Tak Mau Disebut “Kecelik”, Setelah Tahu Jalur Politik tak Menjanjikan
IMNEWS.ID – DALAM satu bagian perjalanan Gusti Moeng untuk mewujudkan amanat Sinuhun PB XII menagih “janji pemerintah” agar mengembalikan status Provinsi Daerah Istimewa Surakarta, jalan seakan terbuka untuk menempuh lewat jalur politik. Sebab itu, setelah gagal mengulang sukses di periode II pada Pemilu 2004, dicoba mengulang di Pemilu 2009 melalui partai politik berbeda, dan sukses kembali masuk gedung DPR RI hingga berakhir saat datang Pemilu 2014, seiring berakhirnya periode kedua kepemimpinan Presiden SBY (2009-2014).
Peluang yang diyakini menjadi jalan lapang menuju terwujudnya kembali status Provinsi Daerah Istimewa Surakarta, bahkan juga ditangkap adik kandungnya, GKR Ayu Koes Indriyah melalui jalur Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, dan berhasil masuk gedung MPR RI itu dua periode berturut-turut, yaitu 2009-2014 dan 2014-2019. Bahkan, beberapa tokoh dari keluarga besar garwadalem KRAy Pradapaningrum seperti GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani dan putra tunggal GKR Ayu Koes Indriyah juga menyusul masuk lembaga legislatif di tingkatan berbeda, namun semua gagal.
Di saat beberapa tokoh itu berusaha mencoba ikut memperjuangkan kembalinya status Provinsi DIS lewat jalur politik praktis itu, Gusti Moeng memutuskan untuk berhenti dan meninggalkan gelanggang politik. Sang suami, KPH Edy Wirabhumi, juga segera menjaduh dari jabatan politik praktis setelah masa bhakti kepemimpinnya habis, yaitu Ketua DPC Partai Demokrat (2014-2019). Keduanya memutuskan melepaskan segala aktivitas politik praktis (kepartaian-Red), agar bisa fokus mengurus Kraton Mataram Surakarta yang semakin terpuruk karena “diombang-ambingkan” situasi dan kondisi politik dan suasana perubahan di luar itu, terutama terjadinya insiden “mirip operasi militer” 2017.
“Saya kurang setuju kalau disebut kecelik. Tetapi lebih tepat, ada pengaruh kekuatan yang sangat besar yang bisa membelak-belokkan aspirasi dan harapan. Contohnya, ya saat saya di Komisi II DPR RI itu, akses untuk mewujudkan gagasan dalam upaya menuju dialog dan sumbang saran untuk merancang undnang-undang keistimewaaan Surakarta, hampir tidak ada. Semuanya seakan tertutup, karena alasan partainya tidak punya agenda itu. Contoh kedua, uji materi UU No 10/1950 yang sudah kami coba ke MK RI 2012, ternyata ada pihak-pihak yang sengaja mengganjal hingga gagal,” jelas Gusti Moeng mengisahkan perjuangannya melalui jalur politik, menjawab pertanyaan iMNews.id, beberapa waktu lalu.
Ketika membaca perkembangan situasi sosial politik secara umum di Tanah Air pasca-1945 hingga berganti-ganti rezim pemerintahan, sedikitpun tak pernah terdengar dari kalangan penguasa yang pernah atau tak ada yang proaktif menyuarakan soal status Provinsi DIS. Kedatangan pakar hukum tata negara yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra ke Kraton Mataram Surakarta di tahun 2012, memang banyak disebutkan tentang peluang yang gampang untuk mengembalikan status Provinsi DIS. Karena, bukan termasuk kategori pemekaran daerah, melainkan karena secara mendasar sudah ada landasan konstusionalnya, yaitu pasal 18 UUD 45.
