Beruntung Punya Ketua yang Bisa Mengedukasi Pengetahuan Identitas Organisasi
IMNEWS.ID – ORGANISASI Pakasa yang ditegaskan berulang-ulang KPH Edy Wirabhumi selaku Pangarsa Punjer (Ketua Pengurus Pusat) sebagai organisasi yang berkecimpung di bidang seni budaya dan pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, tentu sudah jelas menempatkan simbol-simbol budaya Jawa menjadi cirikhas dan identitasnya.
Cirikhas dan identitas itulah yang membedakan dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) lain, karena ada konsekuensi lebih ideal dan lebih bermartabat, yang melekat sesuai nilai-nilai budaya Jawa. Cirikhas dan identitas yang mudah dikenali publik atau warga peradaban secara luas ini, sudah lama tidak ada karena dianggap bagian dari “feodalistik”.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan Pakasa “new reborn” sampai ke tingkat cabang di berbagai daerah yang kini sedang berlangsung, ada tantangan berupa kebutuhan pembekalan modal dasar bagi kalangan anggota dan calon-calon anggota Pakasa sampai di tingkat anak cabang (Ancab).
Bekal modal dasar yang sangat dibutuhkan, bahkan bisa disebut mendesak itu, adalah pengetahuan tentang sikap berkepribadian yang mencakup pengetahuan dan tatacara berbusana adat Jawa serta pengetahuan yang mengatur perilaku, bersikap dan berpenampilan, baik dalam turur kata maupun tindak-tanduk dalam kehidupan kesehariannya.
Bahkan, ada satu hal penting dan urgen di masa kini yang menjadi bagian dari perilaku dan sikap atau kepribadian sebagai anggota Pakasa yang notabene “wong Jawa” tulen. Yiatu, memahami, menguasai dan bisa mewujudkan tata-nilai budaya Jawa dalam kehidupan kesehariannya, di lingkungan manapun, dari keluarga, tempat bekerja sampai yang terbesar.
Hal yang sangat ideal itu memang butuh proses waktu panjang, yang seharusnya bisa diberikan dari dalam keluarga, lingkungan tempat tinggal, sekolah/pendidikan dari jenjang terendah sampai perguruan tinggi serta lingkungan bekerja. Tetapi, proses pengenalan, pemahaman serta perwujudannya dalam keseharian sudah tidak mungkin terjadi sejak lama.
Proses edukasi resmi di dunia pendidikan dan proses pembentukan dari dalam keluarga dan lingkungan, sudah tidak dikenal generasi yang lahir di tahun 1980-an hingga kini. Selain dunia pendidikan yang lebih fokus pada soal ketinggalan teknologi, sistem pendidikannya juga terlalu banyak berganti ketika ganti pemimpin, tetapi selalu mengabaikan unsur budi-pekerti.
Ada beberapa hal lagi yang dianggap ada tendensi “kesengajaan” untuk menghilangkan unsur budi-pekerti, selain kebijakan-kebijakan pemerintah terutama di dalam sistem pendidikan. Sejak lama, dunia pendidikan diarahkan mengejar ketingalan, tetapi mengabaikan pentingnya pembelajaran budi-pekerti yang menjadi bagian budaya, termasuk Budaya Jawa.
Hal penting lain yang sangat berpengaruh terhadap hilangnya pengetahuan budi-pekerti atau tata-nilai budaya Jawa, datang dari budaya manca dari belahan dunia manapun, baik barat, Korea, India dan dari kawasan Arab yang menjadi bagian dari budaya asing. Pengaruh budaya asing itu datang melalui berbagai cara, baik melalui teknologi modern maupun manual.
Pengaruh budaya asing itu ternyata tidak hanya menggerus budaya nasional yang ditampilkan taman kebhinekaan bangsa Indonesia di berbagai kesempatan dalam beberapa dekade lalu. Tetapi sudah sampai pada level intoleransi dan anasir radikalisme yang berpotensi menyokong disintegrasi, akibat kebhinekaan itu juga dirusak.
Dua hal terakhir itu yang menjadi kegelisahan kalangan pemimpin bangsa dan pusat-pusat kebudayaan secara nasional, termasuk lembaga masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta sebagai pusat dan sumbernya budaya Jawa. Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) yang berdiri di tahun 2020, tampil menjadi rujukan berbagai lembaga tinggi negara yang peduli ketahanan budaya nasional.
Sikap tanggap “darurat” dan upaya-upaya mencari solusi yang dilakukan MAKN yang pimpinan KPH Edy Wirabhumi untuk tingkat nasional, juga dilakukan di wilayah sebaran budaya Jawa, baik di kawasan Jateng, Jatim maupun DIY, dalam kapasitasnya selaku Pangarsa Pakasa Punjer. Gerakan penguatan ketahanan budaya melalui Pakasa, juga sudah banyak memperlihatkan hasil positif.
