Menjadi Bagian Aparat Yudikatif, Setelah “Nagari” Mataram Surakarta Berdiri
IMNEWS.ID – BEGITU banyak jasa-jasa dan begitu besar pengaruh positif “negara monarki” terbesar terakhir yang ada di Nusantara ini, masih bisa dilihat jejak-jejaknya setelah NKRI lahir, 17 Agustus 1945. Sampai kinipun, tapak dan jejak sejarah peradaban “nagari” Mataram Surakarta itu, masih bisa didapati di negara berpenduduk 270 jura orang ini, terutana di Jawa.
Jasa-jasa para tokoh pemimpin “nagari” Mataram Surakarta itu, wujudnya secara fisik masih bisa dilihat, antara lain kawasan heritage Kraton Mataram Surakarta itu sendiri, yang terbentang mulai Gapura Gladag di utara hingga Gapura Gading di selatan, yang luasnya sekitar 90 hektar.
Bahkan, masih banyak bangunan bersejarah simbol “nagari” Mataram Surakarta yang masih tegak berdiri di luar kawasan itu sebagai simbol dan monumen sejarah. Tugu “Pemandengan” yang berada di tengah antara kompleks Balai Kota Surakarta dengan Pasar Harjanagara atau Pasar Gedhe, adalah bangunan monumental penting, tonggak peradaban.
Masih banyak lagi yang sifatnya wujud fisik monumental, bahkan berada jauh di luar kawasan eks “Ibu Kota” Surakarta Hadiningrat, yaitu bangunan sebuah gardu yang kini masuk wilayah Kabupaten Purworejo. Sedangkan jasa-jasa yang bersifat nonfisik, salah satunya adalah seni budaya dan pengetahuan yang masuk bidang keilmuan.
Jasa-jasa para tokoh pemimpin “nagari” Mataram Surakarta yang bisa memberi pengaruh positif terlebih manfaat bagi kehidupan peradaban yang sudah ratusan tahun ini, adalah karya-karya sastra yang sudah ditulis para Pujangga Surakarta, mulai dari RNg Ranggawarsita, RNg Jasadipura, Padmasusastra bahkan Sang Raja sendiri, yaitu Sinuhun PB IV dan PB V.
Karya-karya sastra ini banyak memberi arah perjalanan hidup peradaban, melalui pandangan-pandangannya yang masuk sebagai pengetahuan, hingga menjadi materi mata kuliah yang diajarkan di berbagai perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Ilmu Budaya dan jurusan Sastra Daerah. Termasuk yang diajarkan di perguruan tinggi khusus seni budaya Jawa, ISI Surakarta dan ISI Jogja.
Beberapa hal di atas hanya sekadar sebagai ilustrasi yang melukiskan begitu banyak jasa-jasa dan begitu besar manfaat serta pengaruh keberadaan peradaban Mataram Surakarta di masa lampau. Tetapi, sejak Mataram Surakarta sudah berada di dalam NKRI hingga kini, banyak peninggalannya masih digunakan dan ada manfaatnya, bahkan akan tetap dibutuhkan di masa depan.
Sekelumit ilustrasi itu pula sebagai contoh yang bisa melukiskan bahwa NKRI yang kini berusia 78 tahun itu, masih banyak mengadopsi dan melestarikan karya-karya peradaban masa lampau hingga dijadikan siimbol, cirikhas dan identitasnya, seperti yang ada dalam budaya Jawa, baik upacara adat pengantin, busana adat, bahasa dan sistem tata-nilainya.
Dan satu hal lagi yang tak bisa dipungkiri telah menjadi modal, inspirasi sekaligus teladan dalam pengelolaan negara dan penyelenggaraan pemerintahan adalah bidang pertahanan dan keamanan yang bisa menunjukkan asal-usulnya dari “nagari” Mataram Surakarta atau para leluhur Dinasti Mataram.
Sistem pertahanan model perang gerilya yang banyak “diklaim” sebagai gaya perang “para pahlawan” di zaman revolusi menjelang kemerdekaan 1945, sebenarnya sudah ada alias meniru yang dilakukan zaman peradaban sebelumnya, ketika “nagari” Mataram Surakarta masih eksis (1745-1945), persisnya identik dengan laskar Pangeran Sambernyawa dari Kadipaten Mangkunegaran.
Simbol-simbol, istilah dan nama yang banyak digunakan lembaga Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan kesatuan-kesatuannya hingga unit-unitnya, masih bisa ditelusuri jejak asal-mulanya yang tidak jauh dari gaya dan kekayaan Mataram Surakarta. Karena, sebagai sebuah negara (monarki), Mataram Surakarta tentu memiliki sistem pertahanan dan kekuatan militer.
Kini, Kraton Mataram Surakarta masih merawat bagian dari sistem pertahanan negara berupa berbagai jenis kesatuan yang disebut Bregada Prajurit. Ada sembilan Bregada Prajurit, yang memiliki cirikhas dan simbol lambang kesatuan berupa vandel dan umbul-umbul, serta kostum dengan kombinasi warna yang sangat menarik.
