Cara Cerdas Membuktikan Kerangka Strategi “Perang Dingin” yang Sudah Dikuasai
IMNEWS.ID – DIBUKTIKAN melalui testimoni upacara adat “ungeling gangsa sepisanan” gamelan Sekaten Kiai Guntur Madu di Bangsal Pradangga halaman Masjid Agung, Senin (9/9), akhirnya lengkap dan sempurnalah seandainya ada sebuah aktivitas untuk meneliti proses hubungan kausalitas antara kualitas sekelompok orang hanya bisa punya capaian/tujuan tertentu.
Kualitas sekelompok orang yang dimaksud tentu dilihat dari kepemilikan standar kepribadian yang terdiri dari etika moral dan penalaran. Dua elemen kepribadian ini sudah cukup untuk mengukur kualitas sekelompok orang yang “di luar dugaan” Bebadan Kabinet 2024, telah “membuktikan” dugaan kekhawatiran yang sebenarnya sudah bisa diperkirakan terjadi.
Dan, sebuah “insiden” adu mulut untuk merebut kesempatan memberi “dhawuh” menabuh gamelan Kiai Guntur Madu, Senin (9/9) itu, bisa dipandang merupakan bagian dari rangkaian “upaya” pembuktian oleh pihak yang tergolong cerdas menguasai kerangka strategi “perang dingin”. Insiden itu adalah testimoni yang bisa membuktikan adanya hubungan kausal di atas.
Sebuah analisis yang bisa dilakukan terhadap insiden “berebut dhawuh” itu (iMNews.id, 9/9 dan 10/9), bisa menjadi penjelasan dan bahan perenungan publik secara luas yang ingin mengetahui kejelasan peristiwanya. Bahkan, bisa membangun penalaran yang konstruktif dan cara pandang positif proporsional, terhadap profil Kraton Mataram Surakarta dan nasibnya.
Artinya, untuk mendapat kejelasan duduk persoalan sebenarnya apalagi diletakkan dalam hubungan kausalitas, tidak bisa hanya melihat insiden di depan Bangsal Pradangga Masjid Agung, Senin siang (9/9). Tetapi harus dilihat insiden demi insiden dalam waktu yang panjang, sejak 2004 yang muncul lagi di tahun 2010, 2017, 2022, 2023 dan di tahun 2024 ini.
Bahkan, bila ingin mengetahui latar-belakang yang sejelas-jelasnya, bisa dieksplorasi dari data-data dokumentasi sejarah dalam bentuk apa saja terutama manuskrip tentang rentetan peristiwa yang menimpa Kraton Mataram Surakarta. Yaitu peristiwa yang dialami langsung atau tidak langsung, diurutkan mulai beberapa dekade terakhir sebelum dan sesudah 1945.
Karena, semua rentetan peristiwa yang terjadi pada periode-periode tahun dan dekade itu, jelas ada kaitan hubungan kausalitasnya. Termasuk insiden yang terjadi 2004, terus bergulir dalam hubungan kausalitas pada peristiwa tahun 2010, 2017, 2022, 2023 dan 2024 ini. Jadi, peristiwa demi peristiwa dan insiden demi insiden itu tidak berdiri sendiri.
Berdasarkan periode tahun itu bisa dijelaskan, bahwa peristiwa 2004 dilatarbelakangi unsur “iri” (dendam-Red) dari peristiwa 1945 karena Sinuhun PB XII didukung jumeneng nata karena lahir lebih dulu dari salah seorang saudaranya dari ibu (permaisuri) yang lebih tua. Iri dan “dendam” ini, melatarbelakangi “ontran-ontran raja kembar” di tahun 2024.
Peristiwa “ontran-ontran” tahun 2024 yang bersamaan lahirnya Lembaga Dewan Adat (LDA) sebagai wadah perwakilan semua trah darah-dalem Sinuhun PB I hingga PB XIII, adalah bentuk “pembangkangan secara adat” oleh GPH Tedjowulan dan GPH Dipokusumo (Pengageng Parentah Kraton), GKR Alit (Pengageng Keputren) dan GPH Hadi Prabowo (Pengageng Kusuma Wandawa).
Diselingi upaya rekonsiliasi yang “gagal-total” di tangan Jokowi-FX Rudy Hadiyatmo (Wali Kota-Wawali Kota Surakarta) sebagai tangan panjang pemerintah di tahun 2010, friksi “raja kembar” di tahun 2004 yang menjadikan GPH Tedjowulan sebagai “mantan Sinuhun”. Gagal di Surakarta, rekonsiliasi justru “bisa terwujud” di Jakarta, beberapa waktu kemudian.
Tetapi, rekonsiliasi yang diinisiasi Ketua DPR RI Dr Marzuki Ali dan beberapa pejabat tinggi negara di pemerintahan Presiden SBY itu, ternyata hanya “rokonsiliasi” sepihak yang penuh latar-belakang “kepentingan”. Karena, yang melakukan rekonsiliasi justru Sinuhun Suryo Partono (PB XIII) bersama pengikutnya dengan “mantan Sinuhun” (PB XIII) Tedjowulan.
Di tahun 2010 itu, Lembaga Dewan Adat (LDA) mengajukan pengesahan dari Kemenkumham dan organisasi Pakasa mencari “legal standing” di Kemendagri. Realitas ini sulit diterima dari sudut pandang yang berkolaborasi dengan Sinuhun Suryo Partono, atau ada “sesuatu” yang diajukan pihak “mediator” rekonsiliasi yang tidak bisa diterima dari sudut pandang LDA.
Maka, kemudian rekonsiliasi hanya terjadi secara sepihak antara Sinuhun Suryo Partono dengan “eks Sinuhun” Tedjowulan. Sedangkan hampir semua yang tergabung dalam jajaran “Bebadan Kabinet 2004”, tetap berdiri di “seberang”. Rekonsiliasi tidak terjadi dengan pimpinan “Bebadan Kabinet 2004”, karena ada “sesuatu” yang diajukan sebagai syaratnya.
Jajaran “Bebadan Kabinet 2004” pimpinan Gusti Moeng tidak ikut rekonsiliasi, karena memang tidak bisa menerima syarat pembubaran Lembaga Dewan Adat. Perlu dipahami, rekonsiliasi yang terjadi di manapun, tak ada yang tanpa syarat apalagi kepentingan. Sekalipun rekonsiliasi itu di lingkungan keluarga putra-putri Sinuhun PB XII atau keluarga inti kraton.
Persyaratan pembubaran LDA jelas ditolak Gusti Moeng dan semua perwakilan trah darah-dalem Sinuhun PB I-XIII yang ada di dalamnya, karena lembaga inilah yang mendukung jumenengnya Sinuhun Suryo Partono sebagai PB XIII. Syarat bisa diucapkan kolaborasi Sinuhun Suryo Partono atau “mantan Sinuhun Tedjowulan, tetapi pasti datang dari pihak yang “menyeponsori”. (Won Poerwono-bersambung/i1)