Melihat kapasitas dan kapabilitas serta tujuan yang hendak dicapai, langkah mendorong pertumbuhan dan perkembangan Pakasa sampai ke tingkat cabang bahkan Ancab, adalah tepat dan cerdas. Meskipun, untuk mengakomodasi keperluan itu tidak semua Pakasa cabang bisa punya kesiapan yang memadai untuk menjawab tantangan kebutuhan tersebut.
Tetapi beruntung ada beberapa Pakasa cabang yang patut dibanggakan, karena bisa mewujudkan bisa menjawab tantangan itu. Pakasa Cabang Ponorogo, Cabang Jepara dan Cabang Trenggalek adalah tiga cabang yang sudah mulai memperlihatkan hasil positif dalam menjawab tantangan itu.
Kini, Pakasa Cabang Kudus yang dipimpin KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro menyusul dengan menorehkan beberapa prestasinya, walah kepengurusan cabang belum benar-benar diresmikan karena ketuanya masih berstatus “Plt”. Umur pengurus cabang yang belum lengkap itupun barus setahun, lebih muda dari Pakasa Cabang Magelang yang sudah resmi dan mulai berkiprah.
Namun, sekali lagi beruntung bagi keluarga besar warga Pakasa Cabang Kudus, dan tentu beruntung bagi pengurus Pakasa Punjer maupun masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta secara keseluruhan. Karena, Pakasa Cabang Kudus memiliki seorang ketua yang punya kapasitas dan kapabilitas di bidang pengusasaan pengetahuan budaya Jawa tergolong lengkap.
KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro yang memiliki darah keturunan Sunan Kudus (Wali Sanga) dari garis ayah (R Soekardjin) dan keturunan Panembahan Hadi Prabu Hanyakrawati (Raja Mataram lama) dari garis ibu (Tarmini), punya pengetahuan budaya Jawa yang sudah banyak ditularkan kalangan santrinya dari tiga Majlis Taklim yang dipimpimnnya.
“Karena saya waktu muda dulu sering diajak eyang kakung (Marto Darsono Djamari) ke kraton, saya jadi sangat akrab dengan lingkungan budaya Jawa yang ada di kraton. Saya sering berada di antara para abdi-dalem dan pejabat di kraton yang berbusana Jawa. Saya juga banyak mengenal tatacara pisowanan dan jenis busana yang boleh dikenakan,” tutur KRA Panembahan Didik.
Pengalaman yang diperoleh KRA Panembahan Didik jauh sebelum 1976 hingga sang kakek wafat di tahun 1981, maka wajar saja kalau banyak pengetahuan tentang cirikihas dan identitas “wong Jawa” dengan segala simbol-simbolnya, banyak dipahami dan dilaksanakan dalam kesehariannya. Termasuk tata-nilai yang diwujudkannya dalam perilaku, sikap dan kepribadiannya.
Kemampuan KRA Panembahan Didik di bidang kanuragan mirip “ilmu kekebalan” yang kini masih dimiliki dan sesekali diperlihatkan kepada santri-santrinya, disebutkan juga berasal dari sang kakek dari garis ibundanya itu. Pengetahuan tentang budaya Jawa secara lengkap, baik yang riil kelihatan maupun yang tidak kelihatan, diajarkan sang kakek kepadanya.
Oleh sebab itu, warga Pakasa Cabang Kudus yang sementara masih didominasi para santri anggota tiga Majlis Taklim milik KRA Panembahan Didik sekaligus yang memimpinnya itu, jelas sangat beruntung. bahkan, pengetahuan budaya Jawa atau budi-pekerti Jawa secara lengkap itu, juga diajarkan kepada para santrinya selain pengetahuan religius Islam.
“Maka, sejak saya mendirikan tiga Majlis Taklim itu, setiap ada pertemuan, pasti banyak santri saya yang mengenakan busana adat Jawa lengkap. Selain ajaran agama, juga saya beri pengetahuan budaya Jawa, baik busana adat, jenis-jenis dan siapa yang boleh mengenakannya, unggah-ungguh basa, tata-trapsila kalau berhadapan dengan orang lain dan sebagainya”.
“Karena ada yang tanya, saya juga menjelaskan bahwa kalau untuk para kawula, di kraton bisa mendapat pangkat dari Jajar, Lurah hingga Bupati Sepuh (KRAT). Dan, kini bisa juga menjadi sentana bergelar Pangeran. Tetapi, di zaman sekarang semua itu ada anon-anon, atau pemberian. Kalau yang trah-darah dalem dan keluarga raja, itu jelas hak yang melekat,” jelasnya.
Dengan kemampuan di bidang penguasaan budaya Jawa secara lengkap, Pakasa Cabang Kudus memiliki modal pengembangan yang lebih banyak dan kesiapan menjadi “wong Jawa” yang tulen lebih banyak/besar dibanding yang lain. Ini justru menjadi modal yang baik untuk perluasan tugas Sanggar Pasinaon Pambiwara dari kraton. (Won Poerwono-habis/i1).