Prasasti “Sela Gilanglipuro”, Tempat Panembahan Senapati Menerima “Wahyu Mataram” (seri 5 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 3, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Prasasti “Sela Gilanglipuro”, Tempat Panembahan Senapati Menerima “Wahyu Mataram” (seri 5 – bersambung)
LINGKUNGAN KHUSUS : Gusti Moeng sebagai sosok tokoh wanita dari lingkungan Dinasti Mataram masa kini yang sangat aktif memperjuangkan banyak hal, ketika berbicara di berbagai forum, seperti foum di lingkungan khusus kalangan kampus di Jogja, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Permaisuri Sinuhun PB II, Dibekali Segerobak Emas Untuk Membangun Ibu Kota Mataram di Kartasura

IMNEWS.ID – ABDI-DALEM warga Pakasa Cabang Jogja, KRT Dr Purwadi masih punya banyak catatan peran wanita atau peran ibu/istri, di balik sukses para Raja Kraton Mataram, sejak Panembahan Senapati (iMNews.id, 2/5). Sejak Raja pertama sekaligus pendiri Dinasti Mataram sampai Mataram Surakarta, ada peran besar tokoh wanita di belakangnya.

Bahasan tentang peran wanita atau dari garis ibu, dari hasil analisis bisa dibagi menjadi dua. Yaitu peran wanita atau istri, terutama “garwa prameswari” para Raja, yang pertama karena banyak terlibat dalam proses perpindahan Ibu Kota “negara” (kraton), pembangunan Ibu Kota dan bangunan daya dukungnya di wilayah kedaulatannya.

Kemudian, peran wanita atau sosok ibu dari keluarga Raja untuk menjaga kesinambungan dinasti dan karya-karya besar simbol keberadaan dan peradaban. Peran dan posisi penting berunsur politis ini, merupakan bagian dari kategori peran dalam “makna positif” yang menonjol di balik sukses para Raja di Kraton Mataram itu, hingga Sinuhun PB XII.

PERAN WANITA : Gusti Moeng sebagai sosok tokoh wanita dari Dinasti Mataram masa kini, yang banyak memperjuangkan eksistensi dan peran wanita, yang dimulai dari lingkungannya sendiri. Banyak tokoh wanita di balik sukses Raja-raja Mataram, diangkat dan dimuliakannya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Penekanan pada jenis peran dalam “makna positif” menjadi catatan penting, karena dalam perjalanan sejarah Mataram baru kini ada peran wanita dalam “makna negatif” karena berada di balik “citra serba buruk” raja. Padahal, dalam kurun waktu panjang sebelum itu, peran wanita tentu identik atau selalu diasumsikan “bermakna positif”, karena berada di balik kisah sukses Raja.

Satu catatan ini menjadi perkecualian dari semua asumsi makna positif di atas, karena mungkin saja menjadi anomali Kraton Mataram Surakarta yang pemimpinnya lahir dalam suasana kehidupan modern di alam NKRI. Ini yang patut dipahami, agar generasi masyarakat peradaban 100 tahun ke depan, tidak melakukan kesalahan yang sama dalam menilai Kraton Mataram.

Dengan memilah kategori jenis perannya, Kanjeng Ratu Waskitha Pati (putri Ki Ageng Penjawi) sangat pantas disebut sebagai tokoh berjasa di balik sukses sang suami. Yaitu sukses Panembahan Senapati yang “membiayai” pemindahan kraton dari Pajang ke Mentaok, dan sukses membangun Plered sebagai Ibu-Kota kraton baru bernama Mataram.

MEMBALIK OPINI : Dr Purwadi saat ikut berbicacara di sarasehan parasasti “Watu Gilang”, terus berupaya mengikis opini publik terhadap Kraton Mataram Surakarta yang hingga kini dianggap “serba klenik dan warisan penjajah”. Padahal, itu salah besar dan sesat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Berikut, adalah Kangjeng Ratu Banowati, putri Pangeran Benawa (Benowo I-Red) yang diperistri Raja kedua Mataram, Sinuhun Prabu Hanyakrawati (1601-1613). Perannya cukup besar ketika sang suami meneruskan cita-cita ayahandanya, yaitu Panembahan Senapati. Salah satunya adalah mewujudkan pembangunan “Gedung Hanyakrawati” di wilayah barat.

