Banyak Sekali Nama Tokoh Mataram Surakarta yang Lebih Pantas Menghiasi Ruang Kota Surakarta
IMNEWS.ID – KETIKA beberapa waktu lalu, Pemprov DKI Jakarta memberi nama jalan baru untuk sejumlah ruas jalan di Ibu Kota negara misalnya Jalan Benyamin Sueb, tentu sudah dipertimbangkan masak-masak alasan dan latar-belakangnya. Terutama yang menyangkut bobot ketokohan si pemilik nama, termasuk jasa-jasanya terhadap DKI serta latar-belakang semasa masih hidup.
Dalam pengertian dan analogi seperti itu, ketika melihat satu di antara pertimbangan lain yaitu ruang Ibu Kota NKRI, Jakarta sangat layak untuk menampung nama-nama tokoh besar dari daerah seluruh Indonesia, seperti nama Jalan Paku Buwana. Jalan, bangunan gedung dan sebagainya, layak diberi nama dari para tokoh penting yang berjasa dalam skala nasional itu.
Pertimbangan dan analogi seperti itu, sangat mungkin dijadikan dasar untuk memberi nama jalan dan berbagai jenis bangunan yang semuanya tentu dilandasi satu ukuran, yaitu memiliki perspektif sejarah atau bersejarah. Oleh sebab itu, publik tentu punya anggapan bahwa ketika ruang Kota Surakarta diberi nama, pasti dengan pertimbangan dan analogi seperti itu pula.
Mekanisme prosedur pemberian nama jalan dan berbagai jenis bangunan bersejarah di masa lalu, hingga kini memang tak jelas dan tak pernah dijelaskan secara terbuka kepada publik secara luas. Padahal, hal-hal seperti itu seharusnya terbuka untuk diketahui, diapresiasi dan dikritisi oleh publik, terutama yang mempunyai kaitan sejarah dan berdomisili di lingkungan nama itu.
Negara republik ini baru berusia 79 tahun, tetapi banyak menyimpan kalau tidak boleh disebut “dirahasiakan” atau “dijadikan misteri” mengenai hal-hal yang seharusnya bisa dilihat dan dipahami secara terbuka dan jelas oleh rakyat atau bangsanya. Tetapi melihat gelagatnya, negara melalui pemerintah yang berganti-ganti tiap lima tahun itu, justru terkesan “menutup” soal ini.
Dengan beberapa pertimbangan di atas di satu sisi dan kesan negara yang “tidak terbuka” (menutup-nutupi) di sisi lain, maka tak boleh diabaikan atau disepelekan kalau ada di antara warga Kota Surakarta bereaksi. Mereka mempertanyakan dan mengritisi hadirnya nama baru yang masih bisa dimaklumi, tetapi ada banyak nama lama untuk jalan dan bangunan yang dianggap mengganggu.
Yang dianggap “mengganggu nurani” karena “mengurangi rasa keadilan” itu, karena penggunaan nama-nama jalan dan bangunan bersejarah di Kota Surakarta yang berpotensi masuk kategori “unhistorical”. Karena, data dan fakta sejarah banyak dan mudah didapat serta sulit dibantah, bahwa Kota Surakarta Hadiningrat berasal dari Ibu Kota “negara” Mataram (Islam) Surakarta.
Karena “negara” (monarki) Mataram Surakarta sudah berjalan 200 tahun (1745-1945) atau lebih dari dua kali usia NKRI, maka tentu memiliki lebih banyak prestasi dan jasa-jasa yang tertinggal atau diwariskan. Di balik jasa dan prestasi di berbagai bidang, baik secara tangible maupun intangible, tentu ada para tokoh penting level negara atau pemimpin yang berperan.
Oleh sebab itu, di ruang eks “negara” Mataram Surakarta, khususnya di ruang Kota Surakarta, seharusnya identitas para tokoh penting dan hebat pada zamannya yang mudah dilihat, dikenal, dirasakan, dipahami dan dihormati sebagai bagian dari sebuah keluarga dan juga diposisikan sebagai tokoh leluhur mereka. Bagaimana realitasnya selama ini? Sudahkah demikian?.
Baru dua pertanyaan yang muncul di atas, seharusnya menjadi teguran bahkan tamparan keras bagi negara dan pemerintahnya yang berganti pemimpin tiap lima tahun itu. Dua pertanyaan itu saja, seharusnya sudah membuat malu para pengelola negara dan pemerintahan, bahwa seharusnya mereka menjalankan tugas negara dan pemerintah sesuai konstitusi dan menjunjung tinggi UUD 45.
Karena dengan menjalankan amanat konstitusi, para pemimpin negara dan pemerintahan, akan pula mematuhi nilai-nilai yang terkandung dalam konsitusi, melalui pasal-pasal penting yang ada di dalamnya. Misalnya pasal 18 ayat 2 tentang eksistensi Daerah Istimewa Surakarta sebagai daerah setingkat provinsi yang, yang terkoneksi dengan dua dokumen penting negara.
