Benarkah Kabupaten Nganjuk Punya Tanda-tanda Kelahiran dari Zaman Empu Sendok Abad 10? (Seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:June 8, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Benarkah Kabupaten Nganjuk Punya Tanda-tanda Kelahiran dari Zaman Empu Sendok Abad 10? (Seri 1 – bersambung)
MENIKMATI PERTUNJUKAN : Ketika barisan prajurit Kraton Mataram Surakarta tiba di hadapannya, ekspresi masyarakat yang berada di dalam pagar pembatas sepanjang rute kirab memang bervariasi, Kamis sore (6/6) itu. Ada yang "menikmati" keanehan bunyi suara seruling dan terompet Korsik Drumband, ada yang berusaha mengidentifikasinya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ritual “Boyong Nayakapraja” Adalah Event Terpisah dari Hari Jadi Kabupaten

IMNEWS.ID – KAMIS Wage (6/6) lalu, menjadi hari bersejarah bagi Kraton Mataram Surakarta, karena Lembaga Dewan Adat (LDA) dan pengurus Pakasa Punjer menugaskan sebuah rombongan utusan-dalem untuk memenuhi undangan sebuah panitia, ikut memeriahkan event ritual “Boyong Nayakapraja” di Kabupaten Nganjuk (Jatim).

Catatan perjalanan sejarah setelah periode 200 tahun “nagari” Mataram Surakarta (1745-1945) itu, terwujud dalam barisan pendukung event kirab budaya yang merefleksi peristiwa pindahnya Ibu Kota Kabupaten dari Berbek ke Nganjuk pada 6 Juni tahun 1880. Rombongan utusan kraton itu menjadi sekitar 80-an orang, karena diperkuat dari utusan Pakasa Cabang Ponorogo (Jatim).

Ada 20-an orang berseragam kostum “Panaragan” yang dipimpin KRAT Sunarso Suro Agul-agul (Wakil Ketua cabang), selaku utusan Pakasa Cabang Ponorogo yang diketuai KRRA MN Gendut Wreksodiningrat itu, bergabung dalam barisan “kontingen” Kraton Mataram Surakarta. Solidaritas mereka bahkan ditunjukkan dengan membantu kontingen, agar laju barisan berjalan lancar mengalir.

SOLIDARITAS SESAMA : Barisan Pakasa Cabang Ponorogo yang menjadi satu dalam kontingen utusan Kraton Mataram Surakarta, adalah bentuk simpati dan solidaritas sesama utusan kraton dan sesama warga tetangga kabupaten dalam Provinsi Jatim, ketika ikut menyemarakkan kirab “boyong natapraja”, Kamis sore (6/6) itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tak hanya KRAT Sunarso Suro Agul-agul yang ikut sibuk mengawal dan memandu barisan, KRT Andrik Dwi Kuswoyo-pun ikut membantu lancarnya laju kontingen. Dia bersama KRT Darpo Arwantodipuro ikut memastikan, agar petugas pembawa vandel simbol “Sri Radya laksana” dan simbol-simbol bregada pajurit serta atribut perlengkapan kirab utusan Kraton Mataram Surakarta tidak kelelahan.

Barisan kirab budaya dalam rangka “Boyong Nayakapraja” pindah dari Ibu Kota lama Berbek ke Ibu kota baru Kabupaten Nganjuk ini, cukup panjang. Ada sekitar seribu orang dari berbagai elemen masyarakat menjadi kontingen peserta kirab, yang dilibatkan dalam event peringatan “pindahan Ibu Kota Kabupaten” kali kedua, setelah yang pertama di tahun 2023 lalu.

Dari data-data yang disiapkan panitia penyelenggara, event ini berpedoman dari peristiwa pindahnya Ibu Kota Kabupaten Berbek ke Ibu Kota Kabupaten Nganjuk pada tanggal 6 Juni 1880. Data itu tertulis pada salinan dokumen surat laporan Residen Kediri, Meyer kepada Gubernur Jenderal (Belanda) bernomor 3024a/4205 tanggal 8 Juni 1880.

PRAWIRA ANOM : Vandel simbol Bregada Prajurit Prawira Anom yang dibawa seorang warga Pakasa Cabang Ponorogo berbusana “Panaragan” itu, sedang mengikuti penghormatan saat rombongan pembawa pusaka dari Berbek lewat, untuk disanggarkan di Ibu Kota Kabupaten Nganjuk dalam kirab, Kamis sore (6/6) itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Surat keputusan (SK) pemerintah Hindia belanda No 20 tanggal 8 Juni 1875 tentang pemindahan ibu kota kabupaten itu, diterima
Bupati (Berbek) R Sumawilaya. Peristiwa “boyongan” atau pindahannya itu, menjadi populer saat Kabupaten Nganjuk dipimpin  Sasrakusuma III sebagai Bupati (1878-1901). Dia adalah adalah putra Bupati Berbek, R Sumawilaya.

