Lama “Diistirahatkan”, Karena Sudah Banyak Masjid Bisa Mengumumkan Lelayu Warga Lingkungan
IMNEWS.ID – KISAH perjalanan Mbah Glongsor yang bernama asli KRT Prana Koesoemadjati kini mulai terbuka (iMNews.id, 22/8), bisa mengedukasi masyarakat luas dan menambah pengetahuan umum sejarah dan kepahlawanan yang mengakar atau punya landasannya. Meskipun, masih perlu ada sebuah kajian sejarah yang bisa menambah data lebih banyak dan bervariasi serta akurat.
Kajian sejarah diperlukan, agar kisah “kepahlawanan” Mbah Glongsor itu tak sekadar menjadi cerita atau “folklore” kosong atau merugikan dan pihak lain yang diberi stigma negatif atau antagonis. Namun, bisa menjadi kisah lengkap, runtut, rasional dan patut menjadi tambahan pengetahuan serta layak menjadi bahan ajar positif yang tetap mengakomodasi plus dan minusnya.
Komplotan perampok yang dipimpin “Kramaleya” memang menjadi aktor pemimpin perampok beras yang selalu merugikan rakyat. Oleh sebab itu memang pantas ditempatkan sebagai tokoh antagonis yang selalu bikin sengsara rakyat. Selain itu ada sisi menarik yang bisa memperkaya pengetahuan dan menggugah kesadaran publik, yaitu referensi tentang peran sebuah lembaga “negara”.
Lembaga “negara” saat Mbah Glongsor hidup dan mengabdi serta petualangan komplotan Kramaleya sebagai perampok terkenal di Kudus dan wilayah sekitarnya, adalah “negara monarki” Mataram Islam yang berIbu Kota di Kartasura. Bahkan, Mbah Glongsor adalah abdi-dalem prajurit yang bertugas saat Sinuhun PB I hingga Sinuhun Amangkurat (IV) atau Jawi bertahta.
Kisah kepahlawanan seorang prajurit yang dimunculkan KRA Panembahan Didik “Alap-alap” Gilingwesi Hadinagoro, ketika digali lebih jauh memiliki akurasi datanya lebih dari 60 persen adalah fakta sejarah. Karena, KRT Prana Koesoemadjati yang tercatat meninggal di tahun 1712, prajurit yang bertahta antara Sinuhun PB I dan Amangkurat Jawi, antara 1705-1727.
Sebagai data pendukung yang memperkuat kisah petualangan Kramaleya di satu sisi dan kepahlawanan Mbah Glongsor sebagai penumpas kejahatan perampok beras di sisi lain, adalah seni pertunjukan wayang kulit yang sudah mengangkat kisahnya sebagai kreativitas dalang terkenal Ki Anom Suroto. Namun, hingga kini belum jelas, sumber kisah itu berasal dari mana?.
Kini mungkin tinggal melengkapi dengan penelitian untuk menggali sumber-sumber pelengkapnya, “syukur bage” menambah ragam variasi kisahnya. Yang jelas, landasan kisah perjalanan dan ketokohan Mbah Glongsor dan “komplotan” Kramaleya ini sudah menjadi dasar kuat dan rasional, saat gelar kirab budaya mengangkat nama besarnya yang sudah dicoba beberapa kali itu.
Tokoh yang mencoba mengangkat itu adalah KRA Panembahan Didik “Alap-alap” Gilingwesi Hadingoro. Selain mewakili keluarga besar trah Mbah Glongsor atau KRT Prana Koesoemadjati, sosok Ketua Pakasa Cabang Kudus yang ketika diurutkan ke atas berasal dari Sunan Kudus itu, hingga kini mengaku masih merawat kisah para leluhurnya sebagai warisan sejarah tutur.
“Saya ingat hampir semua yang diceritakan kakek saya (R Kartowidjojo Soerat). Sejak kecil sampai SMP, saya sering diajak kakek sowan ke kraton (Mataram Surakarta-Red). Dalam perjalanan sering diceritakan kisah Mbah Glongsor dan Kramaleya. Panjang sekali, urut dan komplet. Jadi, mendengar cerita itu sangat menarik. Saya suka mendengarkan, walau berulang-ulang diceritakan”.
“Jadi, cerita itu diwariskan turun-temurundari mulut ke mulut. Ternyata, Mbah Glongsor itu adalah leluhur kami sendiri. Dari kakek R Kartowidjojo Soerat itu, kalau ditarik ke atas sampai ke Mbah Glongsor. Demikian pula nenek saya, asalnya sama, yaitu Mbah Glongsor. Sedangkan Mbah Glongsor, kalau ditarik ke atas asalnya dari salah satu istri Sunan Kudus.
“Kalau Mbah Glongsor adalah generasi kelima dari Sunan Kudus dan dari istri berbeda. Kalau saya generasi ke-14, dari kakek R Kartowidjojo Soerat, keturunan Panembahan Makaos yang diturunkan Sunan Kudus dari istri lain. Ibu saya (Nyi MT Tarmini Budayaningtyas), kalau ditarik ke atas Sinuhun Prabu Hanyakrawati. Mungkin di atas generasi ke-14,” ujarnya.
Sebagai ilustrasi, keluarga KRA Panembahan Didik “Alap-alap” Gilingwesi Hadinagoro terutama mulai dari kakek-nenek R Kartowidjojo Soerat ke atas, hasil perkawinannya rata-rata dilakukan melalui perjodohan. Antara garis nenek maupun kakek, sebenarnya masih darah keturunan Mbah Glongsor, dan kalau ditarik lagi ke atas, asalnya dari Sunan Kudus.
“Maka, baik dari nenek maupun kakek saya, semua keturunan laki-laki membawa nama ‘Panembahan Gilingwesi’. Bahkan, masih ada yang sejak lahir dilengkapi nama ‘Alap-alap’. Karena, semua berasal dari Mbah Glongsor yang kali pertama diberi nama ‘Panembahan Alap-alap Gilingwesi’. Karena, bisa menaklukan semua senjata dari besi. Selain itu, banyak yang punya besalen”.
“Tetapi, kalau terompet yang ditinggalkan Mbah Glongsor, ceritanya dirampas dari prajurit Belanda yang sering disebut mengawal aksi Kramaleya. Terompet itu, sebelumnya digunakan untuk memberi isyarat adanya kabar kematian atau dukacita. Maka, oleh Mbah Glongsor dan keturunannya, terompet itu juga digunakan di saat ada kematian,” ujar KRA Panembahan.
Terompet yang riwayatnya pernah menjadi penanda adanya kematian atau kabar dukacita itu, sepeninggal Mbah Glongsor masih sering ditiup jika ada yang meninggal di Kampung Rendeng Wetan, Desa Rendeng. Tetapi karena banyak masjid bisa berfungsi mengumumkan berita duka, terompet Mbah Glongsor “diistirahatkan” di pos jaga makam sampai “ketelisut” medio Juni lalu. (Won Poerwono-bersambung/i1)