Stigma Negatif Mulai Muncul di “Bumi Pati”, Sebagai Paradigma Baru di Alam Republik  (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:June 26, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Stigma Negatif Mulai Muncul di “Bumi Pati”, Sebagai Paradigma Baru di Alam Republik  (seri 1 – bersambung)
INGIN MERASAKAN : Peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi, ingin merasakan sensasi mendaki bukit Morotoko, lokasi makam Pangeran Benawa I yang menjadi pusat ritual haul tokoh leluhur Dinasti Mataram itu, Selasa (18/6). Pendakian berhenti dan berganti ojek, karena separo rute jalan berbatu licin. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dikenal Sebagai “Lumbung” Tokoh Leluhur Dinasti Mataram, Jadi Aset tak Ternilai

IMNEWS.ID – PERISTIWA upacara adat “khol” atau haul untuk memperingati wafat sejumlah tokoh leluhur Dinasti Mataram khususnya yang digelar di wilayah Kabupaten Pati, sudah bukan menjadi hal aneh bagi masyarakat dan berbagai elemen lain di wilayah itu. Terlebih, ketika mendapat sentuhan nilai-nilai estetika kulturalnya oleh Kraton Mataram Surakarta.

Perjalanan dalam satu dekade terakhir, hampir separo dari 13 titik lokasi makam tokoh leluhur Dinasti Mataram di wilayah Kabupaten Pati, telah mengkreasi sebuah event ritual haul yang mendapat sentuhan estetika kultural kraton. Gusti Moeng atau tokoh lain yang diutus memimpin, hadir bersama rombongan prajurit dalam sebuah ekspresi kirab budaya di sana.

Kehadiran Lembaga Dewan Adat (LDA) bersama rombongan berbagai elemen sebagai representasi kraton di event yang digelar di sejumlah makam itu, tak lain hanyalah ingin menyambung kembali tali silaturahmi yang telah lama putus. Peristiwa 17 Agustus 1945, terkesan justru membuat jarak yang begitu jauh antara keberadaan para tokoh leluhur di Pati dengan kraton.

BIASA DILAKUKAN : Bagi warga Desa Watesaji di kaki bukit Morotoko, berjalan mendaki untuk mengikuti ritual haul Pangeran Benawa I seperti yang digelar bersama Pakasa Cabang Pati, Selasa (18/6) lalu, adalah hal yang biasa dilakukan, bahkan di luar kegiatan yang dihadiri Gusti Moeng dan rombongan dari kraton itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Hampir seumur NKRI, keberadaan para tokoh leluhur Dinasti Mataram yang tinggal makamnya dan tersebar di wilayah Kabupaten Pati saja, terkesan seakan-akan tidak ada hubungannya dengan Kraton Mataram Surakarta. Ada sebuah paradigma yang dibangun sejak awal di alam republik, bahwa masyarakat dan para tokoh leluhur dinasti di wilayah itu adalah orang lain.

Paradigma supremasi “kebudayaan baru” yang dibangun para tokoh republik, jelas ditujukan untuk memutus mata rantai hubungan kultural dan memisahkan hubungan silaturahmi historikal, antara masyarakat Pati dan para tokoh leluhur dinasti di wilayah itu. Kini, paradigma itu muncul dalam bentuk baru, yang dibangun melalui sebuah peristiwa fenomenal.

Dihembuskannya stigma negatif “Sukolilo Sarang Maling” melalui platform media sosial, belum lama ini, adalah cara “provokatif” yang bisa “menghasut” dan menciptakan opini publik buruk bagi masyarakat Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Provokasi berbau “fitnah” itu, dampak psikologisnya bisa merusak citra positif yang selama ini melekat Kabupaten Pati.

SPANDUK BERTEBARAN : Bila mendekati bulan Besar tahun Jawa, spanduk publikasi event ritual haul Pangeran Benawa I bertebaran di sepanjang rute pendakian bukit Morotoko, tempat makam dan pusat upacara adat haul, seperti yang dihadiri Gusti Moeng dan rombongan dari kraton, Selasa (18/6) lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pernyataan provokatif sepihak terhadap peristiwa yang belum tentu ada kebenarannya ketika diuji dalam proses hukum, seakan meruntuhkan kepercayaan publik yang selama ini selalu memandang positif eksistensi Kabupaten Pati. Yaitu wilayah  yang dikenal sebagai “lumbung” tokoh leluhur Dinasti Mataram, yang banyak berjasa membentuk karakter bangsa.

