Wayang Gedhog Kiai Jayeng Katong, Baru Separo Selesai Dibuat Ditinggal Wafat? (seri 6 -bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 7, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:5 mins read
You are currently viewing Wayang Gedhog Kiai Jayeng Katong, Baru Separo Selesai Dibuat Ditinggal Wafat? (seri 6 -bersambung)
PROSESI RITUAL : Peristiwa prosesi ritual "Ngesis wayang Kiai Dewa Katong" pada weton Anggara Kasih di gedhong Sasana Handrawina, 28/2, menyimpan banyak sekali informasi bermanfaat dan menarik untuk digali dan disimak. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Mataram Surakarta “Sangat Bangga” Pada Leluhur Kraton Kediri

IMNEWS.ID – DARI event ritual “ngesis wayang” weton Anggara Kasih yang digelar Kraton Mataram Surakarta terhadap sekotak wayang “Gedhog” pusaka Kiai Jayeng Katong yang juga disebut Kiai Dewa Katong, Selasa (28/2), memberikan lagi informasi edukasi tentang semangat “berbhakti” kepada para nenek-moyang leluhur peradaban yang biasa disebut “mikul dhuwur, mendhem jero”. Semangat menghormati dan menghargai karya-karya leluhur di zaman kehidupan Kraton Kediri (abad 12) itu, diwujudkan Mataram Surakarta dalam bentuk monumen yang terdiri dari beberapa jenis elemen karya seni.

Yang pertama adalah wayang Gedhog itu sendiri, bahkan Kraton Mataram Surakarta memiliki tiga kotak wayang Gedhog pusaka dengan nama-nama berbeda, yaitu Kanjeng Kiai (KK) Jayeng Katong (Dewa katong) diinisiasi Sinuhun PB IV (1788-1820), (KK) Kiai (KK) Buntit atau Kiai Banjed Nem diinisiasi Sinuhun PB VII (1830-1858) dan sekotak wayang Gedhog Kiai (KK) Sriwibawa yang pembuatannya diinisiasi Sinuhun PB X (1893-1939). Abdidalem dari kantor Pengageng Mandra Budaya, kandidat doktor “Kajian Budaya”, Rudy Wiratama menyebut, hanya Kraton Mataram Surakarta yang memiliki tiga kotak wayang Gedhog atau yang paling banyak di antara yang dimiliki masyarakat adat penerus Dinasti Mataram.

BANYAK MEMBIMBING : Gusti Moeng yang memiliki kapasitas luar biasa segala macam koleksi budaya dan pengetahuan seni budaya secara praktis, mulai banyak membimbing GKR Timoer sebagai salah satu calon generasi penggantinya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Khusus untuk sekotak wayang Gedhog Kayeng Katong, dalam catatan saya temukan menyebut, Sinuhun PB IV menghendaki  pembuatan wayang Kiai Jayeng Katong, karena akan dijodohkan dengan seperangkat gamelan Pelog yang dibawa dari Kraton Kartasura. Namanya Kiai Dewa Katong. Kemudian, justru nama gamelan itu yang hingga kini dikenal sebagai nama wayang Gedhog tersebut, yaitu Kiai Dewa Katong. Nama Kiai Jayeng Katong jadi kalah populer,” sebuat salah seorang murid “Empu dalang” spesial wayang Gedhog yang tersisa satu-satunya kini, Ki KRT Dr Bambang Suwarno, yang dihubungi iMNews.id, kemarin.

Banyaknya jumlah wayang Gedhog yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta, bukan hanya berarti bahwa kraton ini pernah menjadi “negara” besar yang kaya-raya selama 200 tahun, dari 1745 hingga 1945. Menurut peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja, Dr Purwadi, yang mengkhususkan objek penelitiannya tentang eks “nagari Mataram Surakarta” itu, banyaknya simbol-simbol Kraton Kediri yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta jelas menegaskan bahwa Mataram Surakarta sangat meneladani dan membanggakan kehidupan leluhur di Kraton Kediri (abad 12).

ELEMEN TARI : Gusti Moeng sering menampilkan sendratari “Kilapawarna” versi tanpa topeng, sebagai elemen tersendiri dari kebanggaan Mataram Surakarta terhadap kejayaan para leluhur Kraton Kediri (abad 12). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Ini sebagai salah satu strategi untuk mengurangi kesan Mataram Surakarta dari simbol-simbol Hindu India. Apalagi, kemudian Mataram Surakarta dengan tegas meneruskan simbol-simbol Mataram Islam yang sudah tegas pula dinyatakan oleh Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Banyak sekali simbol-simbol Kraton Kediri yang diteladani Mataram Surakarta dalam semua kehidupannya hingga sekarang. Salah satunya adalah semangat kemandirian, berdikari,” tandas calon guru besar FIB sebuah perguruan tinggi di Jogja itu, yang dihubungi iMNews.id, di tempat dan waktu terpisah.

Ciri-ciri yang menunjukkan kebanggaan terhadap leluhur peradaban di Kraton Kediri itu, secara tidak langsung juga diakui GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan, sekaligus sebagai Pengageng Sasana Wilapa Kraton Mataram Surakarta. Dalam berbagai kesempatan wawancara dengan iMNews.id dikatakan, selain tiga kotak wayang Gedhog dan Serat Pusataka Raja Madya, kraton juga menciptakan sendratari tentang kisah Panji Inu Kertapati, yang berjudul “Kilapawarna”, uang diinisiasi penyusunannya saat Sinuhun PB V jumeneng nata (1820-1823).

VERSI BERTOPENG : Sendratari “Kilapawarna” tentang kisah Panji Inu Kertapati yang melukiskan kejayaan Kraton Kediri (abad 12) versi bertopeng, sebagai elemen tersendiri dari kebanggaan Mataram Surakarta terhadap kejayaan para leluhur Kraton Kediri (abad 12). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karena sendratari “Kilapawarna” diperagakan para penarinya menggunakan topeng, maka Kraton Mataram Surakarta juga memiliki koleksi topeng yang di antaranya juga dibuat mulai zaman Sinuhun PB V dan dilengkapi oleh setiap “raja” yang meneruskannya di Mataram Surakarta. Dari sinilah, kraton juga punya repertoar tari Topeng Sekartaji dan Topeng Klana yang menyebar dan berkembang luas ke mana-mana, bahkan mirip tari “Topeng Kelana” yang ada di Cirebon (Jabar). Ada beberapa komponen penting dari “Kilapawarna” dan “Topeng Klana”, yaitu karya kriya tatah sungging topeng, ragam busana tari khas Kediri dan repertoar tariannya itu sendiri yang menambah kekayaan seni budaya Jawa khas “anak negeri”, yang pantas diedukasi kepada setiap anak bangsa.  

Sendratari “Kilapawarna”, sangat dibanggakan Gusti Moeng selaku mantan penari yang kini menjadi koreografer sekaligus pimpinan Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta. Repertoar tari ini sudah banyak dipentaskan di dalam dan di luar kraton. Antara lain, untuk menjamu para dokter ahli peserta seminar di Surakarta tahun 2016, di Festival Borobudur tahun 2014, di FKN ke IV 2006 dan Gelar Budaya 2015 dan sebagainya. Masih banyak lagi informasi tentang karya-karya leluhur yang bisa digali dari peristiwa ritual “Ngesis wayang Gedhog Kiai Dewa Katong”, yang bermanfaat bagi kehidupan anak bangsa ini. (Won Poerwono-bersambung/i1)