Gulungan Seribu Meter Sang Dwi Warna Gula-Klapa Dicuci Air Laut Segara Kidul

  • Post author:
  • Post published:October 30, 2024
  • Post category:Regional
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Gulungan Seribu Meter Sang Dwi Warna Gula-Klapa Dicuci Air Laut Segara Kidul
DENGAN KENDHI : Awalnya Gusti Moeng hanya minta izin untuk mengambil air dengan "kendhi" untuk mencuci ujung gulungan bendera mereh-putih itu. Tetapi selanjutnya malah "diizinkan" membentang gulungan bendera sepanjang 1 KM itu dan ujungnya sampai mencelup ke air "segara kidul" pada ritual "jamasan", Selasa siang (29/10). (foto : iMNews.id/Dok)

Warisan Majapahit yang Dirawat Mataram Surakarta, Agar Jadi Pusaka NKRI Selamanya

BANTUL (DIY), iMNews.id – Gulungan bendera merah-putih Sang Dwi Warna “Gula Klapa” yang dikirabkan dari Jatim dan menjadi simbol utama peringatan Hari Sumpah Pemuda di Kraton Mataram Surakarta, Senin (28/10) lalu, menjalani upacara adat terakhir. “Jamasan” Sang Saka dengan air laut “segara kidul”, dilakukan dengan tatacara adat kraton, Selasa (29/10).  

Sang Saka merah-putih simbol kraton yang diabadikan sebagai pusaka NKRI, dicuci atau “dijamasi” dalam sebuah upacara  sesuai tatacara kraton yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah. Prosesi upacaranya dimulai dengan kenduri donga wilujengan yang digelar di Pendapa Cepuri Pesanggrahan Parangkusuma, Bantul (DIY), Selasa (29/10) mulai pukul 15.00 WIB.
“Donga wilujengan” (doa selamatan) yang diikuti sekitar 100-an rombongan dari Kraton Mataram Surakarta dan anggota Komunitas Mataram Jaya Binangun, dimulai setelah gulungan bendera merah-putih sepanjang 1.000 meter dan gulungan bendera raksasa ukuran sekitar 120×80 meter “disanggarkan” di Pendapa Cepuri Pesanggrahan.

DENGAN PROSESI : Ketika Sang Saka Gula-Klapa menjadi bagian dari pusaka kraton, maka perawatannya (pencucian/jamasan) juga dilakukan dengan tatacara adat kraton. Gusti Moeng memimpin prosesi ritual “jamasan” bendera merah-putih pusaka bangsa dan NKRI itu, dari Pendapa cepuri menuju Pantai Parangkusuma, Selasa siang (29/10). (foto : iMNews.id/Dok)

GKR Wandansari Koes Moertiyah yang dimintai konfirmasi iMNews.id pagi tadi menyebutkan, sebelum diadakan upacara adat di Pantai Parangkusuma, gulungan bendera panjang dan dan bendera raksasa lebih dulu dikirabkan di dua daerah. Yaitu di wilayah Kabupaten Klaten Selasa (29/10) pagi dan siangnya dibawa ke Kabupaten Sleman (DIY) sebelum ke Parangkusuma.

“Saya punya agenda ziarah ke makam Sinuhun PB XII di Astana Pajimatan Imogiri, Selasa (29/10) siang setelah kholnya beliau, Jumat (25/10). Jadi masih sempat mengikuti pembentangan bendera di kompleks Candi Untarayana, Pedan, Klaten. Pesertanya dari berbagai elemen sekitar 400-an orang. Termasuk warga Pakasa Cabang Klaten. Sehabis itu terus ke Sleman”.

“Di acara pembentangan bendera di Sleman (DIY), Selasa siang (29/10), saya tidak punya data-datanya. Sehabis dari Imogiri, saya langsung menunggu di Pendapa Cepuri Pesanggrahan Parangkusuma. Di situ, tidak ada upacara Labuhan. Tetapi, meminta izin mengambil air laut untuk mencuci ujung bendera,” ujar Gusti Moeng yang memimpin tatacara “jamasan” bendera.

PIMPIN UPACARA : Gusti Moeng memimpin upacara adat “jamasan” Sang saka Gula-Klapa di Pendapa Cepuri Parangkusuma sebagai perawatan salah satu pusaka kraton, yang kini menjadi pusaka bangsa dan NKRI. Jamasan gulungan bendera Sang Dwi Warna itu, digelar di Pantai Parangkusuma, Selasa siang (29/10). (foto : iMNews.id/Dok)

Disebutkan, semula Gusti Moeng hanya “meminta izin” untuk mengambil air sebanyak satu “kendhi” ukuran 2 liter untuk dikucurkan di ujung bendera. Tetapi malah mendepat “saran” untuk membawa gulungan bendera 1.000 meter itu, dibentangkan menjulur ke air laut dan dicelupkan. Sementara, gulungan bendera raksasa lainnya dibentangkan di atas pasir pantai.

