Fenomena di Alam Republik, yang Pernah Terjadi di Kadipaten Mangkunegaran
IMNEWS.ID – DALAM tulisan sebelumnya (iMNews.id, 22/6)), fenomena kepemilikan “gelar kekerabatan” di luar keluarga besar trah darah-dalem para Raja yang jumeneng dan trah darah-dalem para leluhur Dinasti Mataram di alam republik, semula tak ada yang mempersoalkan. Tetapi pada perjalanan kemudian, fenomena itu bisa menjadi persoalan serius di alam republik ini.
Salah satu persoalan yang sudah muncul ke permukaan, adalah “gelar kekerabatan” yang dimiliki seseorang yang didapat dari cara-cara yang kurang terhormat, mungkin karena ketidaktahuan atau untuk ambisi tertentu. Gelar yang didapat dari model “perdagangan” ini, semakin tinggi levelnya akan semakin sulit dijamin kebenaran dan keabsahannya secara adat.
Dan sebenarnya ada beberapa cara untuk memudahkan mengetahui kebenaran dan keabsahannya, yaitu menanyakan langsung ke lembaga yang berwenang mencatat dan menerbitkannya, yaitu Lembaga Dewan Adat atau ke kantor Pengageng sasana Wilapa di Kraton Mataram Surakarta. Lembaga ini yang memiliki database catatan semua gelar kekerabatan yang pernah diterbitkan.
Database catatan gelar kekerabatan di kraton, tentu terbagi menjadi dua bagian yaitu catatan gelar kekerabatan berdasar silsilah trah darah-dalem, dan gelar kekerabatan “anon-anon” atau anugerah/pemberian bagi masyarakat adat di luar keluarga besar trah Raja atau leluhur Dinasti Mataram. Semua fenomena yang muncul, bisa diverifikasi dengan database itu.
Verifikasi itu juga akan memudahkan mengetahui “gelar kekerabatan” yang pernah diterbitkan “atas nama” kraton yang tidak punya status legal formal atau dari lembaga yang sah sebagai otoritas Kraton Mataram Surakarta, yaitu LDA yang punya legal formal. Terlebih untuk membedakan antara gelar kekerabatan karena hak secara adat dan yang “anon-anon”.
Seperti disebut Ketua Pakasa Tegal, ada Gelar “RM” yang diberikan kepada seseorang di Babupaten Batang dari pihak yang tak jelas legal formal kelembagaannya. Bila fenomena itu benar, kesalahannya menjadi berlipat-lipat, salah satunya gelar “Raden Mas” adalah hak adat bagi seseorang yang masih “Canggah” (generasi ke-4) trah keturunan keluarga raja dan dinasti.
Kemudian, juga gelar “KP” dan “KPH” yang hanya bisa diperoleh melalui persyaratan-persyaratan khusus. Gelar “Kangjeng Pangeran” (KP) bisa didapat sentana-garap melalui tahapan “pasuwitan” (pengabdian) panjang sebagai pegawai di kraton. Sedangkan gelar “Kangjeng Pangeran Harya” (KPH), persyaratan bila bukan “wayah-dalem” pasti “mantu-dalem”.
Gelar kekerabatan “RM” yang beredar dalam “aktivitas perdagangan”, juga bisa diverifikasi dan mengidentifikasi dokumen asal-usul secara adat dari dokumen silsilah kakek-nenek atau kedua orang-tuanya. Karena, mekanisme prosedur pengusulan untuk mendapatkan gelar itu, pasti disertai dengan menunjukkan dokumen silsilah kakek-nenek dan orangtuanya.
Dengan menggunakan metode itu pula, bisa menjadi tahap awal untuk menyeleksi atau mencari kebenaran tentang munculnya gelar “Gusti Kangjeng Ratu” atau “GKR”. Karena, untuk mendapatkan gelar seperti yang dimiliki Gusti Moeng dan sejumlah saudara perempuannya, untuk figur dari luar dinasti atau minimal “putri Raja” sangatlah sulit didapat bahkan mustahil.
Terlebih, kalau ada yang “mengklaim” atau mengangkat dirinya dalam status tertentu misalnya istri raja. Selain punya hak secara adat atau “nazab”, masih ada persyaratan mekanisme prosedur adat yang harus dilalui. Salah satunya, pengangkatan sebagai “GKR”, dilakukan dalam sebuah upacara perkawinan adat raja, yang disaksikan segenap elemen penting di kraton.
Jadi, selain dua jenis gelar kekerabatan yang muncul sebagai fenomena akibat perubahan zaman peradaban, jalur mekanisme prosedur untuk mendapatkannya perlu juga dicermati. Sebab, perubahan zaman peradaban yang sudah berjalan, telah melahirkan jalur/jenis masyarakat adat yang basis legitimasinya didominasi dari luar keluarga besar trah darah-dalem.
Tetapi, fenomena “gelar kekerabatan” yang didapat dengan mekanisme prosedur dan legalitas pihak pemberi yang “tidak tepat” sekarang ini, mungkin saja ada kaitan “pembenarannya” dengan peristiwa yang terjadi jauh di masa silam. Peristiwa yang “salah” itu justru terjadi di Kadipaten Mangkunegaran, yang disebut KPP Nanang Soesilo sebagai tatanan yang berubah.
Trah darah-dalem Sinuhun PB V yang juga punya garis keturunan dari KGPAA Mangkunagoro (MN) II yang bernama lengkap KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro itu menuturkan kepada iMNews.id, bahwa sejak Kadipaten Mangkunegaran sejak KGPAA MN VII, mulai terjadi “perubahan tatanan” (paugeran adat-Red) dalam soal pemberian gelar.
“Seharusnya putrinya tidak menggunakan gelar ‘Gusti’ (GRA), tetapi ‘Bandara’ (BRA). Karena ayahnya adalah Adipati (KGPAA) pemimpin Kadipaten Mangkunegaran, bukan Raja (Sinuhun) pemimpin kraton. Ini seolah-olah sama dengan ‘Ratu’ (Raja). Padahal, istri MN VII dari putri Sultan HB VII saja gelarnya hanya ‘BRAy’,” tunjuk KPP Nanang menjawab pertanyaan.
Kesalahan di masa lalu yang belum tentu berkait dengan fenomena masa kini, memang bisa disebut serumpun. Tetapi, beberapa fenomena itu adalah keniscayaan yang menjadi tantangan kraton kini, yang mungkin akan muncul lagi bentuk baru atau meningkat di masa mendatang. Yang jelas, Kraton Mataram Surakarta jangan sampai “kalah” oleh tantangan seperti itu. (Won Poerwono-habis/i1).