Tetapi, Yusril Ihza Mahendra yang saat itu mulai aktif kembali sebagai pengacara hebat, terkesan bisa menjamin suksesnya pengembalian Provinsi DIS melalui jalur hukum itu ternyata tidak seperti yang dipersepsikan publik. Karena, saat proses persidanan uji materi UU No 10/1950 tentang pembentukan Provinsi Jateng di Mahkamah Konstitusi (MK) RI tahun 2012 itu, Yusril Ihza Mahendra tidak menjadi pengacara Gusti Moeng dan sejumlah keluarga Kraton Mataram Surakarta selaku pemohon. Tim pengacara yang sudah bekerjasama dengan kraton saat itu, dari LKBH UII Jogja, karena waktu itu honor jasa kepengacaraan sekelas Yusril Ihza Mahendra disebut-sebut sudah mencai Rp 1 M.
“PR” atau pekerjaan rumah besar yang sedang dihadapi Gusti Moeng sebagai pemimpin Bebadan (mirip Perdana Menteri-Red) “Kabinaet 2004” sekaligus Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA), adalah mewujudkan “kesinambungan” kepemimpinan di Kraton Mataram Surakarta untuk meneruskan tonggak-tonggak penegakan sistem tata-nilai paugeran adat yang sudah “diperbaiki” dan “diperkuat” selama ini. Agenda lain dari dua “PR” besar itu, adalah terus mencari jalan untuk berupaya mengembalikan status Provinsi DIS, seandainya Presiden Jokowi dan anaknya yang menjabat Wali Kota Surakarta yang asal “Solo” itu benar-benar sudah tidak bisa diharapkan lagi “mau membantu”.
Dua agenda besar itu, salah satunya harus bisa diwujudkan ketika “track” yang sudah mulai dilalui sudah dalam posisi jalur yang benar menurut berbagai takaran, khususnya sistem tata-nilai paugeran adat. Karena, kesinambungan yang diharapkan bisa menjamin upaya mengembalikan kewibawaan, harkat dan martabat guna menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta itu, bisa terwujud kalau proses alih kepemimpinan nanti berjalan sesuai harapan. Bila gagal, nasib Kraton Mataram Surakarta bisa seperti Kadipaten Mangkunegaran dan lebih dari 50-an “kraton” lain di Nusantara, yang bervariasi mulai dari “mati karena merana”, “hilang jejak”, kawasan fisiknya ada tetapi jadi bangunan museum belaka, orangnya ada tetapi sudah tidak ada aset adat yang diurusi, atau karena orang-orangnya sudah tidak memiliki “kemampuan secara adat” untuk mengurusnya.
Dua agenda atau “PR” besar itu, jelas akan menjadi beban berat bagi masyarakat adat yang hingga kini tetap menaruh kepercayaan kepda Gusti Moeng untuk memimpin perjuangannya. Salah satu yang menambah beban terasa semakin berat, karena ada sejumlah figur tokoh terdekat yang “terlalu cepat” mendahului “dipanggil” Sang Maha Pencipta. GPH Haryo Mataram, GRAy Brotodiningrat bahkan puteranya yang bernama KPH Broto Adiningrat di barisan sesepuh “pepundhen” yang sangat dihormati paling awal mendahului, kemudian sejumlah nama juga menyusul seperti BKPH Prabuwinoto, KGPH Kusumoyudo, KRMH Satryo Hadinagoro bersama sang istri (GKR Galuh Kencana), GKR Sekar Kencana, GKR Retno Dumilah, GPH Nur Cahyaningrat, KPH Kusumo Wijoyo dan KP Winarno Kusumo.
Berpulangnya sederetan nama-nama tokoh “pejuang penegak” paugeran adat itu, tentu saja membuat Gusti Moeng kehilangan tempat melakukan diskusi, dialog dan mencari pertimbangan untuk memutuskan sesuatu yang terbaik bagi Kraton Mataram Surakarta. Karena, ada sejumlah agenda termasuk dua agenda besar yang harus “diantar” untuk diwujudkan pada suatu saat kelak, karena tahap itu akan menentukan “nasib” Kraton Mataram Surakarta di masa mendatang. Karena, produk peradaban kraton sudah terbukti bermanfaat bagi warga peradaban secara luas, yang akan tetap diharapkan menjadi sumber inspirasi dan sumber gerakan pemeliharaan peradaban di masa mendatang. (Won Poerwono – bersambung/i1)