Bregada Prajurit Tamtama yang lengkap dengan korp musik drumband yang ada di dalamnya, dengan konstumnya dominasi warna hitam dengan strip merah di pinggirnya, adalah sangat khas Mataram Surakarta. Istilah atau nama “Tamtama” yang masih sering terdengar dari lembaga TNI, tentu bisa ditelusuri asalnya dari Surakarta.
Terlebih, dari buku yang ditulis Dr Sri Juari Santosa berjudul “Suara Hati Nurani Kraton Surakarta”, banyak disebutkan bantuan kraton secara khusus diberikan kepada Presiden Soekarno yang baru membentuk rumah-tangga kepresidenan dan segala protokolernya serta baru memulai menjalankan pemerintahan NKRInya.
Di situ disebutkan, selain menyumbang berbagai kebutuhan operasional rumah-tangga kepresidenan dan lembaga kemiliteran, kraton juga menyumbangkan figur Patih-dalem KRMTH Sosrodiningrat V untuk melatih protokoler tenaga rumah-tangga kepresidenan, yang tentu saja berkait dengan berbagai kebutuhan kemiliteran, termasuk istilah, nama dan perintah aba-aba.
Kemudian Bregada Prajurit Sarageni yang kominasi warnanya didominasi warna merah, dengan balutan “kunca” begitu panjang, dari namanya yang menyebut “Sara” (sengsara-Red) dan “geni” (api) sudah sangat menarik. Bregada Prajurit Darapati, bahkan pernah dibawa Sinuhun PB IX (1861-1893) untuk mengawal saat diundang peresmian Terusan Suez tahun 1869.
Kemudian Bragada Prajurit Prawira Anom yang kostumnya kombinasi antara warna hijau dengan warna kuning strip baju dan latar warna “jarik”nya, tentu sangat khas dan punya makna. Belum lagi Bregada Prajurit Jayeng Astra, Baki, Panyutra, Jaya Tan Antaka dan sebagainya, yang memiliki bidang keahlian dan matra berbeda seperti matra darat, laut dan udara yang ada kini.
Di antara jenis-jenis prajurit yang pernah dimiliki Kraton Mataram Surakarta selama 200 tahun (1745-1945) eksis sebagai “negara monarki” itu, pernah memiliki Bregada Prajurit yang diberi nama “Singanagara”. Bregada prajurit ini, dibentuk saat Sinuhun PB II (1727-1749) masih berada di “nagari” Mataram saat Ibu Kotanya di Kartasura.
“Baik saat masih di Kartasura maupun proses pindahnya ke Surakarta, (Bregada) Prajurit Singanagara menjadi pengawal Sinuhun PB II. Tidak hanya mengawal di belakang dan samping kiri maupun kanan, tetapi ada yang melindungi di depan. Pasukan ini bisa dikatakan dug-deng (berani mati-Red). Bahkan, ada yang memenggal kepala tentara Belanda yang mencoba menghalanginya”.
“Ketika Sinuhun PB II (menyusun rencana) di Ponorogo cukup lama, masyarakat setempat baru mengenal bahwa Bregada Prajurit itu bernama Singanagara. Dan ternyata, banyak di antaranya, direkrut dari Ponorogo. Apalagi selama berada di daerah kami, dan saat mengawal boyongan dari Kartasura ke Surakarta, Prajurit Singanagara yang menjadi tameng (perisai),” ujar KRAT Suro.
Penjelasan KRAT Suro Agul-agul yang punya nama kecil Sunarso itu, jelas memperkaya wawasan warga yang hidup terutama pada zaman kini dan kelak kemudian. Wakil Ketua Pakasa Cabang Ponorogo yang sekaligus Ketua Paguyuban Reog “Katon Sumirat” itu, saat ditemui iMNews.id di acara kirab budaya peringatan Hari Jadi ke-92 Pakasa, Minggu (26/11), sempat berkisah.
Menurutnya, Pakasa Cabang Ponorogo yang diketuai KRRA MN Gendut Wreksodiningrat meminta izin Kraton Mataram Surakarta untuk membentuk Bregada Prajurit Singanagara sebagai simbol, cirikhas sekaligus identitas kebanggaan Pakasa cabang beserta seluruh elemen masyarakat Kabupaten Ponorogo (Jatim).
Bregada Prajurit Singanagara itu kali pertama ditampilkan sebagai ikon lain kontingen Pakasa cabang Ponorogo untuk melengkapi tampilan reog dan pendukungnya pada Hari Jadi ke-92 Pakasa yang dipusatkan di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa Kraton Mataram Surakarta itu. Penampilan “Paspamwal” Raja Sinuhun PB II itu, sungguh tampak “engker” dan “serem”.
“Dari Babad Sala saya mendapat data soal Prajurit Singanagara itu. Tetapi, kisahnya sudah banyak sebagai petugas atau prajurit penegak hukum di Bangsal Singanagara, belakang Pendapa Pagelaran (Mataram Surakarta). Mereka itu sebagai eksekutor, yang menghukum para pelanggar hukum, sesudah diputuskan Panti Pidana,” jelas KP Budayaningrat di tempat terpisah. (Won Poerwono/i1).