Wakil Wali Kota : “Kraton Harus Satu Suara, Agar Bisa Ikut Menikmati, Walau Ada Perubahan” (seri 4 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 17, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Wakil Wali Kota : “Kraton Harus Satu Suara, Agar Bisa Ikut Menikmati, Walau Ada Perubahan” (seri 4 – bersambung)
SANGAT BERJARAK : Hubungan Wali Kota Surakarta dengan jajaran "Bebadan Kabinet 2004" sebagai representasi Kraton Mataram Surakarta, boleh dikatakan "sangat berjarak". Foto ini memperlihatkan pertemuan Wali Kota dengan Gusti Moeng dan jajaran "Bebadan" di kraton, kali kedua sejak ada kabar soal revitalisasi. (foto : iMNews.id/dok)

Harapan Wakil Wali Kota Itu Menjadi Tantangan Berat, Karena Rekonsiliasi Gagal-Total

IMNEWS.ID – HARAPAN Wakil Wali Kota (Wawali) Surakarta Teguh Prakosa yang diucapkan agar pihak kraton berdiri “satu suara” dalam menerima bantuan proyek revitalisasi, sungguh menjadi tantangan berat untuk bisa diwujudkan. Forum rapat koordinasi membahas proyek bantuan APBN 2023 senilai Rp 1,4 T itu, akhir Maret lalu.

Dalam rapat yang dipimpin Kepala Dinas Kimpraswil Jateng itu, Wawali hadir mewakili Wali Kota selaku pimpinan otoritas pemerintah wilayah Kota Surakarta. Pihak penerima proyek yang diundang, dari lembaga Sinuhun PB XIII tidak ada yang hadir mewakili. Sedangkan unsur “Bebadan Kabinet 2004” pimpinan Gusti Moeng, hadir nyaris lengkap.

Tetapi, Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa atau rombongan “Bebadan Kabinet 2004” lainnya, tak ada satupun yang langsung menanggapi harapan dan permintaan Wawali agar kraton berdiri “satu suara” di forum itu. Ini sangat mengesankan, bahwa harapan itu terucap lepas begitu saja, mirip harapan “kosong” atau “terucap sia-sia”.

AGAR SATU SUARA : Di forum rapat koordinasi antara berbagai pihak di Hotel Sunan, beberapa waktu lalu, saat membahas pelaksanaan proyek revitalisasi yang sudah berjalan itu, Wakil Wali Kota Teguh Prakosa beberapa kali meminta agar kraton “satu suara”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Mengapa demikian?. Itu karena ada kesalahan di awal proses sosialisasinya, yang mungkin tanpa disadari banyak dilakukan Wali Kota Surakarta. Karena faktanya, Wali Kota lebih dekat dengan kelembagaan Sinuhun PB XIII, tetapi berjarak atau nyaris tidak pernah “berkomunikasi” dengan jajaran “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng.

Karena faktanya begitu, berarti figur Wali Kota terkesan tidak berusaha menempatkan diri sebagai pemimpin yang seharusnya mengayomi keduanya secara adil sebagai warganya. Sangat mustahil Wali Kota Gibran kalau tidak tahu, bahwa keluarga besar di dalam kraton seakan sudah “terbelah menjadi dua” sejak friksi hebat tahun 2017.

Karena, begitu proses Pilkada tahun 2019 dimenangkan pasangan Gibran Rakabuming-Teguh Prakosa terpilih Wali Kota- Wakil Wali Kota dan mulai bekerja di awal tahun 2020, banyak kabar terdengar. Di antaranya, ada pesan khusus mantan Wali Kota FX Hadi Rudyatmo kepada Gibran, agar “Ora usah melu-melu urusan (perseteruan di) kraton”.

AKSES PENDAPA PAGELARAN : Ketika Alun-alun Lor terkoneksi dengan akses menuju Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa seperti pada saat gelar ritual Sekaten Garebeg Mulud seperti inilah, fungsi alun-alun yang sebenarnya baru kelihatan urgensi dan maknanya dalam penguatan ketahanan budaya nasional. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Mendengar kalimat “pesan khusus” seperti ini, terkesan memberi bekal pesan “bijak”, agar (Wali Kota) tetap netral dan bersikap adil. Tetapi, kalimat ini bersayap, yang bisa melahirkan banyak tafsir. Ternyata, tafsirnya adalah “Ora usah melu-melu” (kelompok) Gusti Moeng. Tetapi sangat dianjurkan “melu-melu” (kelompoknya) Sinuhun.

