Perda Tata-Ruang Baluwarti Mutlak Perlu, Agar Tak Mengulang Kesalahan yang Sama
IMNEWS.ID – SEBELUM tahun 2017, Lembaga Hukum Kraton Surakarta (LHKS) pernah menyelesaikan sebuah kasus tentang pemanfaatan tanah dan bangunan eks milik seorang Pangeran putra Sinuhun PB X di kampung Gambuhan, yang ada di dalam tembok atau Kelurahan Baluwarti. Oleh keluarga yang “merasa mewarisi” hunian kompleks “ndalem” itu, lalu dibangun tempat ibadah dan dihibahkan kepada pihak lain, tanpa sepengetahuan pihak-pihak berkepentingan khususnya otoritas Kraton Mataram Surakarta.
Tetapi karena pihak LHKS yang dilapori sesudah proses hibah itu terjadi dan tempat ibadah sudah berfungsi beberapa waktu, pihak yang menghibahkan lalu diajak berbicara untuk mencari solusi terbaik, agar tempat ibadah itu nyaman dan aman untuk kegiatan ibadah. Solusi yang dicapai atas sepengetahuan pihak Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jateng yang diajak berkoordinasi menyebutkan, setelah pihak yang memberi hibah meminta maaf atas pelanggaran yang dilakukan, disepakati bahwa bangunan tempat ibadah dinyatakan menjadi hibah pihak keluarga ahli waris, sedangkan tanah di kompleks “ndalem” tempat mendirikan sarana ibadah, merupakan hibah kraton.
“Itu adalah solusi terbaik yang bisa kami tempuh. Dan itu kami nilai merupakan bentuk penyelesaian atas pelanggaran yang terjadi, yang sangat ideal. Tetapi, sekaligus juga menyadarkan bahwa warga pemukim dan yang menghuni kompleks-kompleks bangunan ndalem eks kediaman para Pangeran putra Sinuhun yang ada di dalam tembok Baluwarti ini, sudah ada ketentuannya. Baik ketentuan sistem hukum adat yang statusnya hanya ‘hanggaduh’ (meminjam-Red), maupun ketentuan hukum positif secara nasional, yaitu UU BCB No 11/2010. Intinya, tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh dialihtangankan, tidak boleh dirubah dan tidak boleh digunakan untuk kegiatan di luar peruntukannya,” tandas KPH Edy Wirabhumi selaku Pimpinan LHKS, baik saat berbicara di forum sarasehan “Selapanan RW” di Bangsal Smarakata (iMNews.id, 25/3), maupun menjawab pertanyaan iMNews.id, sebelum itu.
Di forum dialog, diskusi dan komunikasi antara pihak otoritas Kraton Mataram Surakarta dengan berbagai elemen warga Baluwarti dan para pamong Kelurahan Baluwarti Selasa Wage (14/3) malam itu, ketika KPH Edy mendapat giliran berbicara di forum memang hanya menyinggung satu kasus itu yang merupakan kasus pelanggaran peruntukan, terutama untuk memberi contoh cara-cara penyelesaiannya atau mencari solusinya. Dan penjelasan lebih lanjut disebutkan, bahwa pihak kraton sangat terbuka untuk melakukan dialog, diskusi dan komunukasi untuk membuka jalan bagi penyelesaian segala bentuk permasalahan di Baluwarti, karena keberadaan kraton tidak mungkin tanpa (warga) Baluwarti.
Tindak-lanjut berupa forum-forum diskusi inilah yang sangat diharapkan warga Baluwarti bisa terwujud setelah yang pertama, Selasa Wage (14/3) itu, bahkan akan selalu ditunggu oleh Gatot, seorang warga yang punya kegiatan di shelter UMKM lingkungan pedestrian depan Kori Brajanala Kidul yang selesai dibangun. Karena menurutnya, banyak sekali permasalahan warga yang selama ini sulit dicarikan solusi dan tidak diketahui harus kemana mencarinya, sementara itu juga tidak pernah ada saluran komunikasi ke pihak otoritas kraton yang ternyata bisa diajak berembuk untuk mencari solusinya.
