sedang memantapkan bentuknya sebagai organisasi di tingkat cabang. Tetapi, keduanya bisa dijadikan contoh atau “raw model” bagi yang lain, terutama soal perkembangannya menjadi besar dan bisa mengatasi masalahnya (problem solver), bahkan ikut membantu Punjer.
Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya, Pakasas Cabang Pati yang dipimpim KRAT Mulyadi Puspopustoko juga bisa dijadikan contoh atau “rawa model” wajah Pakasa “reborn”. Yaitu frekuensi kegiatan spiritual religi haul (khol) sangat tinggi, karena kabupaten ini memang memiliki jumlah makam tokoh leluhur Dinasti Mataram begitu banyak, lebih dari 13.
Tingginya frekuensi event haul itu, ternyata sudah berjalan mendahului terbentuknya Pakasa Cabang Pati. Sehingga, masyarakat adat sekitar makam sudah terbiasa menjadi unit kelompok pamong sekaligus panitia penyelenggara dan pelaksana event haul. Dari situ mereka mendapat pengakuan sebagai abdi-dalem anggota Pakasa cabang yang muncul belakangan.
Karena, event haul sudah lebih dulu berjalan dan punya format hampir baku, kelihatannya mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan pengurus Pakasa cabang. Pengurus cabang yang kurang solid dan kompak, dalam analisis iMNews.id, karena masing-masing punya kelemahan mendasar, masalah komunikasi, sumber daya, kepemimpinan, ego subjek dan sebagainya.
Pakasa Cabang Pati sebenarnya punya kekuatan daya dukung event haul luar biasa dibanding yang lain, misalnya Pakasa Cabang Magelang yang baru dua tahun berdiri, tetapi sedang merintis posisi bermitra dengan Pemkab-nya. Tetapi karena punya kelemahan mendasar namun tak sigap mencari solusi, masalah yang terjadi (problem maker) seperti hanya dipelihara.
Dalam sebuah percakapan dengan KRAT Mulyadi Puspopustoko, iMNews.id mendapat penjelasan dari Ketua Pakasa Cabang itu, bahwa pengurus cabangngnya sudah dibekali berkas AD/ART Pakasa, tetapi belum didaftarkan ke kantor Kesbangpol Pemkab Pati. Menurutnya, kalau Pakasa cabang didaftarkan dan menjadi mitra kerjasama Pemkab, justru akan kerepotan sendiri.
“Ya, nanti kalau Pakasa cabang sudah terdaftar di kantor Kesbangpol Pemkab, kami bisa kerepotan sendiri. Karena, setiap Pemkab ada kegiatan budaya, pengurus Pakasa diundang. Kami harus datang, setidaknya beberapa orang. La kalau ada kirab, ‘kan harus banyak. Padahal, busana adat teman-teman Pakasa di sini bukan Jawi jangkep, tetapi pakai celana panjang itu”.
“Itu belum transpornya. La kalau teman-teman Pakasa tidak bisa urunan, terus gimana? Kami dapat duit dari mana untuk membiayai hadir memenuhi undangan itu?. Padahal, banyak kegiatan Pemkab yang ada kirabnya? Padahal sumber penghasilan saya sedang terpuruk,” ujar KRAT Mulyadi tetapi ketika disarankan untuk mereorganisasi, sama sekali tidak menjawab.
Stagnasi kepengurusan Pakasa Cabang Pati yang mengalami masalah tidak kompak di dalam kepengurusannya, bisa menjadi pembanding bagi yang lain. Tetapi harus dipahami, hal-hal seperti itulah yang bisa muncul dalam masa pertumbuhan Pakasa yang sedang mencari bentuk. Seperti Pakasa Cabang Magelang, menjadi mitra Pemkab, dan punya progres walau kecil.
Pakasa Cabang Magelang yang dipimpin KRT Bagiyono Rumeksonagoro, punya semangat besar untuk tumbuh berkembang menjadi mitra Pemkab, bersama-sama menjalankan tugas pelestairan Budaya Jawa. Bahkan, punya agenda kerjasama dengan pamong makam Pasarean Agung Paremono, untuk membesarkan event destinasi wisata spiritual haul Ki Ageng Karotangan dan sebagainya.
Berbeda lagi perjalanan Pakasa Cabang Kudus, yang nyaris tidak memiliki kegiatan andalan berupa event haul tokoh leluhur Dinasti Mataram. Karena, kompleks makam Sunan Kudus dan Sunan Muria serta trah keturunan berkait Mataram, sudah dikelola yayasan keluarga trah. Dan, KRA Panembahan Didik Gilingwesi (Ketua Pakasa Kudus) itu, tidak menjadi bagian dari yayasan.
Makam Raja Kraton Pajang, Sultan Ngawantipura (Pangeran Benawa I 1583-1586) yang berada di Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, juga “tak mau” bekerjasama dengan Pakasa Cabang Kudus, tetapi pamong/yayasan berjalan sendiri mengelolanya. Namun sungguh beruntung Pakasa Cabang Kudus, karena KRA Panembahan Didik “memiliki warisan” terompet “pusaka” Mbah Glongsor.
Walau hingga kini berkas AD/ART belum didaftarkan ke Kesbangpol Pemkab Kudus, tetapi Pakasa Cabang Kudus sudah punya kegiatan andalan event kirab budaya mengangkat tema “terompet Mbah Glongsor”. Pakasa cabang belum bermitra dengan Pemkab Kudus, tetapi Pakasa sudah mandiri memperkenalkan event terompet Mbah Glongsor kepada dunia dan berhasil dikenal luas. (Won Poerwono – bersambung/i1).