Nama Banyukerta Berubah Menjadi Banyumas, Sebagai Bentuk Penghormatan Kepadanya
IMNEWS.ID – SEDIKITNYA sudah tiga kali iMNews.id merekam penegasan GKR Wandansari Koes Moertiyah yang menolak, menampik dan menepis isu menyesatkan dan stigma negatif yang sengaja disebarkan pihak-pihak tertentu terhadap nama baik ketokohan “Raja” sesembahan dan pepundhen Dinasti Mataram, Sinuhun Amangkurat Agung. Dan sepertinya, suara keras dan tandas bernada geram Gusti Moeng itulah satu-satunya pembelaan dan perlawanan yang pernah terdengar dari lingkungan kerabat atau keluarga besar besar masyarakat adat Dinasti Mataram yang jumlahnya ribuan, bahkan puluhan ribu orang itu.
Menyuarakan hak untuk menuntut rasa keadilan dalam konteks upaya membersihkan nama tokoh-tokoh leluhur Dinasti Mataram seperti yang selama ini dilakukan anak ke-25 Sinuhun PB XII itu, memang bukan sekadar berani. Tetapi, hal yang satu inilah menjadi modal paling ideal, elegan dan terhormat serta bermartabat untuk dilakukan di saat-saat nama dan segala macam label “Mataram” sedang diposisikan pada level inferior, “dianggap salah”, “dianggap kalah” dan “dianggap tidak berhak” mendapatkan rasa keadilan di bumi NKRI yang baru ada pada 17 Agustus 1945.
Fitnah dan stigma negatif di satu sisi, keberanian “membela” dan mencari rasa keadilan di sisi lain, merupakan beberapa hal yang sedang dihadapi “Srikandi Mataram” penerima penghargaan The Fukuoka Culture Prize Award dari Jepang tahun 2012 itu. Sepanjang hayat tahta Sinuhun PB XII di alam republik (1945-2004) sudah terlalu persoalan yang dihadapi, sehingga nyaris tidak mungkin “berani membela” untuk sekadar mendapatkan rasa keadilan. Dan sekalipun era politik beserta angin kebebasan sudah berubah, ternyata juga tidak ada yang sekadar berani “membela”, apalagi “melawan” seperti yang dilakukan Gusti Moeng.
Aneh, tidak masuk akal dan mengeherankan, itu kata-kata yang gampang untuk melukiskan sikap apabila publik tidak percaya, ketika hendak memahami posisi masyarakat adat keluarga besar Dinasti Mataram ini. Persoalan keberanian melawan fitnah dan stigma negatif untuk mencari rasa keadilan terhadap nama baik Sinuhun Amangkurat Agung khususnya dan nama baik Mataram pada umumnya, memang masih menjadi masalah besar ketika Kraton Mataram Surakarta baru mengalami awal masa republik. Karena banyak tokoh kerabat dari kalangan putra-putri Sinuhun PB X dan Sinuhun PB XI yang tersisa, bisa beragam menyikapinya.
Kalau kemudian dilokalisir hanya sebatas kalangan putra-putri Sinuhun PB XII, jelas lebih gampang membaca petanya, karena hanya anak ke-25 yang bernama GKR Wandansari Koes Moertiyah itu yang berani tampil “membela” dan menuntut rasa keadilan sejak awal tahun 1990-an hingga kini. Sementara, sebagian besar atau 30-an sisa putra/putri-dalem itu entah ke mana? entah ada apa? dan entah sedang apa? Selama ini, hanya dijawab Gusti Moeng yang bisa menjawab tiga pertanyaan itu dengan perbuatan nyata berdasar fakta sejarah, seperti yang diungkapkan saat berpidato di forum ritual ganti langse makam Amangkurat Agung, Minggu siang (13/8/2023).
Dan ketika dianalisis antara pesan Sinuhun PB XII yang disampaikan Gusti Moeng dengan isi hati yang diungkapkan Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat secara langsung saat memberi smabutan di forum upacara adat, Minggu siang (13/8) itu, jelas ada kaitannya dan sangat beralasan serta terhubung antara stigma negatif dengan potensi ancaman yang bisa datang. Stigma negatif tentang ketokohan Sinuhun Amangkurat Agung menjadi berbalik 180 derajat yang terkesan keji, akan sangat mungkin bisa menghasut publik yang tidak paham, sehingga bisa saja menelantarkan makam tokoh “Pelopor Tambang Emas” itu.
Kepada dirinya, semasa hidupnya Sinuhun PB XII pernah meminta agar jasad Sinuhun Amangkurat I (pertama) itu dipindahkan menjadi satu di makam raja-raja Mataram, Astana Pajimatan Imogiri, Bantul, DIY. Tetapi Gusti Moeng juga benyak mendengarkan permintaan beberapa pihak khususnya Pemkab Slawi Tegal dan masyarakatnya, agar jasad Raja Mataram ke-4 itu tetap berada di Astana Pajimatan Tegalarum, Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna. Permintaan Sinuhun PB XII lebih dari satu kali kepada Gusti Moeng itu, jelas atas dasar kekhawatirannya keberadaan makam leluhurnya itu bisa tidak terawat, terlantar atau bahkan bisa lebih buruk lagi.
“Tetapi, Sinuhun malah punya usul/pertimbangan lain, yaitu agar kelak kalau saya meninggal, dimakamkan di Astana Pajimatan Tegalarum sini. Dan sinuhun beralasan, kalau saya dimakamkan di sini, pasti akan ikut terawat dan terjaga dengan baik. Saya yakin, seluruh elemen masyarakat Kabupaten Slawi/Tegal pasti bersedia menjaga dan merawat makam eyang Amangkurat Agung ini. Maka, saya titipkan makam Sinuhun Amangkurat Agung ini kepada seluruh elemen masyarakat dan Pemkab Slawi/Tegal, untuk dijaga dan dirawat. Karena, beliau adalah Amangkaurat yang benar-benar “agung”.
“Mudah-mudahan karya dan jasa-jasa yang ditinggalkan, memberi banyak manfaat bagi masyarakat di sini, termasuk manfaat secara ekonomi dan dimudahkan rezekinya,” tegas Gusti Moeng yang direspon spontan dengan ucapan “…amin….amin….” oleh semua yang hadir, siang itu. Seakan memberi menandaskan soal gelar “agung” untuk Sinuhun Amangkurat, Gusti Moeng melancarkan kata tegas pembelaannya bahwa tuduhan dan stigma negatif bahwa Sinuhun Amangkurat Agung pernah “membantai” atau “manghabisi” ribuan santri di wilayah kekuasaan Mataram, waktu itu, adalah kebohongan besar, fitnah tanpa dasar dan berita hoax yang ngawur.
Dan penegasan ini, juga didukung dengan hasil penelitian dan kajian sejarah yang dilakukan Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) Pusat di Jogja, Dr Purwadi, yang menandaskan bahwa putra mahkota Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma yang bernama GRM Sayidin dan menggantikan tahta ayahandanya bergelar Sinuhun Amangkurat Agung pada tahun 1645 itu, sosok tokoh yang lengkap penguasaan “ilmu” dan “ngelmu”. Pernah belajar teknik di Jerman, hingga menjadikan namanya sebagai pelopor tambang emas, di sisi ketokohannya yang selalu meneladani keluhuran dan kebajikan sang ayah. Jasa-jasanya bahkan diabadikan pada nama “Banyumas”, untuk menggantikan “Banyukerta”. (Won Poerwono-bersambung/i1)