Wilayah Kabupaten Pati memang mendominasi dalam hal itu, karena ada 13 titik lokasi makam tokoh dari sekitar 20-an, yang sudah ditetapkan sebagai makam yang memenuhi syarat sebagai destinasi wisata spiritual religi. Karena Pati adalah kabupaten di kawasan Gunung Muria yang memiliki “aset” sejumlah tokoh leluhur Dinasti Mataram yang tak ternilai jasanya.

Para tokoh itu, selain memiliki jasa besar dalam pembentukan karakter bangsa memalui jalur spiritual religi, juga menurunkan sejumlah nama besar Raja-raja Mataram dan dinasti terbesar yang banyak berjasa untuk bangsa dan negara ini. Diakui atau tidak, Dinasti Mataram adalah dinasti terbesar di Nusantara yang melahirkan sebuah peradaban cirikhas NKRI.

DIANGKUT OJEK : Sensasi meghadiri ritual haul tokoh Dinasti Mataram di wilayah Kabupaten Pati atau daerah lainnya, mungkin tak bisa mengalahkan sensasi mengikuti ritual Pangeran Benawa I di puncak bukit Morotoko, Selasa (18/6) lalu. Untuk bisa sampai di lokasi makam, harus diangkut ojek “trail”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Oleh sebab itu, saya setuju kalau ada yang menyebut stigma negatif yang diberikan kepada masyarakat Kecamatan Sukolilo itu, bisa dikategorikan pembunuhan karakter. Ada yang sengaja ingin membalik opini dan kepercayaan publik begitu saja, dengan stigma negatif sebagai ‘kampung sarang maling’ itu. Sebab, selama ini wilayah Pati dianggap harum namanya”.

“Dengan stigma negatif yang disebar itu, diinginkan bisa membalik kepercayaan publik yang selama ini percaya dan yakin terhadap kebesaran wilayah Pati, termasuk Sukolilo. Banyak tokoh besar Mataram mulai dari Panembahan Senapati dan anak-turunnya, lahir dan menjadi keluarga besar dari tokoh-tokoh di Pati itu,” ujar Dr Purwadi, menjawab pertanyaan iMNews.id.

Selain wilayah Pati, wilayah kabupaten di dekatnya yang berada di satu kawasan dengan Gunung Muria, adalah Kabupaten Jepara, Kabupaten Kudus, Kabupaten Demak yang terhubung dengan wilayah Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora melalui  pegunungan Kendeng Utara. Bahkan, terhubung pula dengan Kabupaten Sragen dalam jalur perjalanan sejarah tokoh-tokohnya.

SAAT TURUN : Tak hanya saat mendaki mengikuti ritual hauk Pangeran benawa I di puncak bukit Morotoko, untuk kembali ke bawah menuju tempat parkir mobil terakhir terdekat seusai mengikuti ritual, Gusti Moeng dan rombongan dari kraton harus berjalan kaki, seperti yang dilakukan Selasa (18/6). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Peristiwa ritual “khol” atau haul Pangeran Benawa I yang digelar pengurus makam dengan pengurus Pakasa Cabang Pati, Selasa (18/6), bisa disebut menjadi “pemicu” bangkitnya kesadaran publik masyarakat Pati. Kesadaran untuk “melawan” stigma negatif yang dihembuskan pihak-pihak tertentu, yang ditujukan untuk menciptakan opini publik negatif bagi Pati.

Ritual di puncak bukit Morotoko yang dikelilingi hutan jati di Desa Watesaji, Kecamatan Pucakwangi tak hanya melahirkan kesadaran publik untuk “melawan” upaya “pembunuhan karakter” terhadap masyarakat Sukolilo. Tetapi di situ Gusti Moeng mendapat ruang refleksi, untuk mengedukasi publik tentang peran tokoh wanita yang lahir dari Pangeran Benawa I.

Tokoh RAy Banowati yang tak lain adalah putri Pangeran Benawa I, diperistri Sinuhun Prabu Hanyakrawati (Raja ke-2 Kraton Mataram), dan melahirkan seorang putra yang kelak menjadi Raja ke-3 Kraton Mataram (Islam) bergelar Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Peran “sang ibu” luar biasa, ketika Sultan Agung membangun kraton baru di Kutha Gedhe (kini DIY-Red). (Won Poerwono-bersambung/i1).