Ironi Surakarta, Justru Dipenuhi Nama-nama Tokoh “Pahlawan yang Tak Dikenal”  (seri 6 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:November 17, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:11 mins read
You are currently viewing Ironi Surakarta, Justru Dipenuhi Nama-nama Tokoh “Pahlawan yang Tak Dikenal”  (seri 6 – bersambung)
"INILAH JASMERAH" : Monumen sejarah patung Sinuhun PB VI di objek wisata Selo inilah, salah satu wujud kepatuhan terhadap pesan Proklamator Bung Karno tentang "Jasmerah". Karena, Pemkab Boyolali dan masyarakatnya bersama Kraton Mataram Surakarta benar-benar memperhatikan pesan "Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah" itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Bagaimana Menakar Bobot dan Memantaskan Nama-nama Pahlawan Nasional Menjadi Nama Ruang Tertentu

IMNEWS.ID – HINGGA kini, undang-undang (UU) atau peraturan yang bisa menakar dan menentukan tokoh yang dianggap layak dan pantas menjadi Pahlawan Nasional, terkesan tertutup dan terasa sangat jauh dari jangkauan bangsa dan rakyat NKRI ini. Padahal, seharusnya persoalan itu terbuka bagi publik secara luas, termasuk untuk mengetahui mekanisme prosedurnya.

Tak hanya sampai pada wujud regulasi yang dijadikan dasar untuk menetapkan atau memutuskan, seorang figur tokoh dianggap memenuhi syarat menjadi Pahlawan Nasional. Akal sehat juga bisa berjalan menelusuri siapa saja yang waktu itu terlibat dalam tim pembuat aturan, UU atau regulasinya. Fakta ini penting sekali, untuk melihat apakah ada pengaruhnya produknya.

Produknya tentu berupa aturan, UU atau regulasi yang mengatur tentang mekanisme prosedur, dasar-dasar, latar belakang dan segala persyaratan seseorang bisa diangkat dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Tim atau badan atau apapun namanya yang berwenang dalam penetapan Pahlawan Nasional, pasti ada dan selalu berganti secara periodik secara alami.

“INILAH DURHAKA” : Apakah bangsa kita akan menjadi bangsa yang durhaka?. Pembakaran kompleks perkantoran pemerintahan Mataram Surakarta di Kepatihan inilah bukti kedurhakaan bangsa itu. Bangunan peninggalan sejarah dan isinya berbagai barang dan dokumen penting, dihancurkan dan dijarah di tahun 1949. Inikah yang disebut “Jasmerah”?. (foto : iMNews.id/Dok)

Ketika mencermati dan menganalisis rangkaian logika terjadinya reguliasi penentuan Pahlawan Nasional seperti terurai di atas, tentu karena ada persoalan yang muncul kemudian, setelah puluhan tahun hingga sekarang ini. Persoalan muncul sejak aturan/UU/regulasi diberlakukan, maupun adanya fakta para tokoh sebagai objek yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Mengapa akal sehat manusia atau insan peradaban sekarang merunut sampai ke situ? Mengapa perlu ditelusuri identitas dan latar belakang figur-figur yang terlibat dalam penyusunan aturan, UU atau regulasi penentuan Pahlawan Nasional? Mengapa  pula ditelusuri identitas dan latar belakang figur-figur yang menjadim tim, badan, panitia atau lembaga penentunya?

Pertanyaan-pertanyaan itu muncul memang karena ada persoalan yang mengganjal, tetapi selama ini tetap ditahan, karena bisa dianggap kurang elok kalau diungkap begitu saja secara terbuka. Persoalan yang mengganjal itu, nyaris tak pernah diumbar ke ruang publik, karena perilaku itu di “zaman edan” sekarang ini bisa menjadi “bumerang” dan dituduh “iri”.