Gusti Moeng menyebutkan, dalam pidato sambutan sebelum pembentangan bendera di Candi Untarayana Desa Mayang Kalangan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, ia mengisahkan asal-usul bendera tersebut. Karena sudah menjadi pusaka kraton dan pusaka NKRI, maka dia titip kepada bangsa dan negara ini untuk merawat pusaka itu sebagai pemersatu bangsa dan NKRI.

Hal serupa juga ditegaskan saat diwawancarai beberapa awak media di sela-sela bentang bendera di kompleks candi, bahkan sudah ditandaskan saat wawancara pada seusai upacara bendera peringatan Hari Sumpah Pemuda di halaman Kamandungan, Kraton Mataram Surakarta, tepat pada 28 Oktober, Senin pagi. Bahwa, merah-putih “Gula-Klapa” adalah simbol kraton.

SITUS WATUGILANG : Sebelum memimpin ritual “jamasan” gulungan bendera Sang Dwi Warna Gula-Klapa di Pendapa Cepuri Pesanggrahan Parangkusuma hingga mencelupkan ujung bendera saat bibir pantai kena air pasang, donga wilujengan selalu dilakukan Gusti Moeng di situs Watu Gilang kompleks Pesanggrahan Parangkusuma. (foto : iMNews.id/Dok)

“Simbol itu berasal dari Kraton Majapahit (abad 14), yang kemudian dirawat pada zaman Kraton demak (abad 15), Pajang (abad 15-16), Mataram Kutha Gedhe dan Plered (abad 16-17), Kartasaura (abad 17) dan Surakarta (abad 17-18) atau sudah 200 tahun selama zaman Mataram Surakarta (1745-`945). Jadi, merah-putih Gula-Klapa itu pusaka bagi kraton”.

“Karena merupakan salah satu pusaka di kraton, maka diperlakukan seperti pusaka-pusaka lainnya. Termasuk saat dicuci kemarin itu, menggunakan tatacara adat kraton di ‘segara kidul’ Pantai Parangkusuma. Merah-putih Sang Dwi Warna Gula-Klapa punya ikatan emosional dengan kraton, karena perjalanan sejarahnya begitu,” tandas Gusti Moeng.

Karena latar-belakang sejarah itu, maka untuk kedua kalinya Gusti Moeng sempat memperlihatkan rasa haru dengan mata yang berkaca-kaca, baik saat menggulung kambali bendera di halaman Kamandungan, Senin (28/10) maupun di Pantai Parangkusuma, Selasa (29/10). Karena, sejarah Sumpah Pemuda jelas terhubung dengan kraton dan peristiwa lahirnya NKRI di tahun 1945.

ASAL-USUL : Saat diwawancarai para awak media di kompleks Candi Untarayana, Desa Mayang Kalangan, Kecamatan Pedan, Gusti Moeng kembali menjelaskan dan menegasakan asal-usul Sang Dwi Warna Gula-Klapa adalah pusaka yang dirawat Kraton Mataram Surakarta selama 200 tahun yang berasal dari Kraton Majapahit (abad 14), Selasa pagi (29/10). (foto : iMNews.id/Dok)

Menurut Gusti Moeng, simbol milik kraton yang digunakan sebagai simbol NKRI bukan hanya warna Sang saka merah-putih sebagai pusaka negara dan bangsa. Tetapi beberapa lambang yang ada di dada burung Garuda, misalnya padi dan kapas sebagai lambang “Keadilan Sosial” dalam Pancasila yang mewakili pangan dan sandang simbol kemakmuran bangsa dan NKRI.

“Dua simbol, yaitu merah-putih dan padi-kapas itu, ada di lambang Sri Radya Laksana yang dibuat pada zaman Sinuhun PB X (1893-1939). Karena itulah, maka kraton menitipkan simbol-simbol yang menjadi pusaka negara ini, dijaga lestarinya sampai akhir zaman. Tolong dijaga menjadi pemersatu bangsa dan negara, selamanya,” harap Gusti Moeng lagi.

Sementara itu, setelah agenda ziarah ke makam Imogiri lanjutan khol Sinuhun PB XII dan “jamasan” bendera merah-putih, Selasa (29/10), kraton mempersiapkan upacara adat Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung, Kamis (31/10) pagi hingga siang besok. Upacara adat akan digelar di Pendapa Sitinggil Lor (pagi) dan Pesanggrahan Krendawahana (siang). (won-i1).