Upacara Adat “Jenang Suran 17 Sura” Menjadi Fenomena dan Momentumnya
IMNEWS.ID – SELASA Legi (23/7) di tahun 2024 yang tepat pada 17 Sura Tahun Je 1958, menjadi fenomena menarik dalam perjalanan sejarah Kraton Mataram Surakarta. Pada peringatan hadeging nagari Mataram Surakarta Hadiningrat itu, menjadi momentum penting tanda-tanda kembalinya antusiasme masyarakat luas “ngalab berkah” setiap ritual yang digelar kraton.
Meskipun, kesempatan “ngalab berkah” pada momentum ritual “Jenang Suran” kali ini, masih terbatas melalui masyarakat adat. Yang yang terwadahi dalam organisasi Pakasa cabang maupun Putri Narpa Wandawa cabang, yang pengurusnya sudah ditetapkan dan banyak tersebar di sejumlah daerah terutama di Provinsi Jateng dan Jatim.
Momentum peringatan Hari Jadi Kraton Mataram Surakarta ke-288 (tahun Jawa) atau 279 tahun (Masehi) pada 17 Sura tahun Je 1958 kali ini, menjadi berbeda dari ritual yang sama pada tahun 2023 lalu, atau yang digelar Bebadan Kabinet 2004 sebelum tahun 2017 sejak 2004. Karena, dalam beberapa periode tahun itu, ada perbedaan yang mencolok akibat situasi dan kondisi.
Termasuk, situasi dan kondisi yang ekstrem akibat suasana politik imbas dari dinamika politik pemerintahan secara nasional, regional dan lokal. Bahkan, juga terpengaruh oleh suasana yang ekstrem akibat dinamika politik di internal keluarga besar putra/putri-dalem Sinuhun PB XII yang puncaknya berupa “insiden mirip operasi militer”, 15 April 2017.
Periode 2004-2017 sangatlah beda suasananya dengan 2017-2022 ketika jajaran “Bebadan Kabinet 2004” harus melakukan kerja adat di luar kraton. Begitu pula periode 2022 hingga 20204 ini, karena baru ada ritual 17 Sura Tahun Jimawal 1957 di tahun 2023 yang dihiasi “insiden”, sehingga berbeda dengan ritual tahun ini yang mulus dan lancar tanpa insiden.
Hiasan insiden-insiden itulah yang memberi titik beda antara beberapa periode pelaksanaan ritual tersebut. Bahkan, ritual Jenang Suran 17 Sura tahun 2024 ini yang merasakan suasana terbebas dari “suasana tertekan”. Meskipun muncul suasana baru yang ditandai dengan berkurangnya satu elemen, yang bisa dipersepsikan dengan terbentuknya “Trio Wek-wek”.
Dengan berlangsungnya ritual Jenang Suran 17 Sura yang mulus tanpa insiden di tahun Je 1958 atau tahun 2024 ini, menjadi momentum yang baik terjadinya proses regenerasi di jajaran para kawula. Jajaran daya dukung yang terseleksi melalui organisasi Pakasa dan Putri Narpa Wandawa cabang di berbagai daerah ini, menjadi fenomena menarik lahirnya legitimasi.
Kekuatan legitimasi yang hingga tahun 1980-an masih didominasi keluarga besar masyarakat adat dari lingkungenan trah darah-dalem itu, lambat-laun berubah dan bergeser. Pada ritual 17 Sura Selasa (23/7) malam itu, membuktikan bahwa di tahun 2024 ini sudah sampai pada titik nyata, yaitu berganti ke tangan masyarakat adat Pakasa dan Putri Narpa Wandawa.
Walau diduga memilih bergabung “ke seberang” untuk mengikuti ritual yang sama, tetapi fenomena munculnya “Trio Wek-wek” pada momentum ritual Jenang Suran 17 Sura tahun ini juga bisa menjadi pertanda lain. Yaitu bentuk pengingkaran di antara kalangan generasi muda “wayah-dalem” terhadap kesempatan membekali diri dengan pengalaman dan relasi lebih bernilai.