“INIKAH JASMERAH” : Sebuah patung tokoh yang menggenggam pistol di depan Gapura Gladag, berdiri angkuh “membokongi” wajah Kraton Mataram Surakarta sejak belasan tahun lalu. Inikah yang disebut “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah” yang diucapkan Proklamator Bung Karno itu?. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tetapi, menelusur berlandaskan akal sehat dan asas-asas kelayakan/kepatutan serta etika adat ketimuran, ditambah sederet regulasi turunan dari Pasal 18 ayat 2 UUD 45 pada seri sebelumnya (iMNews.id, 16/11), bisa menghindari tudingan iri atau motif tersembunyi. Karena demokrasi yang kini berlaku di NKRI ini, sangat sensitif terhadap soal Pahlawan Nasional.  

Sebagai ilustrasi, sensitivitas suasana demokrasi yang didominasi kekuatan partai, telah melahirkan kehidupan politik yang “sakit”. Hal-hal menyangkut Pahlawan Nasional, misalnya, bisa dipertentangkan dan menjadi persoalan nasional serta  mudah masuk ke ranah politis, karena banyak pihak punya sentimen negatif/positif terhadap figur Pahlawan Nasional tertentu.

Sentimen negatif atau positif itu, bisa dimiliki setiap orang ketika menimbang dan membandingkan dua figur tokoh pahlawan atau lebih. Tetapi, dalam proses mekanisme prosedur penentuan seorang figur tokoh yang ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, pasti dihasilkan oleh orang-orang profesional yang berada dalam tim/badan/lembaga penentu itu.

Jika asumsinya para anggota tim/badan/lembaga/panitia penentu dan penetap Pahlawan Nasional itu adalah orang-orang yang sudah profesional di bidangnya, tentu tak akan muncul masalah atau tak ada pihak yang mempersoalkan hal itu dalam dekade terakhir, bahkan menajam akhir-akhir ini. Apalagi, penajaman masalah itu sampai mempertanyakan “kualitas produknya”.

Ketika yang dipersoalkan “kualitas produknya”, akal sehat tentu melihat seberapa profesional tim/badan/lembaga/panitia penentu Pahlawan Nasional itu. Bahkan, bisa sampai meneliti bagaimana proses regulasi, UU dan aturan penetapan Pahlawan Nasional itu dibuat. Untuk apa, untuk siapa, untuk keperluan apa, dan untuk kepentingan siapa regulasi itu dibuat?.

Sejumlah pertanyaan di atas, tentu bisa memandu akal sehat kita ketika menakar realitas isi ruang Kota Surakarta, misalnya. Karena, hanya yang bernalar waras tentu akan bertanya, bagaimana mungkin di depan Gapura Gladag sebagai pintu masuk kawasan Kraton Mataram Surakarta, justru berdiri patung tokoh yang tak ada hubungannya dengan Mataram Surakarta?

JAVA’S BANK : Sebuah gedung yang didirikan pada zaman Sinuhun PB X (1893-1939) dan digunakan sebagai kantor Java’s Bank, pernah digunakan sebagai tempat perundingan Sinuhun PB XII dengan utusan pemerintah RI membahas nasib Daerah Istimewa Surakarta, karena ditentang PKI dan berbagai pihak lain di tahun 1946. “Inikah Jasmerah”?. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Apakah patung figur tokoh yang menggenggam pistol dan “membokongi” pintu masuk kraton itu lebih pantas berada di situ dibanding Sinuhun Paku Buwana (PB) X misalnya?. Apakah bobot ketokohan dan jasa figur “pahlawan” itu lebih besar dari jasa Sinuhun PB X? Lebih besar dan berat mana bobot jasanya dibanding Sinuhun PB II, “Bapak Pendiri Surakarta” itu?

Hampir setiap figur tokoh “Raja” di eks “negara” Mataram Surakarta, mulai Sinuhun PB II hingga PB XII, mungkin tidak sepadan ditakar bobotnya, karena tak “sebanding” tak setara bila dibanding dengan tokoh-tokoh yang lahir setelahnya. Karena, mereka semua adalah pemimpin negara, pemerintahan, adat, agama dan pemimpin peradaban Mataram Islam Surakarta.

