Sejak “Bebadan Kabinet 2004” Bekerja Penuh di Dalam Kraton Mulai 17 Desember 2022
SURAKARTA, iMNews.id – Wayang pusaka level satu (1) Kangjeng Kiai (KK) Kadung koleksi Kraton Mataram Surakarta karya Sinuhun PB IV (1788-1820), mendapat kesempatan kedua dikeluarkan atau “diisis” dalam sebuah upacara adat “ngisis wayang” di “gedhong” Sasana Handrawina, pada weton Anggara kasih atau Selasa Kliwon, 5/12 pagi hingga siang tadi.
Sejak dikeluarkan dari tempat khusus penyimpananannya di kantor Pengageng Sasana Wilapa, Nguntarasna, sekitar pukul 09.00 WIB, Gusti Moeng selaku pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat banyak membantu. Mulai dari “caos dhahar” di depan pintu hingga kotak wayang dikeluarkan dari ruang kantornya, hingga diusung ke Sasana Handrawina.
Khusus kotak wayang KK Kadung yang punya level pusaka tertinggi di antara tiga kotak koleksi wayang di kraton, disimpan secara khusus di kantor Pengegang Sasana Wilapa. Sedangkan 17 kotak wayang lain koleksi kraton, disimpan di Bangsal Lembisana yang lokasinya di kompleks Pendapa Magangan.
Sedangkan dua kotak wayang lain yang punya level sama dengan KK kadung, adalah wayang KK Dewa Katong dan KK Jimat. Tetapi khusus KK Kadung, mendapat perlakuan paling istimewa karena dianggap wayang pusaka paling sakral. Salah satu cirikhasnya, kotak wayang ini ketika dikeluarkan untuk pentas, hanya boleh dimainkan dalang Pangeran putra-dalem.
“Kangjeng Kiai Kadung sudah mendapat giliran dua kali sejak yang pertama bulan Mei (9/5/2023). Karena hanya boleh dikeluarkan untuk ritual ‘ngisis’ kalau Weton Anggara Kasih, Wukud Dhukut. Tetapi, untuk keperluan perawatan agar tidak berjamur dan berdebu, ya minimal ‘diisis’ tiap Anggara Kasih,” jelas Gusti Moeng menjawab pertanyaan iMNews.id, siang tadi.
Kotak wayang KK Kadung yang berisi sekitar 300 anak wayang yang rata-rata berukuran besar atau di atas ukuran konvensional anak wayang gaya Surakarta, harus diusung lebih dari enam orang abdi-dalem. Maka, tiap dikeluarkan pada ritual “Ngisis Wayang”, ada sekitar 10 abdi-dalem yang sebagian besar bertugas mengusung.
Seperti yang tampak tadi pagi, ada abdi-dalem sejumlah itu yang tampak sibuk mengusung secara gotong-royong, ada yang “nongsong” atau memayungi dan ada yang membawa peralatan pecaosan. Selain beberapa pejabat dari Kantor Pengageng Mandra Budaya seperti KPP Wijoyo Adiningrat, juga tampak RM Restu Setiawan dan Ki RT Suluh Juniarsah mengawal di depan dan belakang.
Setiba di ruang “gedhong” Sasana Handrawina, peralatan “caos dhahar” disiapkan, kotak mulai dibuka, tambang yang disampiri mori putih mulai dibentang di empat saka guru, beberapa meja besar juga disiapkan dan gawang kecil untuk memajang wayang juga disiapkan. Tak lupa, abdi-dalem Rawang dan temannya menyiapkan galah bambu untuk menyangga tambang.
Setelah kotak dibuka Ki RT Suluh Juniarsah Adicarito selaku “tindhih abdi-dalem” yang bertugas bersama RT Gatot Purnomo Adicarito membuka kotak, satu-persatu anak wayang yang berada di atas “eblek” paling atas dikeluarkan untuk disampirkan di atas tambang yang terbungkus mori putih. Sebagian lalu dibawa ke meja untuk dikuas dan dilap tisu bila berjamur.
Ada sekitar 5 eblek yang menjadi tempat menyusun/menata anak wayang, sekaligus sekat susunan anak wayang saat dimasukkan di dalam kotak. Satu persatu “ebelek” dikeluarkan dengan diangkat sedikitnya dua orang, baik mendekati meja tempat menguas atau mengelap tisu, maupun dekat dua gawang kecil tempat memajang untuk mendapatkan angin.
Dalam waktu sekitar 30 menit, hampir seluruh anak wayang sudah mendapatkan angin secara bervariasi, baik disampirkan tambang,
dikuas atau dilap tisu di atas meja maupun dipajang berdiri di dua gawang kecil yang kira-kira berisi 40-an anak wayang. Namun, untuk pekerjaan menguas debu dan menyeka tisu dan reparasi kerusakan-kerusakan kecil, bisa lebih sejam baru selesai.
Karena hampir tidak ada persoalan yang berarti, Gusti Moeng yang mengawal dari awal dan menunggui proses “ngisis wayang” KK Kadung itu juga tidak banyak memberi arahan dan tugas tambahan. Sekitar 15 abdi-dalem yang bertugas “ngisis wayang” ditambah para abdi-dalem Kebon Darat yang mengusung kotak wayang, tampak sudah hafal betul urutan tugasnya sehingga lancar dan cepat.
