Di Luar “Pasewakan”, Lima Unit Reog dari Pakasa Magetan “Bikin Heboh”
SURAKARTA, iMNews.id – Kira-kira seperti yang tampak di halaman Kamandungan sejak pukul 09.00 hingga sore tadi, Sabtu (6/5) hari ini, ketika Kraton Mataram Surakarta menggelar pisowanan wisuda abdi-dalem yang dilakukan Pengageng Sasana Wilapa di Bangsal Smarakata. Di dalam begitu sibuk ada prosesi upacara wisuda dan layanan pengambilan kekancingan, foto bersama dan sebagainya, di luar “pasewakan” (pisowanan-Red) ada lima unit dhadhak-merak sedang heboh beraksi diiringi gamelan reog persembahan Pakasa Cabang Magetan (Jatim).
“Katanya biar gayeng…? Wong ini hanya lima dhadhak-merak saja kok…. Pokoknya, kalau Gusti Moeng dhawuh karena Kraton Mataram Surakarta kagungan kersa, kami pasti sowan dengan kesenian khas kami, Reog Ponorogo. Kami siap menghebohkan setiap hajad-dalem yang digelar kraton. Kami selalu siap. Gusti Moeng tinggal dhawuh saja. Tetapi khusus kali ini, kami mengantar reog persembahan Pakasa Cabang Magetan. Sebagai ungkapan syukur Pakasa Magetan,” ujar KRAT Sunarso.
KRAT Sunarso yang mendapat “sesebutan” Suro Agul-agul, adalah Ketua Paguyuban Reog Pakasa Kraton Surakarta Hadiningrat yang disingkat Paguyuban Reog “Katon Sumirat”. Yang bersangkutan juga menduduki posisi Ketua II Pakasa Cabang Ponorogo , tetangga dekat kabupaten di Provinsi Jatim. Menurutnya, aksi heboh kesneian reog yang selalu disajikan di kraton saat ada hajadan atau menggelar upacara adat, sudah sejak tahun 2004 dilakukan, tetapi dihentikan di tahun 2017 karena Gusti Moeng dan para pengikutnya “diusir” dari kraton dan Sinuhun PB XIII menutup kraton hingga 2022.
Halaman Kamandungan yang letaknya beberapa puluh meter di depan pintu masuk Kori Sri Manganti Lor, adalah ruang terbuka uang dijadikan jalur lalu-lintas umum segala jenis kendaraan, rutin tiap hari mulai pukul 05.00 pagi sejak “Lawang Gapit” atau Kori Brajanala di empat penjuru mata angin dibuka sampai kembali ditutup pada pukul 22.00 WIB. Keramaian lalu-lintas yang melewati ruang halaman itu tergolong tinggi, hingga sering mengalahkan kepentingan layanan pariwisata yang berkunjung di kraton, termasuk yang dialami suguhan atraksi kesenian reog untuk mendukung keperluan kraton.
Meski begitu, pertemuan dua atau lebih kepentingan yang sebenarnya ada pihak yang dirugikan ini, tak pernah menjadi persoalan yang serius hingga mendatangkan solusi yang serius pula. Karena senyatanya, upacara wisuda bagi 160-an abdi-dalem yang digelar Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat di Bangsal Smarakata, tetap berlangsung lancar, aman dan tuntas dalam durasi sekitar dua jam, yaitu selesai pukul 11.00 WIB. Padahal, dalam perhelatan seperti itu, terlibat pula puluhan bahkan ratusan orang dari pihak tuan rumah (kraton) maupun tamunya (keluarga wisudawan).
Kelancaran jalannya upacara wisuda abdi-dalem kali ini memang patut dicatat, karena baru kali pertama atau “perdana” yang digelar Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat setelah lima tahun lebih berada di luar kraton hingga terjadi “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” pada 17 Desember 2022. Karena, selama “berjuang” di luar kraton, Gusti Moeng dan “Bebadan Kabinet 2004” menggelar upacara wisuda abdi-dalem, lebih banyak dilakukan di masing-masing daerah Pakasa cabang yang menghadirkan Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat itu.
Oleh sebab itu iMNews.id mencatat, pemandangan berlangsungnya rangkaian upacara wisuda abdi-dalem pagi hingga siang tadi, ada bagian-bagian yang sangat berbeda dengan yang dilakukan Gusti Moeng bersama rombongan dari kraton di daerah-daerah Pakasa cabang. Tetapi, juga sudah berubah ketika dibanding rangkaian tatacara yang pernah dialami sebelum 2017, setidaknya sejak “Bebadan Kabinet 2004” terbentuk. Ada sebuah upaya perbaikan urut-urutan rangkaian tatacara itu, dengan harapan menjadi sederhana, sistematis, tetap memenuhi kaidah adat tetapi tidak bertele-tele.