Melihat berbagai kasus yang muncul utamanya mengenai tatacara hunian dan tatacara pemanfaatan yang selama ini (sejak 1945 hingga sekarang) nyaris tanpa kendali, sudah sangat jelas bahwa selama ini memang tidak pernah ada tata-aturan regulasi yang jelas dan tegas mengaturnya. Keberadaan sistem tata-nilai aturan adat, tampak semakin melemah atau nyaris tak berpengaruh ketika sudah berhadapan dengan sistem hukum administratif kewilayahan yang semakin agresif dilancarkan dari tangan panjang Pemkot, dan peluang itu dimanfaatkan “orang dalam dan orang luar” untuk melakukan berbagai pelanggaran di dalam tembok Baluwarti.
Melihat perkembangan yang tidak positif atau justru bertentangan dengan berbagai tujuan ideal dengan keberadaan Kraton Mataram Surakarta, sumber dan pusat peradaban/budaya Jawa dan berbagai harapan ideal itu, seharusnya pemerintah di tingkat pusat, regional dan tingkat Kota Surakarta (Pemkot) segera melengkapi keberadaan kraton dan Baluwarti dengan Perda tata-ruang. Serta berbagai aturan yang dibutuhkan untuk melindungi jejak pusat peradaban Jawa itu, karena Surakarta sudah ditetapkan Unesco sebagai Kota Heritage dunia, dan juga memiliki produk peradaban yang diakui Unesco karena merepresentasikan Nusantara atau NKRI, mulai dari Batik, Wayang, Gamelan, Keris, kisah Panji dan sebagainya.
Perda tata-ruang sangat diperlukan dan sudah selayaknya dihasilkan, karena yang menjadi landasannya sudah ada, yaitu UU BCB No 11/2010 bahkan diperkuat dengan keberadaan pasal 18 UUD 45 dengan segala peraturan turunannya. Berbagai aturan itu diperlukan untuk melindungi, agar berbagai persoalan yang dihadapi Baluwarti secara keseluruhan tidak akan terulang lagi di masa depan. Karena dalam catatan iMNews.id, pelanggaran hunian dan peruntukan sudah sangat banyak terjadi, contohnya sejumlah bangunan tempat ibadah yang berdiri tanpa izin kraton dan BP3, padahal kraton sudah menyediakan tempat ibadah khusus di beberapa titik lokasi, bahkan cukup besar.
Perda tata-ruang juga sangat mendesak diperlukan untuk mengatur pemanfaatan setiap ruang dan bangunan di dalam Baluwarti yang dinilai menyimpang dari semangat pelestarian seni budaya Jawa yang bersumber dari kraton, dan juga bertentangan dengan eksistensi bangunan bersejarah, eks pusat pemerintahan, struktur bangunan simbol perjalanan kehidupan dan kawasan situs yang dilindungi UU BCB No 11/2010. Karena, selama lebih 50 tahun hingga kini, banyak ruang dan bangunan di dalam Baluwarti justru digunakan untuk “pool” dagang rongsokan, gudang produk tekstil dagangan Pasar Klewer, usaha proses produksi batik, kafe, “pool” rental mobil dan sebagainya yang rata-rata menyimpang dari posisinya sebagai daya dukung kraton.
Karena nyaris tidak ada aturan pengendali yang jelas atau melemahnya sistem tata-aturan adat yang ada, beberapa jenis usaha jasa yang sesuai dengan semangat pelestarian budaya Jawa dan semangat menjaga eksistensi kraton justru kurang mendapat tempat. Karena seorang pekerja seni bernama Darmadi yang merintis usaha jasa wisata kuliner khusus bagi wisatawan asing secara perorangan/kelompok sejak lebih 5 tahun lalu, sempat laris memandu tamu-tamu bulenya. Di sela-sela melakukan trip di sejumlah titik lokasi bangunan/pemandangan di kraton, para wisatawan itu diajak ke tempat memasak berbagai menu kuliner di kampung, agar bisa ikut proses memasak dan menikmati menu-menu klasik asli Surakarta. Tetapi, usaha yang belum sempat dikoordinasikan dengan kraton itu, terhalang pandemi dan macet. Pengusahanyapun tidak lama kemudian meninggal, dan semua selesai sudah. (Won Poerwono-bersambung/i1)