Kirab Pusaka “Perdana” Di Era “Perdamaian”, Menyambut Tahun Baru Jawa Jimawal 1957 (seri 4 – habis)

  • Post author:
  • Post published:July 30, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Kirab Pusaka “Perdana” Di Era “Perdamaian”, Menyambut Tahun Baru Jawa Jimawal 1957 (seri 4 – habis)
SEDIKIT KERAS : Kerja adat dalam proses "perdamaian" saat ikut mengatur dan menangani prosesi kirab pusaka 1 Sura, beberapa waktu lalu, Gusti Moeng harus bekerja sedikit lebih keras karena "dinamika" perdamaian tak selalu berjalan mulus. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Jadi Kesempatan “Cek Ombak”, Hasilnya Bisa Dievaluasi untuk Perbaikan ke Depan

IMNEWS.ID – PELAKSANAAN upacara adat kirab pusaka menyambut datangnya Tahun Baru Jawa Jimawal 1957 pada 1 Sura atau Tahun Baru Hijriyah 1445 pada 1 Muharam, Kamis (20/7/2023) dini hari lalu, salah satu unsur positifnya bisa menjadi kesempatan yang baik untuk “cek ombak” atau mempelajari bagaimana sikap dan animo masyarakat luas terhadap ritual penuh perenungan dan kontemplasi kehidupannya itu. Sekaligus, menjadi kesempatan perdana bagi seluruh “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat, untuk mencermati bagaimana proses “perdamaian” berjalan dalam kerja adat itu.

Kalau dievaluasi secara keseluruhan, pasti akan banyak ditemukan hal yang positif berikut negatifnya, karena kerja adat dalam ritual kirab pusaka di tahun 2023 ini, adalah yang pertama atau perdana bagi “Bebadan Kabinet 2004” pimpinan Gusti Moeng setelah bisa bekerja kembali secara penuh di dalam kraton. Berkait dengan itu, pasti yang pertama atau perdana dalam bekerjasama dan berbagi tugas antara “pihak” Bebadan Kabinet 2004 yang dipimpin Gusti Moeng dengan “pihak Sasana Putra” yang dipimpin Sinuhun PB XIII bersama para pengikutnya.

SEDIKIT PROTES : Gusti Moeng, Gusti Timoer dan Gusti Devi, terpaksa sedikit protes kepada beberapa tokoh yang dianggap telah merubah skenario persiapan pelaksanaan kirab di luar sepengetahuannya, menjelang pemberangkatan prosesi kirab menyambut 1 Sura, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Proses “perdamaian” yang diwujudkan dalam kerja adat antara “kedua pihak”, bisa disebut sebagai percobaan sekaligus ujian yang seharusnya dievaluasi. Tetapi, sangat banyak hal yang harus dievaluasi karena yang terjadi dalam kerja adat itu adalah upaya berbagi peran/tugas dari “dua pihak” yang sudah memulai proses perdamaian di satu sisi, dan respon langsung dari masyarakat internal maupun eksternal terhadap hasil kerja yang lebih mengarah pada makna ritual kirab pusaka menyambut 1 Sura atau 1 Muharam di sisi lain.

Hal yang menyangkut perpaduan dalam kerja adat seiring proses “perdamaian” anatara “kedua pihak”, gambarannya kurang lebih seperti yang sudah tertuang dalam terbitan seri terdahulu (iMNews.id, 24/7/2023), tentu saja lengkap dengan aspek positif dan negatif, meskipun insiden kecil yang mewarnai persiapan kirab pusaka bisa dipersepsikan sebagai kesan negatif yang lebih menonjol. Tetapi, sisi lain persepsi publik terhadap simbol-simbol upacara adatnya dalam format prosesi kirab pusaka, dengan tema menyambut Tahun Baru Jawa Jimawal 1957 tepat 1 Sura atau 1 Muharam Tahun Baru Hijriyah 1445 itu yang patut dievaluasi.

SIKAP SEMELEH : Putra mahkota KGPH Hangabehi semakin matang dalam menyikapi dinamika proses “perdamaian” yang sering tampak lumayan keras dengan sikap batin yang semakin “semeleh”, misalnya yang tampak saat kirab pusaka 1 Sura berlangsung, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam pandangan peneliti sejarah dari Lokantara Pusat (Jogja), Dr Purwadi, pelaksanaan kirab pusaka menyambut 1 Sura atau 1 Muharam tahun 2023 ini merupakan momentum secara umum berjalan baik dan lancar. Tetapi ada satu sisi yang dianggap menggelisahkan masyarakat peradaban Jawa itu sendiri, karena dari pantauannya di luar kraton atau di sebagian besar titik lokasi yang menjadi rute kirab pusaka, malam itu sudah tidak terlihat masyarakat berjubel-jubel dan berdesak-desak saat prosesi kirab yang dipimpin kagungan-dalem mahesa “Kiai Slamet” itu sedang lewat.