“Gedung Hanyakrawati” adalah simbol “kebanggaan” Wangsa Mataram (Dr Sriyono-UGM), yang menurut Dr Purwadi dibangun atas jasa garwa prameswari Kangjeng Ratu Banowati. Bangunan itu hasil bekerjasama dengan Belanda, yang memiliki insinyur dan ahli kontruksi. Gedung itu, kini menjadi Istana Negara, kediaman presiden di Jakarta.

“Kalau di mana-mana ada bangunan kuno berdiri megah, itu pasti produk zaman Mataram. Itu rasional. Karena pasti hasil kerjasama yang sama-sama menguntungkan, antara pemerintah Mataram dengan negara yang memiliki teknologi maju waktu itu. Termasuk teknologi yang digunakan saat membuat jaringan kereta api (KA),” jelas Dr Purwadi.    

PANGGUNG SANGGABUWANA : Kalau dikonversi ke dalam rupiah saat ini, berapa biaya yang dikeluarkan Sinuhun PB II untuk membangun menara “Panggung Sanggabuwana” yang menjadi cirikhas ikonik Kraton Mataram Surakarta ini?. Di sinilah garwa prameswari KR Mas (Emas-Red), putri Bupati Lamongan itu berperan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Di forum sarasehan di kompleks prasasti “Sela Gilanglipuro” (iMNews.id, 25/4), Dr Purwadi sempat menyinggung soal karya Raja kedua Kraton Mataram, Sinuhun Prabu Hanyakrawati. Seharusnya (pemerintah RI-Red) membayar uang sewa penggunaan “Gedung Hanyakrawati” itu. Sementara, Dr Sriyono menyebut Dinasti Mataram sebagai “Wangsa Mataram”.

Tokoh wanita berjasa berikutnya, adalah Kangjeng Ratu Batang, putri Kangjeng Pangeran Adipati Hupasanta yang masih trah darah-dalem Patih Mandaraka, keturunan Ki Ageng Juru Martani (tokoh “Tiga Serangkai”). Garwa prameswari itu yang membiayai pindahnya kraton dari Plered ke Kutha Gedhe yang dibangun sebagai Ibu Kota baru Kraton Mataram.  

Begitu Kraton Mataram dipindah penerus Sultan Agung (1613-1645), putra mahkotanya yang bergelar Sinuhun Amangkurat Agung (I) dari Plered ke Kartasura, kembali tokoh wanitalah yang berjasa. Kangjeng Ratu (KR) Kentjana yang bernama kecil RA Wiratsari itulah yang membiayai pindahnya kraton dan membangun Kartasura sebagai Ibu Kota Kraton Mataran.

INVESTASI BERSAMA : Ketika Kraton Mataram Surakarta berada di puncak saat Sinuhun PB X bertahta, bila dikonversi ke dalam rupiah saat ini, berapa ratus milyar modal diinvestasikan untuk membangun Stasiun KA Purwosari dan seluruh jaringan sarana transportasi kereta api (KA) di sepanjang Pulau Jawa ini?. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Mengapa raja-raja Mataram memiliki pola sama dalam mengambil permaisuri? Ya, manusiawi saja. Orang-tua mana yang tidak bangga kalau anaknya menjadi prameswari raja, ikut ‘mukti wibawa’. Apalagi, kelak menurunkan calon raja. Meskipun, unsur selektif tetap ada. Yaitu tetap memenuhi syarat bibit, bobot dan bebet,” tunjuk Dr Purwadi.

KR Kentjana adalah putri Bupati Semarang, Pangeran Kajor yang masih trah darah-dalem dari Sultan Hadiwijaya, Raja Kraton Pajang yang di masa mudanya bernama Jaka Tingkir. Dari kajian Dr Purwadi, ketika KR Kentjana diperistri Sinuhun Amangkurat I itu, dibekali emas sebanyak 7 gerobak, untuk membangun Ibu Kota Kraton Mataram di Kartasura.

Ibu Kota Kartasura sebagai kelanjutan Mataram Islam pimpinan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma yang berIbu-kota di Plered, menjadi pusat pemerintahan hingga Raja ke-9 Kraton Mataram, yaitu Sinuhun PB II (1727-1749). Karena rusak oleh pemberontakan dan berbagai alasan lain, Ibu Kota dipindah Ke Surakarta, yang tentu butuh biaya sangat besar. (Won Poerwono-bersambung/i1).