Resi Durna dan Patih Sengkuni Juga “Hadir” di Sasana Handrawina
IMNEWS.ID – DALAM dua kali ritual “Ngesis Wayang Padintenan”, yaitu Kiai Pramukanya pada Kamis (28/5) dan Kiai Sri Wibawa (Wibowo-Red), Kamis (25/5), ada cara berkomunikasi yang berbeda diperlihatkan Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA). Gaya berkomunikasi dengan publik secara luas yang disebarkan melalui media ini, terkandung pesan ungkapan keterbukaan yang semakin diperlihatkan Kraton Mataram Surakarta, pesan serius tentang peningkatan intensitas fungsi edukasi kraton, dan sekaligus pesan promo objek wisata baru “ngesis wayang”.
Sebuah tafsir dan analisis terhadap gaya Gusti Moeng berkomunikasi dengan publik dengan caranya itu, memang tidak diungkapkan dengan format baku dan resmi tentang bagaimana menyampaikan konten promo dan marketing objek wisata. Tetapi dari gaya komunikasinya saat membawa dua anak wayang tokoh dari Kerajaan Astinapura, Resi Durna atau Begawan Kumbayana, juga Patih Sengkuni itu, sangat menarik, karena dibawa keluar dari ruang “gedhong” Sasana Handrawina, dan diperlihatkan kepada iMNews.id yang sejak pagi siap di depan pintu ruang yang dijadikan ritual “ngesis wayang” itu.
“Niki lo mas, Begawan Durna kalih Patih Sengkuni sing gawe rusak kraton. Nggih niki sing gawe rusak, terutama Sengkuni. Sengkuni-ne kathah. Njero (kraton) nggih enten, njaba (kraton) nggih enten. Kraton nganti ditutup 5 tahun malah isine rusak kabeh, niku nggih merga polahe Sengkuni-Sengkuni niki. Kaya ngeten niki lo wujude Sengkuni,” ucap Gusti Moeng sambil mendekatkan kedua tokoh wayang yang dipegangnya, untuk memudahkan iMNews.id memotretnya, Kamis siang (18/5) itu.
Seperti biasa, iMNews.id selalu ikut mengabadikan hampir setiap upacara adat yang secara rutin digelar Kraton Mataram Surakarta, sejak “Bebadan Kabinet 2004” terbentuk dan Gusti Moeng dipercaya menjabat Pengageng Sasana Wilapa, hingga sebelum kraton ditutup secara sepihak oleh Sinuhun PB XIII dengan “para Sengkuni” serta “Durna”-nya, April 2017. Bahkan, sejak 1982 ketika penulis masih aktif di surat kabar Suara Merdeka, hampir tak melewatkan setiap ada upacara adat digelar di kraton.
Oleh sebab itu, penulis bisa membedakan suasana bekerja meliput/mengabadikan peristiwa demi peristiwa budaya berbagai macam ritual di kraton, pada setiap dekadenya, pada setiap ada perubahan situasi dan kondisi secara umum dan sebagainya. Karena itu pula, melakukan liputan upacara adat di kraton sebelum titik perubahan 1998 dengan sesudahnya, antara mulai tahun 2004 dengan setelah 17 Desember 2022, terasa banyak perbedaan dalam beberapa hal, baik saat komposisi para pejabat Bebadan sudah berubah, maupun ketika masih ada beberapa tokoh yang sama, misalnya Gusti Moeng.
Tetapi bagi penulis, upaya untuk selalu menyesuaikan dengan ketentuan persyaratan adat, lebih banyak memberi jaminan untuk mendapatkan kesempatan untuk melakukan tugas-tugas di bidang jurnalistik. Seiring dengan kembalinya Gusti Moeng memegang otoritas Pengageng Sasana Wilapa di satu sisi, dan upaya tetap menghormati tata aturan adat sebagai tatacara peliputan di sisi lain, bisa menciptakan keinginan bersama untuk mewujudkan tujuan utama yang ideal, yaitu meningkatkan fungsi edukasi kraton dan keterbukaan akses informasi bagi publik secara luas.
Karena akselerasi dari beberapa kebutuhan itulah, maka peristiwa Gusti Moeng membawa keluar Resi Durna dan Patih Sengkuni untuk diperlihatkan lebih dekat kepada iMNews.id, adalah dalam rangka beberapa kebutuhan untuk kepentingan publik secara luas. “Hadirnya” Resi Durna dan Patih Sengkuni di ajang ritual “Ngesis Wayang Padintenan” Kiai Pramukanya Kamis siang (18/5) itu, punya banyak makna selain sekadar menyegarkan suasana dengan canda-tawa. Dan suasana canda tetapi punya makna ideal itu, juga diulang Gusti Moeng saat “ngesis wayang” Kiai Sri Wibowo, Kamis (25/5).
Siang itu (iMNews.id, 25/5), di saat proses membersihkan anak wayang dari debu dan jamur hampir selesai, Gusti Moeng kembali membawa sepasang anak wayang ke tempat penulis yang selalu siap dengan bidikan kamera. Tokoh Panji Inu Kertapati dan tokoh sang istri, Dewi Sekartaji, diperlihatkan untuk menunjukkan bahwa sekotak wayang Kiai Sri Wibawa yang diritualkan siang itu, adalah karya pada masa Sinuhun PB X (1893-1939). Namun “tatahan dan sunggingan” pada busana yang dikenakan Dewi Sekartaji, adalah “Dodot Alas-alasan” seperti yang dikenakan para penari Bedaya Ketawang.
“Jadi, Sinuhun PB X hendak menunjukkan bahwa Dodot-Alas-alasan yang selalu dipakai para penari Bedaya Ketawang, asalnya atau sudah diperkenalkan sejak zaman Kraton Kediri (abad 12). Sultan Agung (Prabu Hanyakrakusuma-Red), mengabadikan karya leluhurnya dari Kraton Kediri itu, untuk menjadi simbol tari Bedaya Ketawang yang diciptakannya. Maka, Mataram Surakarta wajib melestarikannya pula. Masyarakat secara luas, kini juga ikut melestarikan karena meniru Dodot itu untuk upacara pernikahan adat Jawa gaya Surakarta,” jelas Gusti Moeng.
Sekotak wayang “Gedhog” Kiai Sri Wibawa yang punya salah satu ciri “tatahan dan sunggingan” Dodot Aalas-alasan” yang dikenakan Dewi Sekartaji, berbeda dengan sekotak wayang “Gedhog” Kiai Sukarena yang masuk kategori wayang “Klithik” atau “Krucil” (berukuran kecil-Red) yang diesis dalam ritual Kamis sebelum bulan puasa. Gusti Moeng juga menunjukkan salah satu tokoh sejarah keturunan Brawijaya V di zaman antara Kraton Demak dan Kraton Pajang, yaitu tokoh Prabu Sri Makurung Handayaningrat, yang telah menurunkan leluhur Gusti Moeng dari garis ibu (KRAy Pradapaningrum-Red). (Won Poerwono-bersambung/i1)