Sikap itu juga bisa dipandang, bahwa generasi wayah-dalem ini berpotensi akan tergantikan oleh masyarakat adat Pakasa dan Putri Narpa Wandawa, yang lebih memiliki kapasitas kemampuan melakukan kerja-kerja adat. Apalagi, mereka adalah loyalis yang tulus dan ikhlas, mau bekerja keras dan berdedikasi tinggi pada pelestarian pelestarian budaya.
Melihat antusias lebih 70 persen warga Pakasa cabang termasuk di dalamnya Putri Narpa Wandawa cabang yang mendominasi pisowanan ritual “Jenang Suran 17 Sura”, selasa malam (23/7), secara tidak langsung juga menjawab kegelisahan bersama berbagai pihak yang merasa prihatin atas nasib dan kondisi kraton dari sudut daya dukung legitimatif secara terbuka.
Tak hanya iMNews.id yang mengamati proses penurunan daya dukung secara terbuka karena hilangnya generasi masyarakat yang “ngalab berkah” pada setiap ritual digelar di kraton. Peneliti sejarah Mataram yang banyak mengkaji secara khusus tentang Mataram Surakarta, Dr Purwadi, juga menemukan gejala-gejala itu dalam kurun waktu panjang, setidaknya 3 dekade terakhir.
Dengan mencermati antusiasme masyarakat adat Pakasa cabang termasuk di dalamnya Putri Narpa Wandawa, bisa menjadi indikasi untuk menjawab kegelisahan di atas. Dan itu berarti, dalam posisi lebih tertutup berlangsungnya upacara adat di kraton seperti Jenang Suran 17 Sura itu, kesempatan “ngalab berkah” tetap terbuka lebar.
Semakin lebar kesempatan “ngalab berka” terbuka di beberapa jenis ritual yang lebih tertutup seperti jenang Suran 17 Sura, tingalan jumenengan dan sebagainya, akan sangat mungkin kembali membangkitkan semangat “ngalab berkah” pada ritual yang terbuka macam Sekaten Garebeg Mulud, Garebeg Syawal, Garebeg Besar, kirab pusaka 1 Sura dan Sesaji Mahesa lawung.
Bila analisis terhadap kecenderungan yang berbasis realitas pergantian generasi mendekati kebenaran, sangat mungkin akan terjadi gelombang masyarakat “ngalab berkah” yang baru. Meskipun, gelombang masyarakat “ngalab berkah” yang secara terbuka atau di luar organisasi Pakasa dan Putri Narpa Wandawa itu, juga membawa karakter baru sebagai ciri milenialnya.
Kini, Pakasa yang sudah terbentuk dan ditetapkan kepengurusannya ada lebih dari 30 cabang di berbagai kabupaten/kota terutama di Jateng dan Jatim. Walau banyak kepengurusan yang “dibekukan” karena berbagai alasan, tetapi warganya tetap antusias untuk hadir “ngalab berkah” dengan bergabung ke Pakasa cabang lain, agar bisa diterima di kraton.
Seandainya rata-rata tiap Pakasa cabang diberi keleluasaan untuk mengirim 30 orang warga utusannya, jumlah mereka sudah 900 orang. Jumlah itu belum termasuk dari daerah yang belum terbentuk cabangnya, tetapi menginduk ke Pakasa cabang terdekat. Padahal, banyak Pakasa cabang yang memiliki warga di atas 100 orang, bahkan di atas seribu seperti Ponorogo.
Pakasa Cabang “Gebang Tinatar” Ponorogo yang diketuai KRRA MN Gendut Wreksodiningrat, warganya besar dan paling solid. Pakasa Cabang Klaten, seimbang dengan Ponorogo, tetapi tidak solid dan “tidak terarah”. Pakasa Cabang Jepara, Ngawi dan Cabang Kudus, pelan-pelan akan menyusul besar dan memiliki militansi yang tinggi untuk “ngalab berkah”. (Won Poerwono-bersambung/i1)