Fenomena “EO” Tawarkan Gelar di Kantor-kantor Pemerintahan, Ekses Negatif “Nut jaman Kelakone”
IMNEWS.ID – PADA rapat koordinasi (rakor) Pakasa cabang dengan pengurus Pakasa Punjer dan Lembaga Dewan Adat (LDA) di Kraton Mataram Surakarta, belum lama ini (iMNews.id, 2/6), perwakilan pengurus Pakasa Tulungagung (Jatim) melaporkan bahwa pihaknya dimintai konfirmasi kalangan Pemkab mengenai tawaran gelar kekerabatan yang “dipasarkan” sebuah “EO”.
Event organizer (EO) yang “memasarkan” jasa mengurus gelar kekerabatan yang diklaim dari Kraton Mataram Surakarta itu, ditawarkan dengan tarif jutaan hingga belasan juta rupiah untuk gelar yang bervariasi dari pangkat “Bupati Anom” (Raden Tumenggung) hingga “sentana” (Kangjeng Pangeran), sampai pada peristiwa penyerahannya dalam sebuah upacara wisuda.
Menurut utusan pengurus Pakasa Tulungagung itu, fenomena tersebut juga didengar dari kalangan Pemkab tetangga daerah di Jatim, yang kurang-lebih sama isi paket promosinya. Fenomena serupa juga disinggung Gusti Moeng ketika memberi sambutan di forum itu. Intinya, belakangan ada “EO” yang gentayangan di kantor-kantor pemerintah menawarkan gelar dari kraton.
Tak hanya di forum itu Pengageng sasana Wilapa/Pangarsa LDA yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu menyinggung bahkan membahas soal “gelar kekerabatan” yang “dijajakan” mirip “pisang goreng” di kantor-kantor pemerintah. Di berbagai kesempatan sejak sebelum 2017, fenomena “EO” jual jasa “gelar kekerabatan” sudah sering disebut dan dibahas.
Sebagai ilustrasi, jumenengnya Sinuhun Suryo Partono karena didukung penuh Lembaga Dewan Adat sebagai wadah seluruh perwakilan trah darah-dalem Sinuhun PB I-XIII yang juga memperkuat “Bebadan Kabinet 2004”. Upaya-upaya itu bertujuan memperkuat posisi Sinuhun yang sejak awal “dipahami bersama”, tidak memiliki kelengkapan kapasitas seperti ayahandanya.
Tetapi dalam perjalanan setelah 2004, kelembagaan Sinuhun justru semakin lemah karena gangguan kesehatan yang diderita, sehingga yang bersangkutan dinyatakan PN Sukoharjo menderita “cacat permanen”. Kelemahan posisi kelembagaan Sinuhun ini, justru dimanfaatkan beberapa oknum di sekitarnya berkolaborasi dengan pihak eksternal, menciptakan friksi di internal.
Friksi yang mencuat beruntun mulai tahun 2010 setelah peristiwa “ontran-ontran” 2004, membuka ruang bagi pihak eksternal untuk ikut campur tangan perselisihan dalam keluarga putra/putri-dalem Sinuhun PB XII. Melainkan secara sepihak menuntun kelembagaan Sinuhun mencari “solusi” di luar kraton, salah satu solusinya adalah “obral gelar kekerabatan”.
Promo yang gencar dan pemasaran yang agresif dilakukan sebuah “EO” yang melibatkan seorang pangeran “putra-dalem” sebagai penanggungjawabnya. Promo dan pemasaran “gelar kekerabatan” itu bahkan ditawarkan sampai ke luar negeri, seperti Malaysia, mulai dari pangkat “KRT” hingga “KP” (Kangjeng Pangeran) yang disertai harga/tarif masing-masing.
Upaya yang salah arah di luar kendali “Bebadan Kabinet 2004” dan terkesan membabi-buta itu, jelas semakin merendahkan harkat dan martabat serta berpotensi merongrong kewibawaan Kraton Mataram Surakarta. Upaya yang terkesan lebih banyak karena alasan kepentingan materi itu, sempat menghilang beritanya tetapi muncul kembali dan lebih gencar setelah 2017.
Upaya dengan cara-cara yang mempertaruhkan harga diri dan nama besar Kraton Mataram Surakarta itu, tidak mungkin mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dialami para penerima atau “konsumen gelar kekerabatan” itu. Karena hampir semuanya berasal dari luar masyarakat adat kraton. Apalagi bagi “rombongan produsen” dan yang “memasarkannya”.
Mencermati cara-cara yang ditempuh dan posisi “rombongan” yang mungkin jauh berada di belakang persoalan serius yang sedang dihadapi kraton di abad milenium ini, model “obral gelar kekerabatan” yang terkesan “ugal-ugalan” itu jelas bukan solusi bijaksana dan bermartabat yang dibutuhkan kraton. Karena, setiap solusi butuh syarat legal standing yang jelas.
Obral gelar kekerabatan secara ugal-ugalan seperti yang terungkap di Kabupaten Tulungagung (Jatim) dan juga Kabupaten Batang (Jateng), jelas bukan solusi bagi Kraton Mataram Surakarta, tetapi ekses negatif dari “Nut jaman kelakone”. Karena, “rombongan pelakunya” sama sekali tidak memahami fenomena yang sedang dihadapi kraton di abad Milenium ini.
Kasus-kasus “promo dan pemasaran gelar kekerabatan” melalui “EO” yang dianggap sebagai jalan pintas termudah untuk mencukupi kebutuhan, mencari keuntungan lebih dan untuk “membiayai gelar pangeran” yang disandang oknum itu, tidak hanya terjadi di dua tempat itu. Karena, oknum “mantan Sinuhun” juga masih terdengar “beroperasi” di sejumlah daerah.
Upaya yang bisa disebut solusi terlebih dalam derajat yang bijaksana dan bermartabat, adalah solusi yang sedang dijalankan “Bebadan kabinet 2004” bersama-sama dengan LDA dan semua elemennya, termasuk Pakasa cabang dan Putri Narpa Wandawa. Karena, solusi itu berdasar pada kondisi riil dan persoalan kraton yang dengan benar-benar sudah dipahaminya.
Selain pemetaan kondisi dan persoalan yang tepat, LDA juga melengkapi diri dengan segala kebutuhan persyaratan dalam sistem hukum secara nasional. LDA telah memiliki kelengkapan posisi legal sebagai payung hukum bagi kraton dan segala aktivitasnya, termasuk pemberian “gelar kekerabatan” dengan selektivitas yang dilakukan secara rasional. (Won Poerwono-bersambung/i1)