Dan semuanya itu tampak sekali ketika sejumlah calon wisudawan sekitar 10-an orang diundang KP Siswanto Adiningrat yang bergantian dengan KP Budayaningrat yang bertindak selaku juru pambiwara, maju dan duduk di tengah ruang Bangsal Smarakata. Setelah KPHA Sangkoyo Mangunkusumo membacakan dasar aturan dan sumpah prasetya sesuai “gawa-gawene” dan “labuh-labete”, langsung dilanjutkan dengan memanggil satu-persatu di antara 10-an orang itu untuk menerima “partisara kekancingan”, dan sempat dilanjutkan dengan pengalungan samir oleh KRMRAP Sinawung Waluyoputra.
Tetapi, rangkaian urutan tatacara itu secara spontan langsung diganti atas permintaan Gusti Moeng. Yang tadinya dipanggil satu-persatu dan maju untuk menerima “map” putih dari KPHA Sangkoyo Mangunkusumo, langsung diminta berjalan meninggalkan Bangsal Smarakata. Mereka langsung menuju meja pembagian piagam atau “partisara” berisi surat keputusan (SK) atau “kekancingan” tentang gelar sesebutan sesuai nama masing-masing wisudawan, yang sudah disiapkan abdi-dalem staf kantor Sasana Wilapa, Yemi Triana dan kawan-kawan di lobi Kori Sri Manganti Lor.
Oleh sebab itu, begitu urutan tatacara wisudanya dirubah dan lalu-lintasnya ditambah menjadi dua arah, prosesnya menjadi cepat sekali. Dalam waktu sekitar 40 menit, pembagian secara simbolis berupa “map” putih kosong itu selesai. Karena, pengalungan samir seperti yang sudah terlanjur dilakukan KRMRAP Sinawung Waluyoputra kepada 2 atau 3 wisudawan di awal, tidak lagi terjadi. Samir baru didapat masing-masing wisudawan saat mengambil partisara kekancingan, sesuai nama yang tertulis dalam “map” putih yang diserahkan KPHA Sangkoyo Mangunkusumo.
Terlepas adanya revisi secara spontan terhadap urutan rangkaian tatacara penyerahan “kekancingan”, proses wisuda terhadap 160-an abdi-dalem pagi hingga pukul 11.00 WIB siang tadi menjadi begitu lancar dan cepat. Meskipun, tidak ada lagi peristiwa pengalungan samir warna “merah-kuning emas” seperti selama 5 tahun dilakukan Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat saat menggelar upacara wisuda serupa di luar kraton. Dan berkurangnya peristiwa pengalungan samir itu, sudah terbayar dengan foto bersama Gusti Moeng dan tokoh-tokoh lain di depan view bangunan khas dalam kompleks kraton.
Selain bisa berfoto bersama di depan latar-belakang banyak sudut yang menjadi view penting dan menarik di kraton, menurut Ketua Pakasa Cabang Pati, KRAT Mulyadi Puspopustoko, bisa ikut hadir pada pisowanan uapacara wisuda di kraton kali ini sudah sangat membahagiakan. Walau hanya mengantar tiga warganya yang ikut diwisuda karena mendapat “ganjaran pangkat dan sesebutan” siang tadi, dirinya merasa bangga dan benar-benar merasakan kebahagiaan karena baru kali pertama mengikuti tatacara adat wisuda abdi-dalem di dalam kraton yang digelar di Bangsal Smarakata.
“Sudah 5 tahun saat kraton ditutup ditambah 2 tahun sebelumnya, kami tidak pernah bisa sowan merasakan kebahagiaan dalam peristiwa seperti ini. Saya baru kali ini merasakan suasana bahagia dalam suasana tatacara adat wisuda abdi-dalem. Seluruh warga Pakasa pati mendoakan kepada Gusti Moeng, semoga bisa menjalankan tugas berat ini. Semoga beliau selalu mendapatkan kesehatan dan keselamatan,” pinta KRAT Mulyadi yang duduk bersanding KRAT Sunarso Suro Agul-agul (Ketua II Pakasa Ponorogo) yang ikut hadir memimpin aksi “demo” 5 unit reog Ponorogo di halaman Kamandungan, siang itu.
Di antara 160-an abdi-dalem yang diwisuda siang tadi, ada sekitar 50-an orang warga Desa Jatisaba, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo yang selama ini menjaga dan merawat Masjid Agung Jatisaba, tempat Sinuhun PB IV berguru agama Islam saat jumeneng nata (1788-1820). Bahkan menurut KPH Edy Wirabhumi yang melantik para wisudawan itu menjadi Pengurus Pakasa Cabang Sukoharjo, masjid itu sangat penting bagi sejarah perjalanan Kraton Mataram Surakarta, karena dipindahkan ke Jatisaba sebelum Masjid Agung yang berukuran lebih besar dibangun. (won-i1)