Panitia bahkan mendapat catatan dan dokumen foto-foto peristiwa peringatan 50 tahun “boyong” Ibu Kota yang dibuat (Belanda) di tahun 1930. Peristiwa boyongan itu dilukiskan dengan mengarak pendapa Ibu Kota lama Berbek, beserta sejumlah peralatan kantor dan bedug. Prosesi peringatan 50 tahun pindahnya Ibu Kota dilakukan dengan jalan kaki, didukung berbagai pihak.

Panitia menyebut, sejak tahun 1930 itu baru di tahun 2023 lalu event ritual “boyong natapraja” baru dilakukan lagi untuk kali pertama di era republik. Dan untuk kesempatan kali kedua tahun 2024 ini, Kraton Mataram Surakarta memenuhi undangan panitia dengan mengutus rombongan prajurit dan warga Pakasa Cabang Nganjuk, bahkan didukung Pakasa Cabang Ponorogo.

DUA PUSAKA : Dua pusaka yang menyerupai tombak terbungkus kain putih, dibawa rombongan petugas dalam kirab “boyong natapraja” yang digelar Pemkab Nganjuk, Kamis siang (6/6). Pusaka yang “dibedhol” dari Berbek itu, selanjutnya akan disanggarkan di Pemkab Nganjuk, Ibu Kota Kabupaten Nganjuk. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Apapun yang dijadikan landasan dan pedomannnya, ekspresi peringatan “boyong natapraja” itu bisa menjadi peristiwa menarik untuk ditonton sebagai hiburan khususnya bagi masyarakat Kabupaten Nganjuk. Bagi Kraton Mataram Surakarta, mengirim utusan yang terdiri beberapa bregada prajurit dan warga Pakasa Cabang Nganjuk “bonus” Pakasa Ponorogo, adalah partisipasi positif.

Persoalan praktik di lapangan utusan dari Kraton Mataram Surakarta itu “dianggap sama” dengan kontingen peserta lain dan diberi nama “Bregada Ungel-ungelan”, itu persoalan persepsi pihak penyelenggara. Yang jelas, kraton berusaha memenuhi undangan dan tampil sebaik mungkin, bila perlu bisa dipahami esensi kehadirannnya dalam rangkaian perspektik sejarah yang benar.

Karena bagaimanapun, ketika menyebut angka tahun peringatan ke-50 peristiwa “boyong natapraja” pada tahun 1930, itu adalah zaman salah satu kraton di Jawa yaitu “nagari” Mataram Surakarta sedang dipimpin Sinuhun Paku Buwana X (1893-1939). Artinya, pada saat itu ada sebuah pemerintahan administratif yang mengelola sebuah “negara”, yaitu Mataram Surakarta (1745-1945).

MEMBUAT DOKUMENTASI : Sebagai penampilan pertama Pakasa Cabang Nganjuk bersama beberapa elemen utusan lain dari Kraton Mataram Surakarta di ajang “kirab natapraja” Kabupaten Nganjuk yang digelar Kamis sore (6/6) itu, KRAT Sukoco bersama rombongan Pakasa cabang Ponorogo dan Dr Purwadi membuat dokumentasi foto sebelum berangkat kirab. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam kerangka sejarah Mataram Surakarta itu, dulu di semua wilayah yang menjadi kedaulatan “negara” Mataram, ada pejabat-pejabat yang ditematkan sebagai tangan panjang pemerintah administratif untuk mengelola wilayahnya sebagai bagian dari negara “monarki”. Pejabat itu disebut “Bupati Manca” yang hampir semuanya masih ada ikatan darah dari pejabat sebelumnya.

Bahkan, ikatan darah itu terhubung mengerucut pada sejumlah tokoh yang menjadi leluhur Dinasti Mataram. Karena, tokoh yang dipercaya untuk menduduki jabatan penting seperti “Bupati”, harus figur yang sudah dikenal bahkan dipahami latar-belakang sosial dan karakternya. Oleh sebab itu, kebanyakan para pejabat itu berasal dari lingkungan keluarga terdekat.

Analisis lebih lanjut atas peristiwa dan data-data yang disajikan penyelenggara itu juga bisa menunjuk pada siapa tokoh pemimpin “negara” Mataram saat Sasrakusuma menjabat Bupati Sasrakusuma III (1878-1901) di Kabupaten Nganjuk. Karena, ada sumber data yang menunjuk bahwa antara tahun 1861-1893 itu, “negara” Mataram Surakarta dipimpin Sinuhun Paku Buwana IX . (Won Poerwono-bersambung/i1).