Meski lancar dan cepat, berakhirnya ritual “Ngisis Wayang” tetap saja lewat dari pukul 12.00 WIB yang seharusnya berakhir tidak lebih dari waktu itu. Setelah semua anak wayang ditata kembali dalam eblek dan disusun di dalam kotak, kira-kira pukul 12.30 WIB baru diusung untuk dikembalikan ke kantor Pengageng Sasana Wilapa sebagai tempat penyimpanannya.
Sama ketika dikeluarkan dan diusung ke “gedhong” Sasana Handrawina, proses pengembaliannya ke kantor Pengageng Sasana Wilapa juga menggunakan ritual baik disongsong (dipayungi), diiring “caos dhahar” dan dikawal para penanggungjawabnya, baik “tindhih abdi-dalem” maupun pejabat kantor Pengageng Mandrapura, di antara KPP Wijoyo Adiningrat selaku Wakil Pengageng.
Kotak wayang KK Kadung, menurut Ki RT Suluh Juniarsah dan juga KPH Wijoyo Ainingrat, sangat jarang dikeluarkan untuk dipentaskan dalan seni pertunjukan wayang kulir purwa, walau hanya diizinkan di dalam kraton. Karena, koleksi itu pusaka paling dikeramatkan dan tidak sembarang orang atau waktu bisa dikeluarkan dan dimainkan.
Kotak wayang KK Kadung belum pernah dimainkan oleh dalang-dalang ternama sekelas Ki Panut Darmoko (alm), Ki Manteb Soedarsono (alm) atau Ki Anom Suroto, meskipun ketiganya tercatat sebagai abdi-dalem di Kraton Mataram Surakarta. Dari ketiganya, hanya Ki Panut Darmoko (alm) yang pernah diminta memainkan salah satu koleksi wayang untuk pentas di dalam kraton.
Kotak wayang KK Kadung terakhir dikeluarkan saat ada pentas wayang kulit untuk ritual “tutupan Sura” pada bulan Sura antara 2017-2022, saat kraton ditutup secara sepihak oleh Sinuhun Suryo Partono dan para pendukungnya. Pada saat itu, “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng “diusir” keluar kraton sampai 17 Desember 2022 baru bisa masuk kembali.
“Karena saya di luar, yang hanya mendapat lapran saja. Kotak wayang dikeluarkan ke Pendapa Sasanamulya. Dalangnya, ya saudara saya sendiri. Tetapi, mungkin tidak kuat, saat ndalang tiba-tiba ‘nggeblag’ dan tidak sadarkan diri. Terus mas Manteb (Ki Manteb-red) yang tidak mengenakan busana adat, disuruh meneruskan. Itu memang keterlaluan,” tunjuk Gusti Moeng.
Begitu “ngisis wayang” berakhir, Gusti Moeng bergeser ke teras Paningrat Kidul sudah terdengar bunyi gamelan pengiring “gladen beksa” Bedaya Ketawang. Para seniman karawitan dari kantor Pengageng Mandra Budaya yang dipimpin KPH Raditya Lintang Sasangka selaku “tindhih abdi-dalem”, sudah memulai melakukan pemanasan.
Sepasang gamelan Kiai Mangunharja dan Kiai Harjabinagun menjadi gamelan baku konser karawitan pengiring tari Bedaya Ketawang, latihan atau gladen tarian sakral itu tiap datang weton Anggara Kasih atau Selasa Kliwon. Siang tadi, gladen dimulai menjelang pukul 13.00 WIB, yang juga disaksikan sejumlah sentana, GKR Ayu Koes Indriyah dan GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani.
Koreografer tari di Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta sekaligus Pangarsa Yayasan Sanggar Pawiyatan Kabudayan Kraton mataram Surakarta, segera bergabung dengan para pengrawit dan pesinden. Mereka duduk lesehan bersama di atas lantai, yang hanya beralaskan sepotong tikar “mendhong”.
Setelah semua penari siap di sisi barat Pendapa Sasana Sewaka, isyarat diberikan dan koor panembrama yang menjadi tanda interoduksi karawitan iringan tari Bedaya Ketawang dimulai. Yang bertugas “nembang” mirip “sulukan” dalang wayang kulit ketika jeda “pathet” atau ganti adegan itu, dilakukan para wiraswara di antaranya KPH Raditya sambil memegang kendang.
Selesai “sulukan” versi “panembrama” para siraswara iringan tari itu, langsung berganti suara para pesinden menembangkan gending iringan Bedaya Ketawang yang segera disusul beberapa instrumen karawitan di antaranya dua “kemanak” yang sangat terdengar mencolok dan dominan. Suara intrumen sebesar bulir pisang itu menjadi pemandu gerak para penarinya.
Mendengar para pesinden yang didukung Gusti Moeng memulai menyuarakan gending iringan, para penari yang semula duduk bersila lalu memulai gerak tarinya dengan gerakan hormat yang wujudnya menyembah. Dari posisi itu, mereka lalu berdiri serentak bersama-sama untuk meneruskan gerakan tarinya, sesuai struktur gerak tarian khusus Bedaya Ketawang yang spesifik dan sakral. (won-i1).