Bila ditakar jasa, peran dan manfaatnya, sejak Sinuhun PB II, PB III, PB IV, PB V, PB VI, PB IX, PB X, PB XI dan PB XII hampir semuanya tokoh berkelas nasional bahkan internasional. Mereka yang berestafet selama 200 tahun (1745-1945), telah melahirkan panduan, pedoman dan tatanan peradaban bukan saja bagi “bangsa” Jawa, tetapi bagi bangsa baru, rakyat NKRI.

TUGU PEMANDENGAN : Di depan kantor Balai Kota Surakarta, berdiri sebuah tugu bersejarah yang dibangun antara Sinuhun PB II dan III, yang disebut Tugu Pemandengan. Tugu ini tepat segaris lurus ke arah Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa. Tetapi jalan besar di situ dinamakan Jalan Jend Sudirman. “Inikah Jasmerah itu”? (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Saya mungkin salah seorang yang menganggap aneh, mengapa di depan Gapura Gladag malah dibangun monumen tokoh bukan Sinuhun PB X? Mengapa jalan di depan Gapura Gladag yang arah barat-timur atau utara-selatan memakai nama tokoh lain? Mengapa bukan Jalan Sinuhun Paku Buwana X atau Sinuhun PB lainnya? Mengapa Stadion Sriwedari tidak dinamakan Stadion PB X?”.

“Padahal, bobot ketokohan dan kaitan sejarahnya lebih berat dan besar Sinuhun PB X. Beliaulah yang memberi izin pembanguan Stadion Sriwedari. Tetapi mengapa diberi nama tokoh yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Mataram Surakarta? Mengapa bukan nama besar eyang Paku Buwana X?,” ujar KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro betanya-tanya.

Sentana darah-dalem trah Sinuhun PB X dan PB V itu, juga KPP Jhony Sosrodiningrat (trah Patih Sosrodiningrat V), adalah dua kerabat Kraton Mataram Surakarta yang belakangan banyak mempersoalkan keganjilan dan keanehan di ruang Kota Surakarta. Keduanya meminta, Wali Kota-Wakil Wali Kota terpilih, wajib meluruskan hal yang “unhistorical” di atas.

PANTASKAH BILA? : Pasakah bila Stadion Sriwedari yang dibangun bersamaan Taman Kebon Raja atau Taman Sriwedari oleh Sinuhun PB X pada zamannya bertahta (1893-1939) yang berada di dalam Ibu Kota “negara” Mataram Surakarta, tetapi ketika tinggal sebagai ruang Kota Surakarta diberi nama tokoh lain? (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tim penyusun regulasi/UU penetapan Pahlawan Nasional waktu itu, patut diragukan kredibilitas dan profesionalitasnya.  Terkesan ada kepentingan politis pribadi/kelompok di dalam tim, sehingga keputusannya menghasilkan nama tokoh Pahlawan Nasional yang bias, “unhistorical”. Inilah yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, karena merampas rasa keadilannya.

Rasa keadilan untuk mendapatkan hak penghormatan layak dan pantas, atas jasa-jasa para tokoh peradaban Mataram Surakarta telah terampas. Padahal, 200 tahun mereka membentuk peradaban (Jawa) hingga tuntas dan mewariskan untuk NKRI, bangsa ini. Penghormatan atau rasa keadilan untuk ruang Kota Surakarta, bekas Ibu Kota Negara dan pusat peradaban Jawa. Tidak lebih.

Kini, 79 tahun kemudian, ruang Kota Surakarta justru dipenuhi nama-nama tokoh yang “terlalu mudah” disebut Pahlawan. Padahal, sama sekali tidak mengakar, tidak jelas asal-usul dan latar belakanganya, bahkan “unhistorical”. Memersoalkan ini jelas bukan karena iri atau motif lain, tetapi ingin mendapatkan “rasa keadilan” dan bukti atas Pasal 18 ayat 2 UUD 45 itu. (Won Poerwono – bersambung/i1)