Dua Kotak Wayang Para Dikeluarkan dalam Ritual “Ngisis Wayang Pedintenan” Kamis

  • Post author:
  • Post published:June 22, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Dua Kotak Wayang Para Dikeluarkan dalam Ritual “Ngisis Wayang Pedintenan” Kamis
MENCITAI PEKERJAAN : Salah seorang putri Sinuhun PB XIII, Gusti Devi ini, mulai mencintai "pekerjaannya" memelihara anak wayang sebagai karya seni warisan leluhur Dinasti Mataram, setiap digelar ritual "ngisis wayang", misalnya saat dikeluarkan dua kotak wayang "Para" di "gedhong" Sasana Handrawina, Kamis pagi (22/6) tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Gusti Devi Tampak Serius dan Teliti Mereparasi “Tangan Putus”

SURAKARTA, iMNews.id – Ritual “ngisis wayang padintenan” tiap Kamis yang digelar Kantor Pengageng Mandra Budaya di “gedhong” Sasana Handrawina, Kamis (22/6) mulai pagi hingga siang tadi, Pengageng Sasana Wilapa memerintahkan untuk mengeluarkan dua kotak wayang sekaligus yang disebut “wayang para”. Dua kotak wayang itu, terdiri dari wayang kategori “Purwa” satu kotak dan yang sekotak lagi adalah kategori wayang “Madya” atau Gedhog”. Yang menarik, Gusti Devi mendapat tugas untuk memimpin ritual itu, yang sejak awal tampak sangat telaten, teliti dan konsentrasi penuh untuk memberishkan bahkan merparasi wayang rusak.

Di tangannya bergantian memegang kuas ketika mendapati anak wayang yang akan dibersihkan hanya berdebu, tetapi mengambil tisu seandainya ada anak wayang yang berjamur. Selama duduk “nglesot” lesehan di atas lantai dalam “gedhong” Sasana Handrawina itu ikut membersihkan anak wayang, juga diselingi pekerjaan mereparasi bagian jari atau pergelaran tangan anak wayang yang nyaris putus. Dia mengambil jarum yang diselipi benang, yang kemudian digunakan untuk mengikat bagian lengan dan jari anak wayang yang hampir putus.

TELITI DAN TEKUN : Gusti Devi adalah satu di antara sejumlah wayah-dalem Sinuhun PB XII yang mau peduli dalam ritual “ngisis wayang” dan teliti serta tekun membersihkan anak wayang “Para” yang dikeluarkan dari kotak wayang “Purwa” dan kotak wayang” Madya” (Gedhog) di “gedhong” Sasana Handrawina, Kamis pagi (22/6) tadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Dua kotak Wayang Para ini sudah banyak yang rusak. Bahkan banyak yang sudah tidak bergapit dan tidak bertuding. Rencananya akan disatukan dalam satu kotak, tetapi kelihatannya tidak cukup. Karena jumlah masing-masing sudah banyak. Jadi tidak mungkin disatukan dalam satu kotak saja. Apalagi, rencana menambah dan mengganti sekat ‘eblek’ dan baru. Pasti akan bertambah volume isinya. Eblek lama rata-rata sudah pada remuk anyaman bambunya, dan ‘meprel’ kain pembungkusnya,” ujar RM Restu Budi Setiawan selaku tugas pendata jumlah dan ciri-ciri pendukung seisi kotak, menjawab pertanyaan iMNews.id, siang tadi.

Hal serupa juga dibenarkan RT Suluh Nata Adipura SSn MA selaku “tindhih abdi-dalem” petugas ritual “ngisis wayang”, siang tadi. “Wayang Para” yang diangini dalam ritual “ngisis wayang padintenan” ini, bukan termasuk wayang pusaka level satu, bahkan kotak wayang yang isinya kategori wayang “Purwa” di bawah level wayang Kiai Sukarena atau Kiai Mangu, sedangkan sekotak wayang yang isinya kategori wayang “Madya” atau “Gedhog”, sama levelnya dengan Kiai Mangu karena punya nama Kiai Banjet yang sebagian isinya dibuat di zaman Sinuhun PB II ketika masih di Ibu Kota Mataram, Kartasura.

EBLEK BARU : Beberapa “eblek” baru penyekat susunan anak wayang dalam kotak, hendak dimasukkan ke kotak untukmenata anak wayang, setelah selesai dikeluarkan dalam ritual “ngisis wayang” di “gedhong” Sasana Handrawina, Kamis pagi (22/6) tadi. Eblek lama rata-rata sudah hancur karena usia wayang dan perlengkapannya dibuat lebih dari 100 tahun lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Namun sayang, dua kotak wayang yang dikeluarkan dalam ritual “ngisis” kali ini, isinya banyak yang rusak, di antaranya tidak bergapit dan tidak ada tangkai atau tuding yang digunakan untuk memainkan tangan anak wayang. Dua kotak itu adalah bagian dari 17 kotak wayang pusaka koleksi kraton yang baru mendapat giliran diangin-anginkan, setelah sekitar 10 kotak lain diangini sejak 17 Desember 2022. Begitu ada peristiwa “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” pada 17/12/2022 itu, “ngisis wayang” menjadi prioritas mendesak, karena selama 5 tahun lebih sejak 2017, “nyaris” tidak pernah ada yang dikeluarkan.

