Upaya Mewujudkan “Tri Prasetya” Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma
IMNERWS.ID – HARI pertama Kraton Mataram Surakarta dilibatkan dalam salah satu dari rangkaian kegiatan dalam rangka peringatan Hari Raya Waisak ke-2567 BE secara nasional yang dipusatkan di kompleks Candi Borobudur, Magelang, Sabtu (3/6), adalah kesempatan yang sangat baik dan penting bagi GKR Wandansari Koes Moertiyah melakukan edukasi publik (iMNews.id, 5/6). Karena di sela-sela bhakti sosial tanam pohon “Sarwa Becik” di Taman Maha Bodhi di Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur itu, Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat itu, diberi kesempatan menjawab dan menjelaskan tentang pohon “Sawo Kecik”.
“Kata ‘Sawo Kecik’, dalam bahasa Jawa dan bagi masyarakat Jawa khususnya masyarakat adat di Kraton Mataram Surakarta, punya makna ‘sarwa becik’ atau selalu memberi kebaikan yang menjadi harapan kita semua. Makna filosofi dalam kehidupan masyarakat adat Jawa terutama di kraton, kehidupan akan bermakna apabila selalu berbuat baik atau melakukan semua kebajikan terhadap kehidupan di muka bumi ini. Maka, ketika kraton mulai dibangun dan dilengkapi ‘isen-isennya’ (segala pengisinya-Red), di antaranya dipilih pohon Sawo Kecik untuk ditanam, dan hingga kini menghias halaman depan Pendapa Sasana Sewaka,” tunjuk Gusti Moeng.
Dalam suasana mengikuti bhakti sosial tanam pohon “Sawo Kecik” yang sebenarnya sudah biasa dilakukan orang, tetapi ketika dibungkus dengan prosesi ritual bahkan dengan sentuhan ritus doa terutama saat dilantunkan kidung “Singgah-singgah Kala Singgah”, tentu suasananya menjadi lebih fokus dan berkurang banyak dari upaya siapapun untuk bercakap-cakap apalagi bercengkerama. Oleh sebab itu, ketika Gusti Moeng memenuhi permintaan untuk menjelaskan makna “Sawo Kecik” dalam pidato sambutan yang diberikan, unsur-unsur edukasi tentang makna filosofi yang disampaikan terkesan diapresiasi secara mendalam.
Meski begitu, sangat dipastikan muncul banyak pertanyaan di benak di antara sekitar 200-an orang yang hadir mengikuti prosesi ritual tanam pohon “Sarwa Becik” di Taman Maha Bodhi, Sabtu sore itu. Sebab, pohon Sawo Kecik termasuk tanaman yang dulunya banyak menghias di berbagai tempat khususnya di setiap halaman rumah, gedung dan “turus jalan”, tetapi sejak tahun-tahun 1980-an sedikit demi sedikit mulai langka karena dianggap tidak bermanfaat terutama produk buahnya, atau menjadi korban karena perubahan tata ruang lingkungan terbuka, kampung, kota dan sebagainya demi kebutuhan yang dianggap lebih bermanfaat.
Meski begitu, dua orang pemandu acara atau MC yang mempersilakan Gusti Moeng untuk memberi penjelasan tentang makna pohon Sawo Kecik yang ditanam di lingkungan Taman Maha Bodhi sore itu, secara tidak langsung juga memberi pengantar yang bisa melengkapi makna pohon langka itu. Beberapa pohon Sawo kecik yang menghiasi taman yang juga difungsikan sebagai tempat peribadatan agama Budha bagi pemiliknya itu, disebutkan merupakan salah satu pohon yang ketika sudah mulai berbuah, akan terus berbuah sepanjang tahun tanpa berhenti dan buahnya walau kecil-kecil, bisa (tidak berbahaya-Red) dikonsumsi manusia.
“Selain bermakna selalu berusaha menyebar ‘kabecikan’ atau kebajikan kepada semua kehidupan di muka bumi, dari ajaran tentang nilai pohon Sawo Kecik, ada penjelasan berikutnya. Yaitu, pohon ini ketika berbuah sampai pada saatnya buah itu benar-benar matang, ditakdirkan Allah SWT atau Tuhan Yang Maha Esa, putus tangkainya dan jatuh ke tanah. Di saat itulah, buah Sawo Kecik baru boleh dikonsumsi manusia. Jadi, walaupun di halaman Pendapa Sasana Sewaka penuh pohon Sawo Kecik dan semua berbuah, tetapi dilarang dipetik. Buahnya baru boleh dimakan, sesudah jatuh ke tanah,” jelas Gusti Moeng.
Setelah menjelaskan makna pohon Sawo Kecik yang identikan dengan “Sarwa Becik” dan menjadi harapan manusia untuk selalu memberi kebaikan atau selalu berbuat kebajikan dalam kehidupan, Gusti Moeng mengaitkan hal itu dengan “Tri Prasetya” yang pernah ditegaskan Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Sang deklarator Mataram Islam itu benar-benar menegaskan, bahwa keberadaan “nagari” Mataram Islam harus menjadi tempat “pengayom” atau perlindungan bagi semua umat manusia dan kehidupan, bukan hanya untuk satu atau dua golongan agama tertentu.
Namun sebelum memasuki penjelasan soal “Tri Prasetya”, Gusti Moeng terlebih dahulu menyinggung sedikit mengenai struktur tata ruang di lingkungan wilayah inti kedhaton, khususnya keberadaan halaman yang dipenuhi pohon “Sarwa becik” dan di arah barat atau depannya berdiri sebuah bangunan Pendapa Sasana Sewaka. Dalam kegiatan upacara adat yang rutin dilakukan setiap tahun misalnya tingalan jumenengan raja, Pendapa Sasana Sewaka menjadi tempat “pisowanan agung” dan pusat upacara ulang tahun tahta yang ditandai dengan duduknya raja atau Sinuhun di singgasana dan tempat digelar tarian sakral Bedaya Ketawang.
Ada dua komponen penting yaitu halaman yang dipenuhi pohon “Sarwa Becik” yang jumlahnya selalu diupayakan 99 pohon dan komponen bangunan Pendapa Sasana Sewaka. Menurut Gusti Moeng, halaman yang tanahnya tertutup hamparan pasir adalah sebuah edukasi yang menggambarkan jagad raya tempat manusia menjalani kehidupannya, di situ terasa panas bila siang dan dingin di waktu malam. Sedangkan keberadaan pohon Sawo Kecik, merupakan harapan agar manusia dalam menjalani hidupnya sebisa mungkin selalu menyebar “kabecikan”. Agar ketika sudah kembali ke hadapanNya, yang ditinggalkan hanya amalan yang “sarwa becik” saja.
“Sesudah menjalani hidup, ketika berjalan melangkah ke depan memasuki bangunan Pendapa Sasana Sewaka, di situ diajarkan tentang gambaran manusia setelah dipanggil Allah SWT, memasuki alam menuju kehadapanNya. Semua itu tidak lepas dari posisi Sinuhun sebagai seorang raja, kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai pemimpin agama. Dan dalam menjalankan fungsi-fungsi itu, ada ‘wewaler’ atau batasan yang memagarinya. Sinuhun Sultan Agung mengeluarkan ‘wewaler’ bagi diri dan seluruh elemen Kraton Mataram Islam, yang disebut Tri Prasetya itu,” tunjuk mantan anggota DPR RI dua periode terpisah itu. (Won Poerwono-bersambung/i1)