Kali Kedua di Tahun 2024, Sejak Berhenti Dua Kali Dalam Waktu Lama Sebelum dan Sesudah 2004
SURAKARTA, iMNews.id – Salah satu tanda bahwa Kraton Mataram Surakarta sudah mencapai supremasi estetika tertinggi, adalah selalu hadir keindahan dalam setiap aktivitasnya sebagai pusat dan sumbernya budaya Jawa. Keindahan itu dilukiskan dalam konser musik karawitan yang menjadi cirikhasnya, misalnya untuk memperingati “weton” hari kelahiran seorang Raja.
Dan konser karawitan yang pernah digelar hingga kini masih diteruskan aktivitas untuk memperingati weton kelahiran itu, adalah konser karawitan (malam) “weton” Selasa Legi. Raja yang diperingati weton kelahirannya itu, tidak lain adalah Sinuhun PB XII, Raja yang “jumeneng nata” (bertahta) pada tahun 1945-2004, yang punya weton kelahiran “Selasa Legi”.
Dalam wawancara untuk siaran “live streaming”, Senin (13/5) tadi malam, Gusti Moeng menyatakan bahwa di kraton punya tradisi menggelar kesenian yaitu konser karawitan, untuk memperingati weton hari kelahiran seorang Raja yang jumeneng. Tetapi, konser karawitan tiap malam Selasa Legi itu bukan untuk (raja) yang sekarang, melainkan untuk Sinuhun PB XII.
“Jadi, berbagai aktivitas di kraton, terutama yang menyangkut tokoh-tokohnya terutama Raja yang sedang jumeneng, selalu ditandai dan diperingati dengan sajian kesenian. Macam-macam gelar seninya. Ada pentas wayang, tari, konser karawitan, karya sastra, keris dan sebagainya. Khusus seni pertunjukan, bisa menjadi hiburan saat wungon”.
“Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Jawa khusus kraton, ketika datang hari weton kelahiran, pasti ada aktivitas wungon atau cegah liyep. Salah satu cara menahan rasa kantuk, yaitu disajikan kesenian. Tetapi, baik wungon dan sajian keseniannya, punya banyak fungsi dalam kehidupan pribadi dan masyarakat adat serta keseniannya,” ujar Gusti Moeng semalam.
Disebutkan Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA) yang bernama lengkap GKR Wandansari Koes Moertiyah itu, khusus untuk konser karawitan “weton malem” Selasa Legi sudah tersaji sampai waktu yang lama sejak Sinuhun PB XII jumeneng nata. Tetapi banyaknya pergolakan politik di sekitar 1945 berpengaruh pada kraton, yang konser berhenti lama.
Sampai tahun 2004, tradisi konser karawitan peringatan “weton malem” Selasa Legi belum diaktifkan. Tetapi ada pertunjukan seni pedalangan atau pentas wayang kulit untuk memperingati weton hari kelahiran Sinuhun Suryo Partono di Bale Agung, tiap 35 hari. Harian Suara Merdeka dan iMNews.id mencatat data peristiwanya, karena sering menyaksikan pentas wayang itu.
Dalam wawancara siaran “live streaming” Senin malam (13/5), Gusti Moeng menyebutkan baru mulai tahun 2011 “konser weton” untuk Sinuhun PB XII diaktifkan kembali. Di tahun-tahun itu, konser karawitan masih disiarkan RRI Stasiun Surakarta atas kerjasama antara dua lembaga, untuk menyajikan hiburan seni budaya Jawa, yaitu siaran langsung dari Kraton Surakarta.
Namun, lanjut mantan anggota DPR-RI dua periode terpisah itu, siaran langsung tidak bisa dilanjutkan karena harus ada pembaharuan kerjasama, setelah kraton ditutup selama 6 tahun sejak 2017, bahkan 8 tahun karena sebelum itu sudah vakum. Akhirnya, konser weton bisa kembali berjalan sudah dua kali di tahun 2024 ini, tetapi tidak disiarkan langsung oleh RRI.
Seperti yang tersaji di Bangsal Smarakata, Senin (13/5) malam tadi, konser karawitan sudah tidak disiarkan langsung oleh RRI Stasiun Surakarta, tetapi menggunakan teknologi modern, siaran langsung live streaming, yang bisa disaksikan secara audio-visual melalui handphone (HP) dari manapun, menggunakan aplikasi YouTube.
Semalam, ada sajian 4 gendhing yang masing-masing berdurasi 30-an menit sejak konser dimulai pukul 20.15 WIB, melibatkan lebih 30 seniman abdi-dalem Keparak Mandra Budaya termasuk lima swarawati, dengan “tindhih” KPH Raditya Lintang Sasangka. Setiap gendhing yang akan disajikan, disebutkan juru pambiwara yang lengkap diuraikan latar-belakang penciptaannya.
Keempat gendhing itu, adalah Gendhing Srimpi Dhempel lengkap dengan “sindhenannya”, Laras Slendro Pathet Sanga. Khusus sajian pertama ini, Gusti Moeng tampak duduk lesehan yang di depannya terdapat kotak kayu sebagai “keprak” atau pemandu gerak. Dia duduk bersama para pesinden di deretan depan, dan di belakangnya ada 30-an seniman karawitan.
Sajian kedua, Gendhing “Ima-ima”, Kethuk 4 Kerep minggah 8, kalajengaken Ladrang “Kapang-kapang”, Laras Pelog Pathet Nem. Kemudian dilanjutkan dengan Gendhing “montro-Khendho”, gendhing Kethuk 2 arang, minggah 4, kalajengaken Ladrang Sriyatna, terus Ketawang Pamekas, Laras Slendro Pathet Manyura. Sajian terakhir adalah “Bawa Sekar Ageng Kusumastuti”.
Vokal “bawa” yang dibawakan seorang wiraswara (pria), adalah bagian dari lampah 13 pedhotan 6-7 dhawah Tentrem, gendhing Kethuk 2 kerep minggah 3, kalajengaken “Ladrang Rangu Asmara”, Laras Pelog Pathet Barang sebagai penutup. Yang menarik, saat Gusti Moeng memegang keprak, Lina (istri KPH Raditya), menjadi ilustrasi tari Srimpi Dhempel menari di teras bangsal. (won-i1).