Apabila kirab pusaka yang terjadi sebelum 2017, menjelang pukul 21.00 atau 22.00 WIB atau bahkan sejak sore masyarakat dari wilayah yang berdekatan dengan Kota Surakarta sudah tampak berbondong-bondong berjalan kaki dari jarak 1-2 KM dari titik lokasi rute di perempatan Baturono, Gading dan perempatan Gemblegan misalnya, sejak sore hingga menjelang barisan kirab tiba di tiga lokasi itu, nyaris tak terlihat aktivitas tersebut. Titik lokasi di seputar perempatan Gladag dan perempatan Nonongan yang biasanya penuh sesak manusia dan sulit ditembus dengan jalan kaki saja, malam itu nyaris tak terlihat.  

BERDESAK DI DALAM : Pemandangan yang agak berbeda dalam pelaksanaan kirab pusaka 1 Sura tahun 2023 ini, kalau di sejumlah titik lokasi rute yang dilalui kirab di luar kawasan kraton sepi-sepi saja, tetapi bertolak belakang dengan pemandangan di dalam kraton yang berdesak-desa. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Saya sempat heran, mengapa jauh sekali pemandangannya dengan 5 tahun lalu. Suasana lautan manusia menunggu-nunggu kirab yang ‘cucuk-lampahnya’ Kiai Slamet, malam itu sudah tidak terjadi. Menurun drastis, karena tampak sepi. Di satu sisi, saya melihat banyak daerah di Jatim dan Jateng mulai meniru kraton mengadakan ritual menyambut hari-hari besar keagamaan versi masyarakat Jawa dan sukses. Termasuk yang diadakan masyarakat Ponorogo. Tetapi di sisi lain, pengunjung kirab pusaka 1 Sura di kraton yang menurun drastis, adalah unsur negatif. Bahkan, kirab pusaka di Magkunegaran juga begitu,” tunjuk Dr Purwadi.

Anggota Pakasa Cabang Jogja itu mengaku menyaksikan secara langsung jalannya kirab pusaka di “Kadipaten” Mangkunegaran yang digelar Selasa malam (18/7), begitu pula yang digelar di Kraton Mataram Surakarta mulai Rabu malam (19/7) hingga Kamis (20/7) dinihari. Dengan menumpang becak Dr Purwadi berkeliling melakukan pengamatan pelaksanaan kirab pusaka di dua lokasi dan waktu terpisah itu, yang kebetulan untuk tahun 2023 ini seakan mengulang peristiwa menyambut 1 Sura atau 1 Muharam pada belasan tahun lalu, yang pelaksanaannya selisih satu hari antara “Kadipaten” Mangkunegaran dengan Kraton Mataram Surakarta.

ANTUSIASME DI DALAM : Antusiasme terutama masyarakat adat, lebih terlihat di dalam kawasan kedhaton tempat barisan prosesi kirab disusun menjelang perjalanan menyusuri rute kirab 1 Sura, beberapa waktu lalu. Pemandangan itu sangat jauh dibanding suasana di sepanjang rute kirab di luar kawasan kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Menurut hemat Dr Purwadi, perlu diupayakan mengevaluasi bersama-sama keterlibatan masyarakat adat di berbagai daerah yang tergabung dalam Pakasa cabang, pada berbagai bentuk ritual menyambut hari-hari besar keagamaan versi masyarakat Jawa yang dewasa ini sukses digelar. Harapannya, jangan sampai energinya ditumpahkan habis-habisan di daerah masing-masing, sementara kebutuhan untuk melegitimasi upacara-upacara adat di sumbernya budaya Budaya Jawa yaitu Kraton Surakarta, menjadi susut atau kendor karena sudah kehabisan energi.

Perbedaan waktu pelaksanaan akibat selisih satu hari penentuan tanggal peringatan 1 Sura antara Kraton Mataram Surakarta dengan yang lain, memang seakan menjadi salah satu alasan menurunnya drastis masyarakat yang “ngalab berkah” kirab pusaka. Namun bagi KRT Arwanto Darpopipuro, Kraton Mataram Surakarta justru berpegang pada sistem waktu karya Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, bagian dari produk paugeran adat Dinasti Mataram, yang selalu dipegang teguh dan dijadikan dasar serta jadi pedoman masyarakat adat dalam menjalankan setiap upacara adat di lingkungannya, apalagi di Kraton Mataram Surakarta. (Won Poerwono-habis/i1)