“Yang kotak Kiai Banjet itu, isinya wayang ‘Gedhog’ yang dibuat pada zaman Mataram Kartasura. Sudah banyak yang rusak. Biar nanti dilaporkan abdi-dalem yang tindhih kepada Pengageng Sasana Wilapa. Itu ada Gusti Devi, biar belajar mengenal bersama kami dan para abdi-dalem yang bertugas. Seharusnya semua putra-putri Sinuhun ikut hadir dalam upacara-upacara seperti ini. Biar bisa mengenal dekat para sentana dan abdi-dalem yang bertugas. Biar bisa belajar memahami dari kesempatan seperti itu. ‘Kan mereka nanti yang akan menggantikan kita semua,” jelas KPP Wijoyo Adiningrat selaku Wakil Pengageng Mandra Budaya.

MEMBAGI DUA : Dari dua kotak wayang “Purwa” dan wayang “Madya” Kiai Banjet yang dikeluarkan dalam “ngisis wayang” di “gedhong” Sasana Handrawina, Kamis pagi (22/6) tadi, sedianya hendak digabung dalam satu kotak, tetapi akhirnya dipisahkan antara yang masih utuh dan yang sudah rusak di masing-masing kotak yang dibatasi dengan sekat “eblek” baru. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam ritual “ngisis wayang padintenan” Kamis pagi hingga siang tadi, adik GKR Rumbai Kusumadewayani dari lain ibu yang bernama GRAy Devi Lelyana Dewi ditugasi Gusti Moeng untuk menunggui jalannya ritual untuk mengangin-anginkan sekotak wayang “pura” dan sekotak wayang “Madya” Kiai Banjet. Putri Sinuhun PB XIII yang akrab disapa Gusti Devi itu, termasuk salah satu dari wayah-dalem Sinuhun PB XII yang cinta pada seni budaya, sering bergabung dalam kerja ritual dengan para sentana Pengageng Bebadan Kabinet 2004 yang sedang bertugas, juga para abdi-dalem yang punya kewajiban dalam ritual itu.

Selain KPP Wijoyo Adiningrat, tampak juga KP Purwo Taruwinoto selaku Sekretaris Pengageng Mandra Budaya, yang punya kewajiban beberapa bidang tugas seperti “ngisi wayang”, pedalangan, karawitan, prajurit dan sebagainya. Sedangkan para abdi-dalem yang bertugas dalam ritual “ngisis wayang”, selain “tindhih” yang diemban RT Suluh Nata Adipura, ada sekitar 10 abdi-dalem yang kebanyakan punya latar-belakang profesi dalang misalnya Ki RT Purnomo Carito Adipuro atau mahasiswa jurusan seni pedalangan. Tetapi sudah dua Kamis ini, ritual “ngisis wayang padintenan” tidak tampak rombongan mahasiswa yang biasanya melakukan studi lapangan.

TINDHIH ABDI-DALEM : Ki RT Suluh Nata Adipura, seorang dosen di jurusan pedalangan yang sudah lama suwita di kraton jauh sebelum 2017, kini dipercaya menjadi “tindhih” abdi-dalem saat ritual “ngisis wayang” digelar di Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)TINDHIH ABDI-DALEM : Ki RT Suluh Nata Adipura, seorang dosen di jurusan pedalangan yang sudah lama suwita di kraton jauh sebelum 2017, kini dipercaya menjadi “tindhih” abdi-dalem saat ritual “ngisis wayang” digelar di Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam pengamatan peneliti sejarah dari Lokantara Pusat (Jogja), Dr Purwadi, ritual “ngisis wayang” diakui bisa dikembangkan menjadi ajang destinasi wisata, tetapi bagi wisatawan secara terbatas. Yaitu para wisatawan yang berlatarbelakang pelajar atau mahasiswa yang sedang melakukan studi lapangan untuk mata pelajaran atau mata kulisah tentang seni wayang dan pedalangan yang diambil. Karena, dari kesempatan seperti itu, dunia luar khususnya para pelajar dan mahasiswa yang mewakili kalangan generasi muda, bisa mengenal atau diperkenalkan dengan karya-karya seni budaya peninggalan nenek moyang leluhur bangsa ini.

“Saya setuju itu. Ngisis wayang merupakan cara edukasi yang baik bagi masyarakat luas. Bisa dimanfaatkan terutama kalangan pelajar atau mahasiswa, untuk membatasi kualitas dan kuantitas wisatawan yang berkunjung. Kalau dibatasi dalam lingkup itu, mudah pengaturannya. Saya setuju, ada persyaratan adat yang harus dipenuhi. Misalnya, harus mengenakan busana adat seperti yang dikenakan para petugas upacara adat ‘ngisis wayang’ itu. Dalam kesempatan itu bisa dilakukan tanya-jawab, karena pasti ada dosen atau guru pembimbingnya,” jelas anggota Pakasa Cabang Jogja itu. (won-i1)