“Dihadang Pihak” yang tak Mau Ambil Pusing Soal “Pembubaran Kabinet” Bentukan 2017
IMNEWS.ID – ADA hal penting dan menarik, yang melatarbelakangi kisah munculnya insiden kecil saat gamelan Sekaten ditabuh kali pertama sebagai pertanda dimulainya ritual Sekaten 2024 dan suasana “nginang ria” di depan Bangsal Pradangga Masjid Agung, Senin pagi (9/9). Yaitu penolakan tawaran dukungan dari kepolisian, terutama pasukan Brimob.
Penolakan tawaran dukungan pasukan Brimob itu, menjadi ilustrasi penting karena sangat mungkin ada hubungan kausalitas dengan insiden di depan Bangsal Pradangga. Karena sambil menunjukkan surat “utusan-dalem Pangageng Parentah Kraton” itu, ada yang mengaku diperintah untuk memberi dhawuh agar gamelan Sekaten ditabuh kali pertama, Senin siang (9/9) itu.
Tawaran dukungan personel pasukan Brimob dan unsur lain dari kepolisian itu, dimaksudkan untuk “mengawal” jalannya eksekusi keputusan Mahkamah Agung (MA) No 87/Pdt.G/2019/PN.Skt (Ska-Red), 8 Agustus 2024 lalu. Bersamaan dengan ritual “jenang suran”, siang itu datang tim eksekusi yang dipimpin Dr Asep Dedi Suwasta SH MH selaku Panitera PN Surakarta.
Seperti beberapa kali diberitakan media ini (mulai iMNews.id, 8/8-Red), kedatangan tim eksekusi sekitar 10 orang termasuk juru sita itu, membacakan amar eksekusi dan putusan MA seperti tersebut di atas, di teras Kori Kamandungan. Kemudian, Dr Asep Dedi Suwasta SH MH memberi penjelasan di depan masyarakat adat peserta haul ke-391 Sultan Agung.
“Ya itu, saat eksekusi itu saya dengar ada tawaran untuk diback-up pasukan pengamanan dari Polri, terutama personel Brimob. Itu merupakan permintaan (tuntutan-Red) Gusti Wandan, karena dulu (2017) waktu dievakuasi keluar dari kraton, menggunakan kekuatan pasukan antara lain Brimob. Tetapi, yang terjadi waktu itu tidak demikian”.
“Artinya, tim eksekusi dari PN Surakarta hanya datang bersama juru sita. Tidak disertai pasukan pengamanan antara lain Brimob. Karena ternyata beliau-beliau menghendaki tidak perlu dikawal pasukan pengamanan. Karena eksekusi yang dilakukan hanya membuka pintu (Kori Kamandungan) secara simbolis. Tidak ada pengusiran atau pengosongan paksa,” ujar KPP Sinawung.
Data informasi dari sentana-dalem bernama KPP Haryo Sinawung Waluyoputro itu, menarik dan penting sekali karena banyak mengandung kebenaran faktanya. Tetapi, peristiwa eksekusi yang terjadi di sela-sela ritual haul wafat ke-391 Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma yang digelar di gedhong Sasana Handrawina itu, hingga kini masih menyisakan pertanyaan.
Salah satu pertanyaan itu secara tidak langsung sudah terjawab oleh kabar tentang para tokoh “Bebadan Kabinet 2004” yang menolak tawaran, sebagai wujud sikap berbesar hati menghindari semua hal yang memperuncing keadaan. Artinya, demi kebaikan dan upaya menjaga suasana sejuk hasrat untuk rukun damai, tidak perlu disertai simbol-simbol yang “keras” itu.
Atas pilihan sikap yang akomodatif dan bernuansa kekeluargaan untuk segera menyudahi friksi panjang ini, KPP Haryo Sinawung sangat bisa menerima dan membenarkan. Tetapi ketika dianalisis lebih jauh, sikap mengalah yang selama ini diperlihatkan Bebadan Kabinet 2004 atas perlakuan buruk yang diberikan sejak 2004 dan 2017, ternyata tidak berbalas.
“Ternyata, orang-orang ini tidak paham terhadap peristiwa eksekusi 8 Agustus (2024) itu. Bahkan mungkin saja, mereka itu tidak mau tahu atau sudah tidak menggubris segala proses hukum dan keputusan yang berlaku atau seharusnya berlaku sekarang ini. Ini ‘kan bisa diartikan, mereka sudah tidak tunduk dan tidak patuh aturan hukum yang berlaku”.
“Keputusan MA yang dieksekusi oleh tim dari PN Surakarta itu, adalah keputusan hukum final atas penyalahgunaan SK Kemendagri No 430-2933 Tahun 2017, oleh Sinuhun PB XIII dan pihak-pihak yang digugat para wayah-dalem itu. Dengan adanya peristiwa itu, bisa diartikan bahwa mereka tidak mau mengakui keputusan hukum yang berarti membubarkan Bebadan baru”.
“Bebadan baru adalah bentukan Sinuhun, yang dilakukan dengan menyalahgunakan SK Kemendagri No 430-2933 Tahun 2017 itu. Putusan MA sudah jelas dan tegas, Bebadan Kabinet 2004 dan Lembaga Dewan Adat resmi dan sah. Eksekusi juga menegaskan, Bebadan baru yang dibuat Sinuhun sudah tidak berlaku, termasuk Pengageng Parentah Kraton,” tandas KPP Haryo Sinawung.
Karena seluruh kelembagaan di dalam Bebadan baru yang dibentuk Sinuhun Suryo Partono (PB XIII) sudah dinyatakan “ilegal” oleh putusan MA itu, maka sebuah insiden yang terjadi di saat gamelan Sekaten ditabuh, Senin (9/9) itu bisa dipandang hanya “lelucon tolol”. Karena, SK utusan-dalem yang diperlihatkan figur yang mengaku mantu Sinuhun, tidak punya dasar.
SK utusan-dalem yang diterbitkan Pengageng Parentah Kraton untuk memberi dhawuh menabuh gamelan, sesungguhnya tidak berlaku karena lembaga Pengageng Parentah Kraton sudah tidak berlaku sejak ada eksekusi PN Surakarta, 8 Agustus 2024. Eksekusi itu adalah tindakan hukum atas putusan MA No 87/Pdt.G/2019/PN.Skt (Ska-Red) yang berlaku sejak 29 Agustus 2022.
Dengan demikian bisa dijelaskan bahwa sejak eksekusi 8 Agustus 2024, “Bebadan Kabinet 2004” dan Lembaga Dewan Adat kembali kembali sah berlaku di kraton. Sedangkan “Kabinet” baru bentukan Sinuhun (PB XIII), sejak itu dinyatakan sudah tidak berlaku, termasuk “bebadan” Pengageng Parentah Kraton dengan segala produknya, termasuk SK utusan-dalem itu. (Won Poerwono – bersambung/i1)