Menyempurnakan Akulturasi Antara Islam, Hindu dan Jawa
SURAKARTA, iMNews.id – Kajian-kajian naskah kuno manuskrip yang terus dilakukan peneliti sejarah dari Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) Pusat di Jogja, Dr Purwadi secara khusus terhadap eksistensi Mataram Surakarta hampir dalam dua dekade terakhir, banyak mengungkap data dan fakta sejarah yang selama ini nyaris tidak pernah muncul ke permukaan. Di antaranya, munculnya upacara adat kirab pusaka menyambut 1 Sura yang selalau digelar di Kraton Mataram Surakarta dengan menyertakan kawanan satwa kagungan-dalem mahesa Kiai Slamet, digelar untuk menandai jumenengnya Sinuhun PB III di tahun 1749.
“Jadi, setelah jumeneng nata pada (pertengahan-Red) bulan Desember 1749, beberapa minggu kemudian datang bulan Sura. Sinuhun Paku Buwana (PB) III menggelar upacara adat kirab pusaka di malam tanggal 1 Sura, untuk menyambut datangnya Tahun Baru Jawa. Kirab saat itu sudah menyertakan kagungan-dalem mahesa Kiai Slamet. Ini merupakan kegeniusan sekaligus kawicaksanan beliau (PB III), sebagai raja yang banyak memahami nilai-nilai kemanusiaan sekaligus nilai ketuhanan. Maka, pantas beliau disebut Bapak Perdamaian. Menyertakan mahesa dalam kirab itu, intinya hendak memuliakan keyakinan lain (secara simbolik-Red),” tandas Dr Purwadi.
Diskusi melalui sambungan telepon dengan iMNews.id, tadi pagi, Dr Purwadi menyebutkan banyak mengungkap fakta dan data lain yang ditemukannya dalam seminggu terakhir dari dokumen-dokumen naskah manuskrip yang didapat dari berbagai perpustakaan, di antaranya dari Museum/Perpustakaan Radya Pustaka yang ia kunjungi beberapa hari lalu. Selain soal upacara adat kirab pusaka menyambut 1 Sura dan eksistensi kagungan-dalem mahesa, juga disebutkan ada data dan fakta tentang eksistensi museum di dalam eks kompleks Kebon Raja atau Taman Sriwedari, yang menurutnya juga sudah dirintis sejak Sinuhun PB III dan IV.
Seperti diketahui, Kraton Mataram Surakarta hingga kini masih sangat konsisten menjalankan berbagai upacara adat peninggalan para leluhur Dinasti Mataram yang datang rutin setiap tahun, di antaranya adalah kirab pusaka di malam 1 Sura untuk menyambut Tahun Baru Jawa. Kirab pusaka mengelilingi rute jalan lingkar luar wilayah Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasarkliwon sejauh lebih 4 KM itu, juga menyertakan kawanan satwa jinak yang menjadi pusaka-dalem, yaitu kagungan-dalem mahesa Kiai Slamet yang selalu diposisikan di barisan paling depan yang dimaksudkan sebagai “cucuk lampah”.
Upacara adat kirab pusaka menyambut pergantian Tahun Jawa itu, juga dilakukan di “Kadipaten” atau Pura Mangkunegaran, Selasa malam (18/7), mulai pukul 19.00 WIB. Kirab pusaka disertai doa permohonan keselamatan yang simbolnya “tapa mbisu” atau meditasi dengan berjalan tanpa bersuara, hanya mengelilingi tembok pura dan tanpa ada satwa jinak mahesa. Sementara di Kraton Mataram Surakarta, banyak simbol disertakan, termasuk kagungan-dalem mahesa Kiai Slamet sebagai “cucuk lampah”, bermeditasi sambil berjalan mengikuti pusaka yang dikeluarkan dari kraton, pada 19 Rabu dinihari (19/7), mulai pukul 00.00 WIB.
Upacara di dunia lokasi lembaga masyarakat adat itu diyakini masyarakat luas sudah dijalankan sejak lama, tetapi ritual yang berlaku di Kraton Mataram Surakarta dipersepsikan masyarakat luas memiliki kelengkapan lebih tetapi nyaris tak pernah diungkapkan asal-usul atau riwayatnya. Dr Purwadi juga membenarkan, banyak sekali fakta dan data sejarah yang menyangkut soal eksistensi Kraton Mataram Surakarta serta segala aktivitas seni budayanya yang tidak muncul ke permukaan, karena diduga ada faktor kesengajaan untuk mengaburkannya.
Sementara itu, data dan fakta yang selama ini diyakini pengurus Pakasa Cabang Ponorogo (Jatim) juga menunjukkan, bahwa perjuangan Sinuhun PB II (1727-1749) yang berhasil merebut kembali Kartasura sebagai Ibu Kota Mataram dari tangan pemberontak (Mas Garendi dkk), mendapat dukungan penuh segenap komponen dan elemen masyarakat Ponorogo. Bahkan saat “boyong kedhaton” dari Kartasura menuju Ibu Kota baru di Surakarta Hadiningrat, Bupati Ponorogo menyertakan sepasang kerbau bule kepada Sinuhun PB II untuk dibawa serta dalam rombongan iring-iringan pindahan kraton pada bulan Sura menjelang tanggal 20 Februari 1745 itu.
Data ini semakin memperkuat alasan mengapa kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jawa di malam 1 Sura di Kraton Mataram Surakarta, selalu menyertakan kawanan kagungan-dalem mahesa Kiai Slamet? Menurut Dr Purwadi, Sinuhun PB II saat sudah memindahkan “nagari” Mataram Surakarta sudah mengadakan peringatan pergantian Tahun Jawa itu, tetapi belum dalam bentuk kirab. Baru di zaman Sinuhun PB III (1749-1788), kirab pusaka diadakan dengan menyertakan kagungan-dalem mahesa Kiai Slamet, sebagai bentuk “panyuwunan” untuk kelangsungan tahtanya, sekaligus memuliakan satwa pemberian mertua dan Sunan Drajat itu.
“Sinuhun PB III itu mengambil istri puteri Bupati Kudus, yang waktu itu dekat sekali dengan Sunan Drajat. Kedua tokoh ulama dan umarah ini merestui jumenengnya Sinuhun PB III, dengan menghadiahkan sepasang kerbau bule. Di lingkungan masyarakat sekitar Gunung Muria, saat Idhul Adha menyembelih kerbau, karena sapi adalah simbol warga Hindu. Sinuhun PB III ingin menyempurnakan hubungan silaturahmi akulturatif antara Islam, Hindu dan Jawa. Maka, kirab pusaka di malam 1 Sura, selain doa untuk jumenengan nata beliau, juga untuk memuliakan kerbau (bule) pemberian kedua tokoh itu,” tandas Dr Purwadi.
Temuan data Dr Purwadi itu, semakin menguatkan data yang ditemukan sebelumnya oleh dwija Sanggar Pasinaon Pambiwara Kraton Surakarta, KP Budayaningrat, yang menyebut kirab pusaka sudah ada sejak Sinuhun PB X (1893-1939). Karena saat rezim Orde Baru beru berkuasa, sering menggunakan media untuk menegaskan bahwa kirab pusaka di Kraton Mataram Surakarta digelar atas permintaan pemerintah tanpa landasan fakta historis, yang terkesan secara spontan diadakan untuk menghadapi situasi dan kondisi nasional dari guncangan G30S/PKI dan rentetan peristiwa yang dianggap menganggu stabilitas nasional sejak di awal 1945 dan PKI 1948. (won-i1)