Kepatihan “Dibumihanguskan” Saat Sinuhun PB XII di Forum KMB Den Haag, Belanda?
IMNEWS.ID – PERISTIWA hilangnya jejak sebagian peradaban Mataram Surakarta karena kompleks perkantoran Kepatihan “dibumihanguskan” dan hanya bersisa sebuah masjid, ketika dihubungkan antara sejumlah variabel yang dimungkinkan menjadi faktor penyebab, semakin menunjukkan arah kejelasan. Namun, hingga NKRI berusia 78 tahun ini, nyaris tak ada upaya serius untuk membuka misteri “lenyapnya” kompleks Kepatihan yang seakan menjadi “tumbal” kejelasan status kemerdekaan NKRI, karena peristiwa “bumi-hangus” itu terjadi pada agresi Belanda kedua di tahun yang sama dengan peristiwa KMB di Den Haag, Belanda.
Dari beberapa judul buku yang membahas tentang situasi revolusi pra dan pasca-Proklamasi Kemerdekaan di satu sisi, dan eksistensi “nagari” Mataram Surakarta di tengah kondisi sosial politik yang berubah drastis di sisi lain, tidak ada yang secara spesifik membahas tentang kehancuran jejak peradaban Mataram di Kepatihan itu. Dari kajian yang dilakukan Dr Purwadi juga tidak secara spesifik membeberkan detil misteri kehancuran Kepatihan, hingga analisis yang muncul kemudian seakan membenarkan teori bahwa untuk menguasai aset bekas kraton, harus “dibelandakan” lebih dulu.
Satu hal tentang misteri “lenyapnya” kompleks Kepatihan yang nyaris tanpa ada yang “merasa kehilangan”, seakan dibiarkan semakin lama semakin dilupakan dan diikhlaskan “hilang”, sehingga mudah sekali berubah menjadi kawasan perkampungan yang berisi hunian warga dan bangunan lembaga milik pemerintah di Kelurahan Kepatihan Kulon dan Kelurahan Kepatihan Wetan. Proses alih fungsi dan alih tangan aset Kraton Mataram Surakarta yang terkesan sangat mudah ini, menjadi masuk akal karena misteri itu terus menjadi informasi yang semakin samar-samar, yang antara lain diindikasikan dari dua data yang bertolak belakang.
Data yang diungkap Dr Sri Juari Santosa menyebut, kompleks Kepatihan menjadi penyebab lemahnya dukungan terhadap Sinuhun PB XII karena di antara para pejabat di Kepatihan itu ada yang diculik kekuatan kiri dan ada yang berkhianat. Sementara, dari kacamata kandidat doktor RM Restu Budi Setiawan menyebut, tampilnya Sinuhun PB XII praktis hanya didukung para pejabat Kepatihan, yang notabene, ibu permaisuri Sinuhun PB XII (Ibu Ageng/GKR Paku Buwana VI-Red) adalah putri patih Sosrodiningrat. Friksi di internal Kepatihan, ketika bergabung dengan kekuatan dari luar, maka dengan mudah “menghabisi” kompleks Kepatihan.
“Baru sampai terbitnya ‘Maklumat Sinuhun PB XII 1 September’ saja, banyak pejabat di Kepatihan yang diculik. Tetapi memang, pendukung Sinuhun PB XII praktis tinggal dari para pejabat Kepatihan. Waktu itu, banyak abdi-dalem dan pejabat Kepatihan juga abdi-dalem di kraton yang ketakutan, sampai berusaha menyembunyikan atau menghapus gelar dan asma sesebutan dari kraton, agar tidak diculik kelompok kiri,” tunjuk RM Restu saat berbicara di forum diskusi (iMNews.id, 9/9/2023). Ketua Sanggar Pasinaon Tata Busana dan Paes Penganten Jawa Kraton Surakarta itu menunjuk, sampai di tahun 1946 saja sudah banyak keluarga kraton yang diculik.
Julianto Ibrahim yang menulis “Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan”, banyak menyajikan data tentang identitas dan jumlah pihak yang diculik gerombolan kiri (PKI-Red) di masa revolusi kemerdekaan, namun hanya dibatasi antara yang terjadi tahun 1947 hingga 1949. Dia menulis tentang organisasi politik dan gerakan radikal dengan menandai munculnya kekacauan di dalam kraton setelah wafatnya Sinuhun PB X (20/2/1939), tetapi tidak secara khusus menyebut kekacauan bumi-hangus Kepatihan dan jumlah korban yang diculik dan dibunuh “kolaborasi para pengacau”, meski wilayahnya dibatasi di Surakarta.
Namun dari catatan Dr Purwadi, korban penculikan dari kalangan keluarga besar Kraton Mataram Surakarta mulai Sinuhun PB XII, PM Sutan Syahrir hingga para pejabat di tingkat keluarahan, lebih dari 3 ribu orang. Peneliti sejarah anggota Pakasa Cabang Jogja ini tidak merinci berapa jumlah yang terbunuh di antara yang diculik, tetapi dari data korban penculikan di Surakarta yang disajikan Julianto Ibrahim di buku yang ditulis, bisa jadi termasuk di dalamnya. Jumlah yang diculik dan korban meninggal dari tabel yang di buku itu, mungkin saja termasuk di antara jumlah korban penculikan dari keluarga besar kraton yang disebut Dr Purwadi.
Dari beberapa sumber penulisan dan kajian sejarah yang didapat iMNews.id, nyaris tak ada yang menyajikan data peristiwa bumi-hangus kompleks Kepatihan “nagari” Mataram Surakarta yang terhubung dengan peristiwa forum Konferensi Meja Bundar (KMB), padahal perristiwa agresi Belanda kedua 1949 dan KMB di Den Haag Belanda itu juga September 1949. Korelasi antara dua peristiwa itu bukan dalam arti sebab-akibat atau kausalitas, tetapi ketika dianalisis bisa menambah nilai kebenaran bahwa sangat mungkin agresi Belanda itu hanya dipakai sebagai kedok untuk “menghabisi” Kepatihan di kala Sinuhun PB XII di KMB.
Intinya, saat kompleks Kepatihan “dihabisi” waktunya bersamaan saat Sinuhun PB XII bersama delegasi RI yang dipimpin Wapres Moh Hatta menghadiri KMB di den Haag, Belanda, yang waktunya memakan sekitar 3 bulan dari September hingga Desember 1949, termasuk perjalanan pulang-pergi dengan kapal laut yang menyita waktu paling banyak. Dalam situasi dan kondisi seperti itu bisa dianalisis, aktivitas militer tentara Belanda pasti bisa dikendalikan dari petingginya, sementara amuk-masa kolaborasi berbagai kekuatan termasuk PKI, adalah aksi liar “atas nama” atau memanfaatkan waktu kosong untuk “menghabisi” Kepatihan.
Kabar soal ketakutan kerabat keluarga besar kraton dari teror penculikan yang ditebar PKI seperti dilukiskan RM Restu, mirip dengan cerita KRAT Mulyadi Puspopustoko yang mengisahkan sebuah keluarga kraton yang menetap di Semarang kepada iMNews.id, belum lama ini. Figur yang disebut masih trah Sinuhun PB X itu, sampai menanggalkan segala gelar dan atribut kekerabatannya, bahkan merubah namanya serta hidup berbaur dengan masyarakat biasa di sebuah kampung. Menurut Ketua Pakasa cabang Pati itu, figur tersebut meninggalkan kraton sekitar tahun 1949 dan mempunyai saudara banyak, mirip jumlah putra/putri Sinuhun PB X. (Won Poerwono-habis/i1).