Ritual Haul Baru Dua Kali Diadakan di Kompleks Makam, Puncak Bukit Tengah Hutan Jati
IMNEWS.ID – BEGITU mengikuti ritual haul Pangeran Benawa I yang diadakan bersama oleh masyarakat adat penjaga/pemelihara makam dan Pakasa Cabang Pati, Jumat (30/6) terkesan semua sedang menghadapi tantangan dan sensasi yang akan selalu dikenang sepanjang hayat. Tak hanya itu, jalannya ritual di puncak bukit Dukuh Morotoko, Desa Wateshaji, Kecamatan Pucakwangi itu memberikan banyak makna, salah satunya adalah sebuah bentuk “perjuangan” sebuah proses untuk mencapai titik lokasi. Ini jelas melahirkan imajinasi tentang bagaimana “perjuangan” Pangeran Benawa I bisa dimakamkan di tengah bukit dan hutan terpencil itu.
Melihat lingkungan makam itu, kini, memang ada jalan lebar yang bisa dilalui truk “3/4” yang seakan menjadi satu dengan jalan desa mulai dari pintu masuk desa atau tempat parkir utama di kaki bukit. Jalan yang masih beralas bebatuan kapur tidak rata dan tidak rapat itu, terkesan menjadi pintu masuk utama bagi para peziarah, terutama yang ingin mencapai lokasi dengan kendaraan roda empat atau dua. Apalagi, separo dari panjang jalan mulai dari tempat parkir di kaki bukit, sudah ditutup aspal sejauh antara 300-500 meter sampai di tempat parkir kedua di tengah ketinggian.
Mungkin karena pengaspalan baru dilakukan separo dari panjang jalan menuju lokasi makam, tak banyak mobil yang bisa mencapai halaman atau tempat parkir terakhir di kompleks makam. Mobil jenis jip bisa dipaksa sampai ke lokasi, tetapi mobil jenis sedan akan banyak mengalami kerusakan apabila dipaksa sampai ke atas. Mobil jenis “multi purpose vehicle” (MPV) yang ditumpangi Gusti Moeng dan rombongan kecil berisi 6 orang, hanya bisa sampai di tempat parkir darurat di sela-sela pohon jati, setelah “dipaksa” memanjat jalan bebatuan tajam dan curam.
Karena posisi jalan terlalu curam dan berbatu, maka cara paling ideal yang ditempuh para peziarah dan semua peserta ritual haul siang itu, dengan menumpang “ojek” denga ongkos Rp 10 ribu/orang untuk sekali jalan. Bila ingin santai sambil menikmati udara segar dan pemandangan, cukup berjalan kaki seperti dilakukan banyak peserta haul, termasuk Gusti Moeng dan rombongan kecilnya. Sementara, banyak yang menumpang ojek karena membawa berbagai peralatan dan “uba-rampe” upacara adat yang harus disiapkan sebelum ritual haul dimulai.
“Upami mboten enten hajadan haul kados kala wingi ngoten nika, nggih mboten enten ojek kok pak. Amargi nggih jarang-jarang ingkang ziarah mriki. Mungkin makam Pangeran Benawa I niki paling sepen dibanding makam-makam sanes ingkang wonten Kabupaten Pati. Mungkin nggih tebih, mboten enten angkutan sing mriki. Upami mbeta kendaraan/mobil piyambak nggih rekaos, amargim merginipun tasih kados ngaten. Makam mriki nembe radi kathah ingkang ziarah menawi wulan Sura. Ning nggih mboten enten ojek sing mangkal. Menawi gadah nomer kontakipun, nembe enten ojek,” jelas KRT Madyo Reksohastono, menjawab pertanyaan iMNews.id.
Sesudah bertemu langsung dengan iMNews.id pada saat berlangsung ritual haul Pangeran Benawa I di lokasi makam, Jumat (30/6), abdi-dalem juru kunci makam itu sempat wawancara dengan telepon, termasuk siang tadi. KRT Madyo Reksohastono yang merasa sendirian di wilayah Kecamatan Pucakwangi sebagai abdi-dalem juru kunci sekaligus warga Pakasa calon wilayah anak cabang itu, banyak menurutrkan banyak hal terutama pengalamannya menjaga dan memelihara makam beserta kompleks lingkungannya. Termasuk, inisiatifnya merubah jalan setapak menjadi lebar menuju lokasi makam, hanya dibantu dua orang temannya dari Kabupaten Blora.
Memotret kondisi riil saat berlangsung ritual haul ditambah penjelasan KRT Madyo Reksohastono dan juga KRAT Mulyadi Puspopustoko selaku Ketua Pakasa Cabang Pati, bisa menjadi salah satu petunjuk untuk membaca dan menganilis pergerakan atau mobilitas para tokoh agama dan tokoh adat di masa Pangeran Benawa I dalam menjalani peran ketokohannya. Pangeran Benawa I disebutkan sebagai Sultan kedua di Kraton Pajang yang bergelar Sultan Prabuwijaya (1587-1588), dan situs peninggalan kratonnya hanya tersisa petilasan yang kini masuk wilayah Desa Gentan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.
Jarak antara situs Kraton Pajang dengan lokasi makam Dukuh Morotoko, Desa Wateshaji, Kecamatan Pucakwangi (Pati), diperkirakan sekitar 150 KM. Padahal, Pangeran Benawa I atau Sultan Prabuwijaya, adalah anak Jaka Tingkir atau Raja Kraton Pajang pertama yang bergelar Sultan Hadiwijaya dari istri Ratu Mas Cempaka yang tak lain adalah putri Raden Mas Trenggana, Raja ketiga Kraton Demak (1521-1550). Hampir semua leluhur garis keturunan Pangeran Benawa I berada di lajur kiri sebuah silsilah yang dimiliki juru kunci makam Kyai Ageng Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen.
Dengan pergerakan yang begitu jauh dan mobilitas yang diperkirakan cukup tinggi, maka sangat mungkin banyak pertanyaan akan muncul dari fakta-fakta itu, mengingat pada abad 15-16, beberapa alat transportasi atau angkutan yang paling memungkinkan saat itu adalah kuda (tunggang), gerobak yang ditarik sapi, kereta kuda atau berjalan kaki. Maka, ketika membaca pergerakan atau mobilitas Pangeran Benawa I yang pernah menjadi Raja kedua di Kraton Pajang, tetapi lokasi makamnya ada di sebuah puncak bukit Dukuh Morotoko, Wateshaji, Pucakwangi, Pati yang jaraknya sekitar 150 KM, apa yang sesungguhnya telah terjadi?
Mengapa makam Pangeran Benawa I bisa ada di puncak bukit yang dikelilingi hutan jati?, sangat jauh dari pemukiman warga desa, jauh dari pusat keramaian, jaraknya sekitar 35 KM dari pusat kota Kabupaten Pati. Dalam kondisi sekarang, walau hutan pohon jati sudah terhitung sangat jarang jaraknya, besar batang pohonnya rata-rata bergaris tengah 20 cm atau berumur di bawah 50 tahun, tetapi tetap saja sepi dari para peziarah, dan masih sepi dari kehidupan masyarakat desa terdekat. Tetapi, abdi-dalem juru kunci KRT Madyo Reksohastono bisa bertahan hidup menunggu makam, lebih dari 30-an tahun. (Won Poerwono-bersambung/i1)