Kraton Mataram Surakarta Sedang Alami “Darurat Sipil” dan “Darurat Adat”.
IMNEWS.ID – RENTETAN peristiwa konstruktif positif yang terjadi selama lima tahun lebih (April 2017-Desember 2022) di luar Kraton Mataram Surakarta (iMNews.id, 24/10), secara tersirat bisa dipandang sebagai sebuah perbandingan antara sekelompok orang pendukung Sinuhun PB XIII Suryo Partono di dalam kraton dan barisan “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng di luar kraton. Tetapi, juga bisa menampilkan perbandingan antara “kedua seberang” yang “berdamai semu” atau “gagal berdamai”, setelah kerja-kerja adat Gusti Moeng yang bisa dilakukan lebih baik di dalam kraton, sejak Januari 2023.
Mulai April 2017 hingga Desember 2022, baik di dalam kraton maupun suasana yang dialami Gusti Moeng di luar kraton, semua berada dalam situasi dan kondisi “force majour” atau luar biasa atau kalau meminjam istilah NKRI bisa disebut “darurat sipil”. Suasana yang “darurat sipil” plus “darurat adat” itu bahkan masih berlanjut walau Gusti Moeng sudah bekerja penuh sebagai Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat bersama jajaran “Bebadan Kabinet 2004”. Karena, proses perdamaian yang diharapkan bisa mempersatukan kembali putra/putri-dalem, tampaknya sulit bisa terwujud, walau sudah berjalan 10 bulan.
Situasi dan kondisi “force majour” atau “darurat sipil” yang ditambah “darurat adat” pasca-“insiden mirip operasi militer” 2017 dan pasca-pandemi Corona (2020-2022), menjadi penyebab kerja-kerja adat yang dilakukan Kraton Mataram Surakarta kurang bahkan tidak efektif. Dalam beberapa peristiwa yang terjadi baik yang menyertai berlangsungnya upacara adat maupun di luar itu selama 10 bulan ini, bisa dikatakan kontra produktif, misalnya keberadaan pasukan prajurit dari “dua seberang” yang berjalan sendiri-sendiri, dan diam-diam ada bayang-bayang lembaga Pengageng Parentah Kraton tetap “beroperasi”.
Beberapa contoh di atas, jelas melukiskan sulitnya kerja-kerja adat bisa dilakukan secara efektif dan produktif. Dalam situasi dan kondisi tidak kondusif akibat bayang-bayang lembaga Pengageng Parentah Kraton bersama “Bebadan Kabinet” bentukan Sinuhun 2018 tetap “nekat” berjalan, sangat terbuka kemungkinan terjadinya pelanggaran paugeran adat dan penyimpangan yang menimbulkan kerugiah secara material. Karena kerja “lembaga siluman” itu sebenarnya sudah harus bubar, mengingat sudah ada putusan Mahkamah Agung (MA) tertanggal 29 Agustus 2022 yang dieksekusi PN Surakarta, 9 Oktober 2023 lalu.
Efektivitas dan produktivitas kerja-kerja adat menurun dan jauh dari esensi sebuah kerjasama yang “damai”, jelas bersumber dari sulitnya dilakukan komunikasi, bahkan muncul indikasi pelanggaran komitmen dari kesepakatan-kesepakatan yang sudah dicapai. Pelaksanaan tingalan jumenengan 16 Februari, operasional pasukan prajurit, pelanggaran kesepakatan kirab pusaka malam 1 Sura (19/7), “penyerobotan” kewenangan tatacara memulai ritual Sekaten Garebeg Mulud 2023 serta aksi protes menolak eksekusi keputusan MA, Senin (9/10), adalah contoh-contoh yang sangat tidak kooperatif dan kontra-produktif terhadap esensi “damai”.
Esensi “damai” yang diharapkan berjalan melalui proses natural dalam 10 bulan nyaris tidak terlihat tanda-tandanya, tetapi sebaliknya semakin memperjelas dualisme berjalan di rel/jalur masing-masing. Realitas ini bisa terjadi sangat patut diduga karena lemahnya peran sosok figur Sinuhun PB XIII Suryo Partono, yang beberapa kali tampak jelas melalui tayangan YouTube dan medsos yang merekam berbagai peristiwa yang melibatkannya secara fisik. Karena di berbagai penampilan itu, dia benar-benar memperlihatkan rendahnya kemampuan berbicara, berfikir dan sulit mengambil keputusan, yang bisa dikategorikan sudah “tidak berfungsi normal”.
Faktor lemahnya peran Sinuhun secara fisik maupun nonfisik, sebenarnya bukan barang baru atau terjadi baru-baru saja, tetapi sudah sejak lama dia terganggu kesehatannya secara serius, akibat menderita stroke ringan. Dia bahkan sudah dinyatakan “cacat permanen” oleh PN Sukoharjo, yang menyidangkan kasus “trafficking” yang melibatkannya sebagai “tersangka” di tahun 2015. Dalam sebuah konferensi pers 3 Januari 2023, terapi ke Surabaya sudah diupayakan dan membuat Sinuhun pulih, tetapi melihat rekaman tayangan YuoTube dan beberapa platform media di medsos terakhir, justru menunjukkan kondisi sebaliknya.
Melihat kondisi figur sentral tokoh yang berdamai sudah “tidak baik-baik saja” hampir dalam segala hal yang menyangkut produktivitas secara fisik dan nonfisik, tentu sangat menghambat bahkan menjadi penghalang kerja-kerja adat yang diharapkan semakin berprogres ideal dari waktu ke waktu, sejak 3 Januari itu. Dan fakta yang muncul dalam 10 bulan ini, justru memperlihatkan sebaliknya, karena malah semakin sering terjadi gesekan dan benturan antara “dua pihak” atau “dua seberang” muncul ke permukaan. Dengan begitu bisa disimpulkan, bahwa proses perdamaian yang berlangsung selama ini adalah “semu”, karena segala kebijakan yang keluar dari lembaga Sinuhun diduga “palsu” atau “fiktif”.
Dalam proses perdamaian yang “semu” karena bisa dikatakan gagal-total akibat pihak seberang tak memperlihatkan sikap-sikap natural yang kooperatif, tentu sangat menyulitkan kerja-kerja adat dan kerja konstruktif dalam rangka percepatan regenerasi dan alih kepemimpinan. Padahal, Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat sudah kehilangan waktu lima tahun lebih untuk menjalankan proses itu. Kini, dalam beberapa minggu terakhir ini, koordinator “Bebadan Kabinet 2004” benar-benar sedang memanfaatkan waktu untuk mengejar ketinggalan selama lima tahun itu, dengan melakukan serangkaian reposisi dan konsolidasi.
Pelantikan KRMH Bimo Rantas Djoyo Adilogo menjadi “Bupati Juru-Kunci Astana Pajimatan Imogiri”, belum lama ini, tentu menjadi peristiwa terbaru dalam rangka mengejar ketinggalan proses regenerasi itu. Tetapi, kerja-kerja adat memang tak akan bisa menghasilkan produk kebijakan yang utuh berkekuatan adat dan hukum, akibat figur simbol tertinggi di kraton “lumpuh” dan divonis “cacat permanen”. Situasi seperti ini perlu solusi mendesak, yang mungkin bisa dijawab seperti sinyal-sinyal yang lahir dari diskusi tentang hukum dan sejarah, antara 150-an mahasiswa FH UNS dengan KPH Dr Edy Wirabhumi SH MH dan Dr Purwadi selaku pembicaranya, Sabtu (21/10/2023). (Won Poerwono-bersambung/i1).