Yaitu “Piagam Kedudukan” dari Presiden Ir Soekarno (1 September 1945) untuk Sinuhun PB XII, yang menegaskan kedudukan Surakarta sebagai Daerah Istimewa setingkat Provinsi, punya hubungan langsung dengan pemerintah pusat. Pasal itu juga berkait dengan Maklumat Sinuhun PB XII (19 Agustus 1945) yang menyatakan Kraton Mataram Surakarta “Berdiri” di belakang NKRI.
Dalam pasal 18 ayat 2 UUD 1945 itu juga di amanatkan bahwa negara (dan pemerintahannya-Red), mengakui dan menghormati satuan pemerintahan adat yang sudah ada sebelumnya. Pasal ini berkait dengan banyak regulasi produk NKRI melalui pemerintahnya, yang secara khusus mengakui eksistensi dan menghormati Mataram Surakarta sebagai satuan pemerintahan adat yang lebih dulu ada.
Salah satu regulasi yang terkait dengan pasal itu adalah Perpres No 19/1964 yang dilengkapi SKB Tiga Menteri, sebagai turunan bentuk pengakuan dan penghormatan kepada Kraton Mataram Surakarta. Selain itu, memang belum ada regulasi turunan pasal 18 UUD 45 yang secara khusus mengatur cara pemberian penghormatan kepada Mataram Surakarta dalam wujud nama jalan dan bangunan.
Walau belum ada regulasi turunan konstitusi yang secara khusus mengatur cara pemberian penghormatan, tetapi sebagai bangsa dan insan pemimpin bangsa berbudaya tinggi di Nusantara ini, seharusnya sudah sadar dan peduli untuk menjalankan tugas dan kewajiban seperti yang disebut dalam amanat “pengakuan” dan “penghormatan” kepada satuan “pemerintahan adat” yang lebih dulu.
Ketika belum ada regulasi yang secara khusus mengaturnya, tetapi seorang pemimpin negara dan pemerintahan yang dibekali akal, kepandaian dan ilmu yang tinggi serta punya landasan tradisi budaya ketimuran ideal, pasti bisa memahami nilai makna amanat Pasal 18 ayat 2 UUD 45 dan menjalankan maksud kata “mengakui” (pengakuan) dan “menghormati” (penghormatan) secara nyata.
Maka, dalam dianalisis lebih lanjut ketika merunut ke belakang yang sangat mungkin menjadi momentum pemberian nama jalan dan bangunan bersejarah dan bernilai sejarah sejak pemerintahan NKRI ini terbentuk dan berjalan, dengan memakai pendekatan makna dua kata dari pasal 18 ayat 2 itu, publik secara luas peradaban masa kini dan mendatang bisa mengukur cara mereka memahami.
Dengan analisis sejauh itu pula, maka ketika Kota Surakarta semakin tampak justru dipenuhi nama-nama tokoh “pahlawan yang tak dikenal” atau “unhistorical”, itu mudah diidentifikasi untuk mengukur cara para pemimpin negara dan pemerintahan memahami makna kata “mengakui” dan “menghormati” itu. Ini harus menjadi sikap fundamental, karena amanat Pasal 18 ayat 2 UUD 45 itu.
Dengan cara menganalisis seperti ini, maka semakin ketahuan bahwa banyak sekali warisan dan peninggalan sejarah eks “negara” Mataram Surakarta baik yang “tangible” seperti jalan dan bangunan maupun yang “intangible” yang masih ada, nyaris kehilangan identitasnya. Karena, para pemimpin tidak memahami makna “mengakui” dan “menghormati” yang diamanatkan pasal 18 UUD 45 itu.
Karena para pemimpinnya tidak bisa atau tidak mau memahami makna kata “mengakui” dan “menghormati” itu, pantas saja Kota Surakarta justru menjadi contoh ironi buruk dan memprihatikan. Para pemimpin dan sebagian warganya, sejak 1945 justru memperlihatkan contoh “wong Jawa” yang “ora Njawa” atau tidak paham/mengerti “Jawane” atau sudah kehilangan “Jawane”.
Karena demikian parah sikap dasar para pemimpin dan sebagian warga Kota Surakarta sebagai “wong Jawa”, maka tidak aneh kalau Kota Surakarta justru dipenuhi nama-nama tokoh pahlawan yang tidak dikenal, asing, tak mengakar, tak jelas jasanya atau “unhistorical”. Padahal, banyak sekali nama tokoh Mataram Surakarta yang lebih pantas/layak menghiasi ruang Kota Surakarta. (Won Poerwono – bersambung/i1)