Melalui perjalanan waktu, kalimat “pesan khusus” itu jelas semakin kelihatan dan mudah ditebak maksud sebenarnya. Karena, beberapa saat sebelum ada kabar bantuan revitalisasi, Gibran menerima gelar Kangjeng Pangeran (KP) dari kelompoknya Sinuhun. Intinya, sejak tahun 2005 hubungan Pemkot dan kraton terbilang “panas” dan “sengit”.

Dalam peristiwa alih suksesi yang diwarna munculnya “Raja Tandingan” atau “Matahari Kembar” itu, kraton benar-benar “dihajar habis” dan “ditenggelamkan” reputasi dan dedikasinya sebagai lembaga masyarakat adat yang sudah berjasa terhadap NKRI dan peradaban bangsa. “Stampel dan stigma negatif”, kembali ditempelkan kepada kraton.

SEBELUM RAMADHAN : Wujud sebagian dari permukaan Alun-alun Lor saat pekerjaan proyek revitalisasi sampai di awal bulan Ramadhan. Kini, semua sudah hampir tertutup material penutup, antara paving, pasir dan rumput, sekalipun banyak yang tidak sesuai dari yang disepakati bersama. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Peristiwa “ontran-ontran” proses suksesi 2004 yang penuh “stempel” dan “stigma” negatif terhadap kraton itu, terus berbuntut panjang. Proses rekonsiliasi terkesan banyak diupayakan, termasuk dari tangan penguasa. Tetapi, uluran tangan kekuasaan itu bukan menempatkan kedua pihak secara adil untuk “difasilitasi” agar benar-benar rukun.

Kini setelah peristiwa berlalu 20-an tahun itu, mungkin baru disadari, bahwa uluran tangan penguasa jelas tidak mungkin untuk merukunkan keluarga besar yang terbelah dua, atau kedua pihak yang bertikai. Rekonsiliasi mustahil bisa diwujudkan, karena peristiwa “ontran-ontran” itu memang dikehendaki oleh penguasa yang “mengulurkan tangan”.

Friksi akibat “ontan-ontran” terus berbuntut panjang, “stempel” dan “stigma” negatif yang pernah ditempelkan kepada kraton terus “dipelihara”. Di sekitar tahun 2010 setelah Jokowi-FX Rudy kembali terpilih sebagai Wali Kota-Wawali Kota, dinamika friksi internal di kraton kembali tajam dan setajam hubungan kraton dengan Pemkot.

LEBIH LONGGAR : Alun-alun Kidul kelak bakal memiliki fungsi dan makna yang lebih longgar dibanding Alun-alun Lor, apalagi dibanding kondisi sebelumnya. Karena, Alun-alun Kidul bukan lokasi pendukung upacara adat apapun yang digelar kraton. Foto diambil sebelum bulan Ramadhan, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Hubungan yang tidak baik antara kraton dengan pemerintah sejak peristiwa alih suksesi tahun 2004, bukan seperti yang tampak hanya terkesan terlokalisir di lingkingkan Pemkot. Tetapi, hubungan yang kurang harmonis atau bisa disebut kurang baik, sudah dialami kraton dengan pemerintah NKRI di semua tingkatan sejak momentum 17/8/1945.

Peristiwa rekonsiliasi yang diinisiasi Jokowi-FX Rudy untuk mempertemukan pendukung masing-masing dari “raja tandingan” di tahun 2010-an, gagal-total. Karena, penguasa punya “misi khusus” sejak friksi di tahun 2004. Jadi mustahil bertindak sekadar sebagai fasilitator, apalagi bersikap adil dan menjadi pengayom bagi semuanya.

Dari forum itu, “Jajaran Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng tidak mendapat solusi apapun yang menghibur. Tetapi justru merasa bertambah “sakit hati” yang didapat. Karena di antara pasangan pejabat tangan panjang NKRI itu, justru “mengusir” Gusti Moeng agar keluar dari Kota Surakarta, karena “dianggap tidak bisa diatur”. (Won Poerwono-bersambung/i1).